Jumat, 18 Mei 2012

Pendidikan PMKRI Itu Membebaskan


Pembukaan Mabim yang digelar PMKRI Cabang Tondano, Jumat 11 Mei 2012 di Kelurahan Kinilow, Tomohon.    

 

PERHIMPUNAN Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Tondano menggelar Masa Bimbingan (Mabim) yang diikuti tak kurang dari 25 anggota baru, Jumat-Minggu, 11-13 Mei 2012 di Kelurahan Kinilow Tomohon. Saya diundang untuk menjadi salah satu pemateri dalam kegiatan itu, dengan topik PMKRI Sebagai Organisasi Belajar. Bagi saya proses belajar itu harus dalam situasi yang menyenangkan, tanpa tekanan, apalagi ada proses indoktrinasi yang memasung kemerdekaan berpikir manusia. Tulisan ini sebagai refleksi dari sebuah proses belajar selama 14 tahun bersama korps baret merah marun, bol kuning ini.
Ada rasa “hutang budi” yang besar bagi PMKRI, wadah di mana selama lebih kurang 8 tahun saya berproses di sana sebagai anggota biasa, mulai dari masuk Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB) pada September 1998 di Desa Kawatak Langowan Minahasa. Selanjutnya dengan masih menggunakan kurikulum pendidikan formal, sebelum dirubah pada Kongres dan Sidang MPA PMKRI di Jakarta tahun 2000, berturut-turut saya mengikuti Mabim di Frateran CMM Tomohon April 1999, Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar (LKTD) di Lotta Pineleng pada Juli 1999. Tiga jenjang pendidikan formal yang pertama ini saya selesaikan di PMKRI Cabang Tondano.
September 1999 menjadi titik awal bagi perkembangan belajar saya selama di PMKRI, ketika berkesempatan untuk mengikuti Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah (LKTM) di Bogor Jawa Barat yang diselenggarakan oleh PMKRI Komda I Wilayah Jawa Bagian Barat. Setelah itu ikut dalam Latihan Kepemimpinan Tingkat Lanjut (LKTL) dan Konferensi Studi Nasional (KSN) di Jakarta, Agustus 2000. Setelah kurikulum pendidikan formal dirubah dengan jenjang mulai dari MPAB, Mabim, dan LKK, di tahun 2001 saya pun kerkesempatan untuk mengikuti LKK yang digelar oleh PMKRI Cabang Bitung di Lotta Pineleng.
Pengalaman panjang selama di PMKRI khususnya dalam mengikuti berbagai kegiatan pelatihan ini memberikan beberapa catatan penting sekaligus membentuk pemikiran saya tentang bagaimana sebenarnya sebuah proses belajar di PMKRI itu. Berbicara tentang proses belajar, dalam konteks yang lebih luas tentang pendidikan, saya harus akui bahwa pemikiran saya banyak dipengaruhi oleh sejumlah tokoh-tokoh beraliran “kiri”. Saya paling suka membaca buku-buku karya Romo YB Mangunwijaya. Bahkan beberapa karya Romo Mangun seperti, Mendidik Manusia Merdeka, Saya ingin Membayar Hutang Kepada Rakyat, serta beberapa karya lainnya masih tersimpan di antara ratusan koleksi buku saya. Dari luar negeri, tokoh-tokoh seperti Paolo Freire, Ivan Illich dan sejumlah nama lainnya menjadi sumber inspirasi saya. Karya Freire yang berjudul Pendidikan yang Membebaskan, serta tulisan Illich tentang Bebas dari Sekolah bahkan menjadi referensi saya dalam menulis skripsi untuk menyelesaikan studi di Jurusan Biologi Unima di Tahun 2003. Hal ini agak “menyimpang” mengingat berbicara tentang teori belajar, dunia kampus umumnya lebih suka menggunakan teori atau referensi dari David Paul Ausubel dan sejumlah nama lainnya.  
Benang merah yang saya temukan dari karya tokoh-tokoh tersebut adalah proses pendidikan itu pada hakikatnya memerdekakan orang, bebas dari belenggu penindasan. Agak berbeda antara Romo Mangun (Indonesia)  dan Freire (Brasil), dengan latar belakang konteks sosial kultur negara yang berbeda, namun sama –sama bertemu pada titik di mana pendidikan itu harus membebaskan. Romo Mangun dan Illich juga berada dalam pemikiran yang sama ketika menentang adanya “uniformisasi” dalam pendidikan, mendewakan pendidikan formal dan mengabaikan pendidikan non formal dan informal.
Saya teringat salah satu literatur yang saya pakai dalam penulisan skripsi, judulnya Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Isinya sejalan dengan pokok-pokok pikiran Romo Mangun, Freire, maupun Illich. Intinya bahwa proses belajar itu harus berada dalam situasi yang menyenangkan, suasana dialogis, bukan indoktrinasi, atau bahkan pemasungan terhadap kemerdekaan berpikir peserta didik. Guru bukan yang lebih tahu, sementara siswa ada pada posisi yang tidak tahu, dan harus diberi tahu. Metode pengajaran bukan monolog dan satu arah, tetapi harus dialogis. Guru dan siswa, secara bersama-sama mengkonstruksi pemikiran mereka berdasarkan pengalaman, logika-logika, untuk membangun pengetahuan. Romo Mangun bahkan menegaskan, pendidikan kita bukan untuk menciptakan robot-robot yang siap diperintah, setelah otak mereka dicuci.  
Dengan mengambil garis berpikir “kiri” untuk menentang segala proses indoktrinasi serta pemasungan terhadap daya kritis dan kemerdekaan berpikir, maka sangat wajar jika saya sangat tidak cocok dengan sebuah pelatihan yang memasung hak-hak pribadi seseorang.
Kembali ke PMKRI. Bagaimana proses pendidikan itu dijalankan di tubuh organisasi ini? Paradigma apa yang dikembangkan, dan metode apa yang digunakan? Menyusul konflik berkepanjangan di tubuh Pengurus Pusat PMKRI, saya juga sudah tidak lagi mengikuti bagaimana perkembangan kurikulum pendidikannya. Tapi setahu saya, PMKRI tetap konsisten menggunakan teori belajar andragogi yang sejalan dengan sasaran mendidik manusia merdeka, dan “kiri”.   
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno: "aner", dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa, dan agogus yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogus" artinya membimbing atau memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training/Teaching).
Malcolm Knowles dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species" yang diterbitkan pada tahun 1970 mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan.
Sebelum muncul Andragogi, yang digunakan dalam kegiatan belajar adalah Pedagogy. Konsep ini menempatkan murid/siswa sebagai obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di setup oleh sistem pendidikan, di setup oleh gurunya/pengajarnya. Apa yang dipelajari, materi yang akan diterima, metode panyampaiannya, dan lain-lain, semua tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Kelemahannya Pedagogi adalah manusia (dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki keunikan, yang memiliki talenta, memiliki minat, memiliki kelebihan, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak bisa mengeksplorasi dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya sendiri, sebab yang memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang sudah mapan dan sudah ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang biasa, melainkan jika ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah perlawanan dan pemberontakan. Pedagogy memiliki kelebihan, yakni di dalam menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu, maka rantai emas dan benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang. Generasi mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah dimulai oleh generasi mendatang.
Dalam Andragogy inilah, kita kenal istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan. Liberalisme pendidikan bertujuan jangka panjang untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi  persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif. Liberasionisme pendidikan adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin. Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-fakta, mencari ‘yang obyektif’, melalui pengamatan atas kenyataan. Anarkisme pendidikan pada umumnya menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah). Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan sekalian. Ivan Illich, bisa dikategorikan menjadi tokoh di sini.
Hari Minggu 13 Mei 2012. Jam sudah menunjukan pukul 11.45 WITA. Tak kurang dari 8 peserta Mabim mengajukan pertanyaan pada saya tentang bagaimana belajar di PMKRI. Apa yang ada di isi kepala saya, termasuk aliran mana kita harus “berpihak” sudah saya sampaikan. Ketua Presidum DPC PMKRI Cabang Tondano, Werrend Talia dan Presidium Pendidikan, Christian Memet Laritembun saya tantang untuk mampu mengimplementasikan teori, maupun metode pendidikan yang tepat untuk PMKRI. Pada titik ini saya yakin kita sepakat untuk mendidik kader PMKRI menjadi manusia merdeka, bukan robot, atau manusia dengan “kacamata kuda” yang hanya melihat lurus ke depan, atau seperti sapi yang dicocok hidungnya sehingga dengan mudah bisa ditarik kesana kemari.  “Mabim kali ini lebih rileks,  berbeda dengan di Lotta beberapa waktu lalu. Tegang sekali torang. Belajar tapi berada dalam kondisi tertekan,” ujar salah seorang anggota PMKRI Cabang Tondano sedikit berbisik pada saya. “Jika ada senior kalian yang dalam proses kaderisasi ini yang berkedok disiplin, membawa kalian dalam suasana tegang saat belajar, bahkan memasung daya kritis kalian,  sesungguhnya dia itu tidak cerdas,” ujar saya mengakhiri sesi tanya jawab siang itu.
Mungkin saat ini fokus sebagian besar warga PMKRI tertuju pada dualisme kepemimpinan PP PMKRI yang sepertinya tidak akan berakhir. Dalam kondisi ini sektor pendidikan PMKRI seolah terabaikan, sehingga saya melihat situasi ini dimanfaatkan oleh oknum tertentu di perhimpunan untuk menyusup masuk dengan pola-pola kaderisasi yang dibawa dari komunitas lain, yang sebenarnya berseberangan atau bahkan bertentangan dengan semangat pendidikan PMKRI itu sendiri. Selamat mendidik manusia merdeka.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar