Pelatihan Jurnalistik yang digelar SPS Unima berlangsung sukses.
TERLETAK di tepi Danau
Tondano, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara. Kawasan yang asri,
ditambah sejuknya udara sekitar membuat suasana khas pedesaan ini makin nyaman
dinikmati. Di Lembah Pinus Toliang Oki Tondano inilah, tak kurang dari 60
mahasiswa Universitas Negeri Manado (Unima) dengan penuh semangat menimba ilmu
dalam pelatihan jurnalistik yang digelar oleh Student Press Society (SPS). Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Manado diundang sebagai pemateri dalam sesi terakhir
yang berlangsung selama lebih dari empat jam.
Hari masih pagi. Pukul 07.00. Minggu
27 Mei 2012. Sepeda motor yang saya
tunggangi melaju ke arah Winangun Manado. Setelah dua kali menelpon Ishak Kusrant
untuk memastikan alamatnya, akhirnya saya tiba di rumah Sekretaris AJI kota Manado
ini sekitar 10 menit kemudian. “Kopi dulu ketua. Torang tunggu pa Irzal. Dia sudah
mengarah ke sini,” ujar Ishak menyambut kedatangan saya. Beberapa menit kemudian
dua gelas kopi sudah tersaji. Sekitar 15 menit berikutnya Irzal sudah bergabung
bersama kami. “Mari jo, siap-siap. Materi jam 8 pagi sesuai jadwal,” ujar saya
pada Ishak dan Irzal. “Parkir jo motor di sini. Torang naik oto jo ke sana,”
balas Ishak.
Ishak mengemudi mobil. Saya di samping. Di
bagian belakang Irsal duduk sendiri. Perjalanan menuju Tondano pagi itu semacam
jadi ajang rekreasi. Melepas kepenatan dari tugas-tugas mengejar berita setiap
hari. Kami ngobrol panjang lebar mulai dari liputan sehari-hari, sampai rencana
pengembangan AJI ke depan. “Wah..asyik ini, pagi-pagi so liat yang cerah-cerah,”
ujar Irzal sedikit menyela pembicaraan. Yah..beberapa gadis Tomohon berada di
pinggiran jalan. “Pas hari Minggu ini. Jadi dorang siap-siap ke gereja,” balas
saya.
Ponsel saya berdering. “Kak so di
mana..? sori tadi kita ta tidor,” ujar Bryan. “So masuk Tataaran. Lokasi kegiatan
di mana..,” tanya saya. “Maso dari Kiniar, terus-terus jo Kak. Mo ke arah
Toliang Oki,” balas dia. Bryan ini salah seorang pendiri SPS Unima. Dia juga
aktivis PMKRI. Satu minggu sebelum kegiatan, Bryan dan panitia pelaksana
menemui saya untuk meminta kesediaan membawakan materi.
Mobil terus melaju memasuki kawasan
Boulevard Tondano. Untuk memastikan tempat pelaksanaan kegiatan, saya sempat
kembali bertanya pada seorang warga setempat. “Oh..kalo Lembah Pinus, kita tau.
Dulu waktu masih mahasiswa pernah jalan-jalan kemari,” ujar Ishak.
Akhirnya kamipun sampai di tempat
kegiatan. Ishak dan Irzal mencari tempat parkir, setelah saya turun dari mobil.
Dua orang mahasiswa dengan mengenakan jas almamater Unima datang menghampiri. Saya
mengenali satu orang di antaranya. Namanya Firman Mangangawe, minggu lalu dia
salah satu yang menemui saya. “Slamat pagi Kak. Mari masuk,” ujar Firman. “Pagi.
So mo mulai..?,” balas saya. “Iya, ini yang lain baru selesai sarapan. Lain sementara
ibadah,” jawab dia.
Saya melangkah masuk ke dalam ruangan. “Ketua,
torang cari rokok dulu,” teriak Ishak dari dalam mobil.
Seorang panitia datang menghampiri saya.
Menyodorkan selembar kertas untuk mengisi biodata pemateri. “Nanti saya tampil
tim, jadi tidak sendiri,” ujar saya yang dibalas dengan beberapa kali anggukan
personil panitia tadi.
Puluhan peserta sudah masuk di ruangan. Saya
selesai menulis biodata. Ishak dan Irzal pun sudah datang. “Sadiki lei, se
habis ini rokok,” ujar Irzal sambil menyulut dalam-dalam rokoknya.
Beberapa menit berikutnya kami sudah
berada di meja bagian depan. Firman bertindak sebagai moderator. Di sampingnya
ada seorang mahasiswi cantik sebagai notulen. Ishak dan Irzal duduk di samping
kanan saya. Dalam sesi terakhir ini, kami diminta untuk membawakan materi
Tekhnik Mencari Sumber Berita dan Wawancara.
Saya berbicara lebih dulu. Mengulas sedikit
tentang sejarah dan perjuangan AJI. Membakar semangat para peserta akan
pentingnya kebebasan pers, serta berjuang untuk menigkatkan kompetensi
jurnalis. Setelah pemaparan soal AJI, saya masuk sedikit mengenal Jurnalistik
Dasar. Mereview kembali materi yang sudah diberikan sebelumnya untuk membawa
peserta pada materi inti sesi itu. Jarum jam menunjukan pukul 08.45 WITA ketika
saya memulai materi pagi itu. 30 menit kemudian, saya mempersilahkan Ishak dan
Irzal untuk melengkapi apa yang sudah saya sampaikan. Materi tuntas diberikan. Firman
katakan pada saya, posisi moderator akan digantikan kawannya. Omen, moderator
yang baru ini langsung memberikan kesempatan untuk bertanya. Lima peserta langsung
memberikan
Tanggapan dan pertanyaan. Mulai dari
pembahasan tentang AJI, kekerasan terhadap jurnalis, hingga hal tekhnis seperti
trik wawancara. Saya kembali memberikan tanggapan. Ishak mempersiapkan gambar
di LCD tentang contoh-contoh wawancara. Irsal menambahkan jawaban-jawaban yang
sudah saya dan Ishak berikan. “Yah..suasana makin panas ini dengan
pertanyaan-pertanyaan,” ujar moderator. “Kak, masih mo tambah penanya lagi,
atau cuku tiga saja,” bisik moderator pada saya. “Ketua, torag masih mo praktek
wawancara, jadi jangan terlalu lama di teori,” balas Ishak. “Tambah tiga jo
penanya,” ujar saya pada moderator. Sesi kedua dibuka. Ada sekitar tujuh
peserta mengacungkan tangan. “Semua yang mengangkat tangan diberikan kesempatan
bertanya, tapi satu pertanyaan saja,” ujar saya pada moderator.
Sesi kedua ini lebih panas. Para peserta
terlihat begitu kritis dan punya rasa ingin tahu yang luar biasa seputar dunia
jurnalistik. Semua pertanyaan tadi bertiga kami tanggapi. Mungkin masih ada
yang ingin bertanya, namun waktu telah habis. Aplaus diberikan puluhan peserta.
“Sekarang kita masuk pada sesi praktek wawancara,” ujar moderator. “Untuk sesi
ini akan dipandu oleh Ishak dan Irzal,” ujar saya yang langsung meninggalkan
meja pemateri menuju bagian belakang ruangan. Sudah pukul 11.30 WITA. Sesuai jadwal
materi ini hanya sampai pukul 12.00 WITA. Namun karena antusiasme peserta, sesi
kali ini berakhir pada pukul 13.00 WITA. Peserta dibagi dalam lima kelompok. Ada
yang berperan sebagai narasumber, yang lain sebagai jurnalis. Proses simulasi
wawancara ini direkam oleh Ishak. Usai simulasi, Irzal memanggil saya untuk
menganalisa naskah yang ditulis serta tekhnik wawancara itu. Akhirnya rangkaian
materi hari itu berakhir. Tak terasa lebih dari empat jam kami berbagi
pengalaman dengan mahasiswa unima. Mungkin beberapa tahun kemudian akan lahir
jurnalis muda dari pelatihan hari ini. “Ada satu hal yang belum disentuh, yakni
masalah etika. Pelatihan berikut aspek ini harus dibahas lebih dalam,” pesan
saya pada Firman, Presiden SPS Ervina Kilis, dan Sekretaris Panitia Andreas Lalogiroth.
Selesai santap siang, kami bertiga pun
meninggalkan Tondano kembali menuju Manado. “Ini bagian dari ekspansi AJI ke
kampus-kampus,” ujar saya pada Ishak dan Irzal.(***)
Salut untuk AJI Manado...
BalasHapusSalam...
Untuk kebebasan pers dan jurnalis profesional...
BalasHapus