LEBIH
dari tiga tahun tidak lagi menangani desk sepakbola internasional, membuat saya
tidak mengikuti secara detail perkembangan olahraga paling favorit di dunia
ini. Namun bicara sepakbola kita bicara soal subjektifitas. Meski data-data
rekaman pertandingan di masa lalu, komposisi tim saat ini, hingga head to head
masing-masing klub, sampai pemain bintang dan pelatih, turut mempengaruhi
penilaian dan pilihan seseorang. Maka kolaborasi antara unsure subjektif serta
data yang saya miliki itulah, maka dalam final Liga Champions Eropa 20 Mei 2012 ini,
saya memilih Bayern Munich.
Tentang sepakbola di level klub, sebenarnya saya
tidak fanatic kepada salah satu diantaranya. Maklum saya lebih fans kepada
individu, siapa lagi kalau bukan Filippo Inzaghi. Kemana Inzaghi pergi, klub
itu juga menjadi idola saya. Liga Champions Eropa tahun 2007 mungkin jadi
klimaks kecintaan saya pada Inzaghi dan AC Milan. Superpippo memborong dua gol
untuk membawa Milan menaklukkan Liverpool 2-1.
Musim ini, Inzaghi sudah beranjak pensiun. Milanpun
sudah terdepak di babak perempatfinal oleh Barcelona dengan skor 1-3. Maka
pilihan sayapun beralih ke Bayern Munich, tim dengan koleksi empat gelar liga
champions (tahun 1974, 1975, 1976 dan 2001). Tahun ini Munich tampil memukau
dengan mengalahkan Real Madrid di semifinal. Juga ada Thomas Mueller, Manuel
Neuer, Bastian Schweinsteiger, Toni Kroos, Arjen Robben, hingga Mario Gomez.
Dibanding Chelsea yang hanya meraih satu kali runner
up di tahun 2008, Munich jelas lebih kuat tradisi juaranya di Liga Champions.
Namun itulah sepakbola, data dan fakta sering kita abaikan jika sudah menjadi
fans berat pada salah satu klub atau pemain. Asalkan jika jagoan kita kalah,
jangan wasit yang jadi kambing hitam. Sampe bakar-bakaran stadion, bahkan
kerusuhan. Hmmm, jadi teringat sepakbola Indonesia saja. Semoga pilihan kali ini tepat, Munich mampu menggondol gelar juara kelimanya.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar