Peluncuran dan bedah buku yang digelar di kampus Unika De La Salle.
PONSEL di kantong kemeja berdering ketika saya sedang
menghadapi para penguji dalam kegiatan Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) di Depok. Hari
itu Minggu 29 April 2012. Humas Universitas Katolik (Unika) De La Salle Manado,
Teddy Tandaju menginformasikan bahwa akan ada bedah buku di kampus itu. Selasa
01 Mei 2012 siang, saya sudah berada di forum peluncuran dan bedah buku
berjudul, Metode Fenomenologi Aplikasi Pada Entrepreneurship, di tengah-tengah
para mahasiswa, dosen, serta undangan yang memadati auditorium kampus tersebut.
Saya harus
menghubungi beberapa kawan untuk menanyakan bagaimana agar bisa sampai ke
kampus Unika De La Salle dengan menggunakan jasa angkutan umum. Maklum, setiap
harinya sebuah motor Honda Suprafit keluaran tahun 2006 selalu menemani saya menjalankan
tugas-tugas peliputan. “Naik angkot jurusan Kombos, lanjut naik ojek dari bawah
kampus,” ujar seorang teman.
Tak lama lagi hujan
mengguyur Kota Manado dan sekitarnya, saat saya turun dari angkot dan
melanjutkan perjalanan ke kampus dengan menggunakan ojek. “So glap samua ini. Somo
ujang,” ujar tukang ojek sambil memacu sepeda motornya menaiki tanjakan menuju
kampus yang terletak di Kelurahan Kombos ini. Sesampai di pos satpam, saya pun
menyerahkan ongkos ojek tersebut sebesar dua ribu rupiah. “Murah sekali
ongkosnya untuk jasa mengantar penumpang menaiki bukit menuju kampus ini,”
gumam saya.
Beberapa menit
kemudian, saya sudah berada di acara bedah buku tersebut.
Rektor Unika De La
Salle Manado, Pastor Revi Tanod SS SE MA yang bersama Dr Recky Raco MSc, Kepala LPPM Unika De La Salle
Manado penulis buku tersebut baru saja selesai memaparkan sekilas tentang
isinya. Karena terlambat mengikuti pembahasan tersebut, saya mencari rilis
terkait ulasan Pastor Revi. Isinya sebagai berikut.
Ilmu pengetahuan
saat ini sudah diperkaya oleh berbagai metode penelitian, baik kuantitatif
maupun kualitatif. Akan tetapi metode kuantitatif masih menjadi primadona
penelitian dan metode kualitatif masih menjadi pilihan ke dua. Orang masih
melihat empirisme dan obyektifitas melalui data-data kuantitatif sebagai ‘yang
benar’ dan ‘masuk akal’ dan sebaliknya menempatkan persepsi individu dan
pengalaman hidup manusia sebagai subyektif dan bias. Orang lupa bahwa ilmu
pengetahuan mulai dari pengalaman manusia akan dunianya. Pengalaman tersebut
sangat diperlukan untuk dapat memahami secara komprehensif kompleksitas hidup
manusia dan semua pengalaman yang terjadi dalam hidupnya. Mengabaikan
pengalaman berarti membiarkan kekayaan sumber pengetahuan yang ada dalam diri
subyek manusia. Mengesampingkan pengalaman berarti pula menyangkal sumber utama
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sudah saatnya para peneliti memanfaatkan
Metode Fenomenologi untuk secara ilmiah menginterpretasikan pengalaman hidup
manusia dan menangkap arti dan esensi dari pengalaman
tersebut.
Secara khusus dan
istimewa Metode Fenomenologi Aplikasi Pada Entrepreneurship ini semakin
dirasakan relevansinya untuk diaplikasikan pada kajian mengenai
entrepreneurship. Saat ini begitu
mendesak dan penting untuk mempelajari entrepreneurship secara lebih mendalam
yaitu bertumpu pada pengalaman
entrepreneur itu sendiri. Pengalaman hidup mereka begitu berarti dan
kaya serta menjadi sumber pengetahuan yang baru untuk menambah khazanah
ke-entreprenership-an, menjawab permasalahan yang ada di bidang entrepreneurship
dan mendidik serta menciptakan entrepreneur-entrepreneur baru.
Memang sudah
banyak pendekatan dari berbagai macam bidang ilmu yang mencoba mempelajari
entrepreneurship, karena hakekatnya yang multi disipliner. Namun satu hal yang
sangat penting dalam memahami hakekat entrepreneurship adalah fenomena yang
harus dipahami dari dalam diri entrepreneur itu sendiri, yakni kehidupan dan
pengalaman nyata yang dihidupinya (lived-experience). Pendekatan positivistik
dan kuantitatif sangat sulit dipakai untuk memahami dan mengkaji fenomena
pengalaman hidup yang muncul dalam kesadaran ini. Apalagi ilmu entrepreneurship
masih merupakan pre-paradigmatic discipline. Teori-teori dalam entrepreneurship
tetap berkembang, belum matang (immature) justru karena aspek subyetivitas
entrepreneur itu sendiri. Teori dalam entrepreneurship belum merupakan full-fledged
theory.
Karena penekanan
pada aspek pengalaman yang dihidupi oleh entrepreneur begitu penting untuk
mempelajari entrepreneurship, maka metode Fenomenologi adalah metode yang
sangat tepat. Sangat diharapkan bahwa metode ini semakin diminati.
Buku ini berisi
tentang: apa itu entrepreneurship dan bagaimana meneliti entrepreneurship
secara tepat; latar belakang pemikiran tentang Fenomenologi; Fenomenologi
sebagai suatu metode dalam penelitian ilmu pengetahuan; bagaimana Metode
Fenomenologi ini diterapkan dalam penelitian entrepreneurship dan prosedur
penelitiannya; bagaimana analisa data dilakukan dengan metode ini; beberapa
contoh penelitian yang menggunakan metode ini; validitas dan reliabilitas serta
tantangan Metode Fenomenologi.
Setelah Pastor Revi, pemandu
acara Aldrin Timbuleng yang adalah PR I Unika De La Salle Manado mempersilahkan
para panelis memberikan tanggapan. Yang pertama adalah Melani Morin, BA, MMC,
Dosen dari Perancis. Sulitnya memahami isi buku ini, lantas Melani
menganalisanya menggunakan Bahasa Inggris membuat saya benar-benar “tersesat”
ketika mencoba memahami dan mengkonstruksi pemikiran saya. Rasa haus yang
menyerang seolah menjadi pembenaran bagi saya untuk sejenak meninggalkan forum
itu dan menuju kantin yang terletak di bagian belakang kampus. Saat kembali ke
auditorium itu, saya berpapasan dengan tiga kawan jurnalis yang juga “tersesat”
sehingga memilih menuju kantin.
Panelis kedua adalah DR
Valentino Lumowa, PR III Unika De La Salle Manado. Lumowa dalam kesempatannya
lebih banyak memaparkan tentang apa itu fenomenologi dan kaitannya dengan
ilmu-ilmu yang lain.
Sedangkan panelis ketiga adalah
Prof DR Paul David Saerang, Dekan Fakultas Ekonomi Unsrat Manado. “Saya coba
mengikuti jalan pemikiran DR Valen, tapi saya tersesat. Dan saya memilih untuk
menunggu hasil akhir saja dari pembahasan beliau,” ujar Saerang gentel. “Sedangkan
profesor doktor saja mengaku tersesat,” gumam saya.
Dalam tanggapannya, Saerang
mengakui bahwa saat ini lebih banyak dan mahasiswa cenderung menggunakan metode
penelitian kuantitatif ketimbang kualitatif. Buku yang diluncurkan ini, lanjut
Saerang, mencoba mendobrak kelaziman sebuah metode penelitian yang kuantitatif
menjadi kualitatif. “Buku ini sebenarnya tidak pasaran, karena banyak orang
yang tidak terlalu memahami. Tapi dua penulis buku ini adalah entrepreneurship
sejati, yang mencoba mendobrak kebiasaan atau kelasiman dengan menawarkan suatu
metode baru dan berharap mampu untuk merebut pasar. Mungkin di tahun-tahun
mendapat buku ini bisa menjadi best seller,” papar Saerang.
Setelah para panelis, Timbuleng
mempersilahkan audiens untuk menanggapi. Kebanyakan penanggap dari kalangan
dosen, juga praktisi. Sementara beberapa audiens menyampaikan tanggapannya,
ponsel saya berdering. “Ketua, ada kesempatan dari jurnalis untuk menyampaikan
tanggapan,” ujar kawan wartawan yang duduk di sisi sebelah kanan. “Saya tidak
bisa memberikan tanggapan soal buku ini. Karena saya belum membacanya,” jawab
saya.
Setelah beberapa sesi
tanggapan, akhirnya Timbuleng menutup kegiatan peluncuran dan bedah buku
tersebut. Saya dan tiga kawan wartawan pun beranjak meninggalkan auditorium,
menuruni gedung berlantai empat itu. Hari sudah sore, pukul 16.00 WITA. “So mo hujan ulang. Cepat jo, cabut,” ujar
kawan saya yang langsung memacu sepeda motornya menuruni bukit meninggalkan
kampus biru.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar