Pembukaan Mabim yang digelar PMKRI Cabang Tondano, Jumat 11 Mei 2012 di Kelurahan Kinilow, Tomohon.
Pembukaan Mabim yang digelar PMKRI Cabang Tondano, Jumat 11 Mei 2012 di Kelurahan Kinilow, Tomohon.
PERHIMPUNAN Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Tondano menggelar Masa Bimbingan
(Mabim) yang diikuti tak kurang dari 25 anggota baru, Jumat-Minggu, 11-13 Mei
2012 di Kelurahan Kinilow Tomohon. Saya diundang untuk menjadi salah satu
pemateri dalam kegiatan itu, dengan topik PMKRI Sebagai Organisasi
Belajar. Bagi saya proses belajar itu harus dalam situasi yang menyenangkan,
tanpa tekanan, apalagi ada proses indoktrinasi yang memasung kemerdekaan
berpikir manusia. Tulisan ini sebagai refleksi dari
sebuah proses belajar selama 14 tahun bersama korps baret merah marun, bol
kuning ini.
Ada rasa “hutang budi” yang besar bagi
PMKRI, wadah di mana selama lebih kurang 8 tahun saya berproses di sana sebagai anggota biasa, mulai
dari masuk Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB) pada
September 1998 di Desa Kawatak Langowan Minahasa. Selanjutnya dengan masih
menggunakan kurikulum pendidikan formal, sebelum dirubah pada Kongres dan
Sidang MPA PMKRI di Jakarta tahun 2000, berturut-turut saya mengikuti Mabim di
Frateran CMM Tomohon April 1999, Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar (LKTD) di
Lotta Pineleng pada Juli 1999. Tiga jenjang pendidikan formal yang pertama ini
saya selesaikan di PMKRI Cabang Tondano.
September 1999 menjadi titik awal bagi
perkembangan belajar saya selama di PMKRI, ketika berkesempatan untuk mengikuti
Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah (LKTM) di Bogor Jawa Barat yang
diselenggarakan oleh PMKRI Komda I Wilayah Jawa Bagian Barat. Setelah itu ikut
dalam Latihan Kepemimpinan Tingkat Lanjut (LKTL) dan Konferensi Studi Nasional (KSN)
di Jakarta, Agustus 2000. Setelah kurikulum pendidikan formal dirubah dengan
jenjang mulai dari MPAB, Mabim, dan LKK, di tahun 2001 saya pun kerkesempatan
untuk mengikuti LKK yang digelar oleh PMKRI Cabang Bitung di Lotta Pineleng.
Pengalaman panjang selama di PMKRI
khususnya dalam mengikuti berbagai kegiatan pelatihan ini memberikan beberapa
catatan penting sekaligus membentuk pemikiran saya tentang bagaimana sebenarnya
sebuah proses belajar di PMKRI itu. Berbicara tentang proses belajar, dalam
konteks yang lebih luas tentang pendidikan, saya harus akui bahwa pemikiran
saya banyak dipengaruhi oleh sejumlah tokoh-tokoh beraliran “kiri”. Saya paling
suka membaca buku-buku karya Romo YB Mangunwijaya. Bahkan beberapa karya Romo
Mangun seperti, Mendidik Manusia Merdeka, Saya ingin Membayar Hutang Kepada
Rakyat, serta beberapa karya lainnya masih tersimpan di antara ratusan koleksi
buku saya. Dari luar negeri, tokoh-tokoh seperti Paolo Freire, Ivan Illich dan
sejumlah nama lainnya menjadi sumber inspirasi saya. Karya Freire yang berjudul
Pendidikan yang Membebaskan, serta tulisan Illich tentang Bebas dari Sekolah
bahkan menjadi referensi saya dalam menulis skripsi untuk menyelesaikan studi
di Jurusan Biologi Unima di Tahun 2003. Hal ini agak “menyimpang” mengingat
berbicara tentang teori belajar, dunia kampus umumnya lebih suka menggunakan
teori atau referensi dari David Paul Ausubel dan sejumlah nama lainnya.
Benang merah yang saya temukan dari
karya tokoh-tokoh tersebut adalah proses pendidikan itu pada hakikatnya
memerdekakan orang, bebas dari belenggu penindasan. Agak berbeda antara Romo
Mangun (Indonesia) dan Freire (Brasil), dengan
latar belakang konteks sosial kultur negara yang berbeda, namun sama –sama
bertemu pada titik di mana pendidikan itu harus membebaskan. Romo Mangun dan
Illich juga berada dalam pemikiran yang sama ketika menentang adanya
“uniformisasi” dalam pendidikan, mendewakan pendidikan formal dan mengabaikan
pendidikan non formal dan informal.
Saya teringat salah satu literatur yang
saya pakai dalam penulisan skripsi, judulnya Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan. Isinya sejalan dengan pokok-pokok pikiran Romo Mangun, Freire,
maupun Illich. Intinya bahwa proses belajar itu harus berada dalam situasi yang
menyenangkan, suasana dialogis, bukan indoktrinasi, atau bahkan pemasungan
terhadap kemerdekaan berpikir peserta didik. Guru bukan yang lebih tahu,
sementara siswa ada pada posisi yang tidak tahu, dan harus diberi tahu. Metode
pengajaran bukan monolog dan satu arah, tetapi harus dialogis. Guru dan siswa,
secara bersama-sama mengkonstruksi pemikiran mereka berdasarkan pengalaman,
logika-logika, untuk membangun pengetahuan. Romo Mangun bahkan menegaskan,
pendidikan kita bukan untuk menciptakan robot-robot yang siap diperintah,
setelah otak mereka dicuci.
Dengan mengambil garis berpikir “kiri” untuk
menentang segala proses indoktrinasi serta pemasungan terhadap daya kritis dan
kemerdekaan berpikir, maka sangat wajar jika saya sangat tidak cocok dengan
sebuah pelatihan yang memasung hak-hak pribadi seseorang.
Kembali ke PMKRI. Bagaimana proses
pendidikan itu dijalankan di tubuh organisasi ini? Paradigma apa yang
dikembangkan, dan metode apa yang digunakan? Menyusul konflik berkepanjangan di
tubuh Pengurus Pusat PMKRI, saya juga sudah tidak lagi mengikuti bagaimana
perkembangan kurikulum pendidikannya. Tapi setahu saya, PMKRI tetap konsisten
menggunakan teori belajar andragogi yang sejalan dengan sasaran mendidik
manusia merdeka, dan “kiri”.
Andragogi berasal dari bahasa Yunani
kuno: "aner", dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa, dan
agogus yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering
dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik
dari kata "paid" artinya anak dan "agogus" artinya membimbing
atau memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi" berarti seni
atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian
pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka
apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan
bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan.
Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang
dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang
pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi
pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang
dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik
pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat
diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang
dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya
sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar
adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri
dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered
Training/Teaching).
Malcolm Knowles dalam publikasinya yang
berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species" yang diterbitkan
pada tahun 1970 mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak
saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai
kalangan khususnya para ahli pendidikan.
Sebelum muncul Andragogi, yang digunakan
dalam kegiatan belajar adalah Pedagogy. Konsep ini menempatkan murid/siswa
sebagai obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah
di setup oleh sistem pendidikan, di setup oleh gurunya/pengajarnya. Apa yang
dipelajari, materi yang akan diterima, metode panyampaiannya, dan lain-lain,
semua tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid sebagai
obyek dari pendidikan.
Kelemahannya Pedagogi adalah manusia
(dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki keunikan, yang memiliki talenta,
memiliki minat, memiliki kelebihan, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak
bisa mengeksplorasi dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya
sendiri, sebab yang memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang
sudah mapan dan sudah ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang
biasa, melainkan jika ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah
perlawanan dan pemberontakan. Pedagogy memiliki kelebihan, yakni di dalam
menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu, maka
rantai emas dan benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang.
Generasi mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal
melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah dimulai
oleh generasi mendatang.
Dalam Andragogy inilah, kita kenal
istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari
konsep Pendidikan Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberalisme
pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan. Liberalisme
pendidikan bertujuan jangka panjang untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan
sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara
menghadapi persoalan-persoalan dalam
kehidupan sehari-hari secara efektif. Liberasionisme pendidikan adalah sebuah
sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan
berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang,
sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan
perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin. Bagi pendidik liberasionis,
sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya
mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan
ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi
yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling
meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah
sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan
dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih
pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan
yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal
ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu
sebagai wahana pengkajian fakta-fakta, mencari ‘yang obyektif’, melalui
pengamatan atas kenyataan. Anarkisme pendidikan pada umumnya menerima sistem
penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui
penalaran ilmiah). Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme
pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan
pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti
dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga. Menurut anarkisme
pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang
mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang
mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan
sekalian. Ivan Illich, bisa dikategorikan menjadi tokoh di sini.
Hari Minggu 13 Mei 2012. Jam sudah
menunjukan pukul 11.45 WITA. Tak kurang dari 8 peserta Mabim mengajukan
pertanyaan pada saya tentang bagaimana belajar di PMKRI. Apa yang ada di isi
kepala saya, termasuk aliran mana kita harus “berpihak” sudah saya sampaikan. Ketua
Presidum DPC PMKRI Cabang Tondano, Werrend Talia dan Presidium Pendidikan, Christian
Memet Laritembun saya tantang untuk mampu mengimplementasikan teori, maupun
metode pendidikan yang tepat untuk PMKRI. Pada titik ini saya yakin kita
sepakat untuk mendidik kader PMKRI menjadi manusia merdeka, bukan robot, atau
manusia dengan “kacamata kuda” yang hanya melihat lurus ke depan, atau seperti
sapi yang dicocok hidungnya sehingga dengan mudah bisa ditarik kesana kemari. “Mabim kali ini lebih rileks, berbeda dengan di Lotta beberapa waktu lalu. Tegang
sekali torang. Belajar tapi berada dalam kondisi tertekan,” ujar salah seorang anggota
PMKRI Cabang Tondano sedikit berbisik pada saya. “Jika ada senior kalian yang
dalam proses kaderisasi ini yang berkedok disiplin, membawa kalian dalam suasana
tegang saat belajar, bahkan memasung daya kritis kalian, sesungguhnya dia itu tidak cerdas,” ujar saya
mengakhiri sesi tanya jawab siang itu.
Mungkin saat ini fokus sebagian besar
warga PMKRI tertuju pada dualisme kepemimpinan PP PMKRI yang sepertinya tidak
akan berakhir. Dalam kondisi ini sektor pendidikan PMKRI seolah terabaikan,
sehingga saya melihat situasi ini dimanfaatkan oleh oknum tertentu di perhimpunan
untuk menyusup masuk dengan pola-pola kaderisasi yang dibawa dari komunitas
lain, yang sebenarnya berseberangan atau bahkan bertentangan dengan semangat
pendidikan PMKRI itu sendiri. Selamat mendidik manusia merdeka.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar