Kamis, 03 Mei 2012

Dari Wisma Hijau Menuju Jurnalis Kompeten


GUNA memenuhi tuntutan menjadi jurnalis yang berkompeten, dan profesional, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggodok puluhan kadernya selama tiga hari, sejak Jumat-Minggu (27-29/04), di Wisma Hijau Mekarsari, Cimanggis, Depok. Ini kali kedua saya berkunjung di kawasan yang juga menjadi Kampus Diklat Bina Swadaya, setelah pada Februari 2012 lalu, mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AJI. Ada sejumlah kisah menarik di sana. 

Kampus ini memang Asri. Ketika memasuki gerbang selebar delapan langkah orang dewasa, kita sudah bisa menikmati keindahan kawasan ini. Ditumbuhi berbagai jenis pepohonan, serta hamparan rumput hijau. Dua buah gasebo terletak di tengah taman. Beberapa pengunjung tampak beristirahat di sana. Dari prasasti yang terletak di samping kanan gerbang masuk, kampus ini diresmikan pada 18 Agustus 1982 oleh Direktur Bina Swadaya Drs Bambang Ismawan. Lokasi ini memang cocok untuk menggelar berbagai pelatihan dan diklat.
Dalam catatan saya, AJI Indonesia di era kepengurusan Eko Maryadi ini sudah dua kali menggelar kegiatan tingkat nasional. Setelah Rakernas Februari lalu, kali ini dua agenda sekaligus dituntaskan di kawasan yang pada pertengahan tahun 1997, mengganti papan nama Diklat Bina Swadaya menjadi Wisma Hijau - Pusdiklat Bina Swadaya.
Ada dua agenda sekaligus yang digelar AJI Indonesia kali ini. Diawali pada Jumat 27 April dengan kegiatan Trainging of Trainners (ToT) yang diikuti 32 jurnalis senior AJI dari berbagai Kota di Indonesia. Menurut Item, sapaan keren Maryadi, ToT ini dimaksudkan untuk melahirkan calon-calon penguji internal AJI yang nantinya akan menggelar UKJ di berbagai kota di Indonesia.

Setelah ToT yang berlangsung selama sehari, kegiatan dilanjutkan dengan UKJ yang diikuti oleh 20 jurnalis dengan kualifikasi wartawan utama sebanyak 20 orang, madya (9) dan muda 7 orang, yang dimulai sejak Sabtu (20/04), dan berakhir Minggu. UKJ sendiri merupakan amanat Dewan Pers dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan.
Sesi pembukaan sedikit menegangkan. Ketika pihak penyelenggara juga terlihat tegang dalam menyampaikan arahan awal.
Peserta kemudian dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari empat orang. Saya, Machmud Ichi (AJI Ternate), Catur Ratna Wulandari dan Frino Barus, keduanya dari AJI Bandung. Kelompok ini dipandu seorang penguji utama. Namanya Bambang Budiono, seorang jurnalis senior. Bambu, sapaan akrab pria berambut putih ini didampingi beberapa calon penguji antara lain Ai Jufridar (AJI Lhok Sumawe), Upi Asmaradhana (AJI Makassar), dan Rika (AJI Medan), juga sejumlah nama lainnya. Diantara kami berempat, hanya Ratna yang menjadi peserta UKJ tingkat Muda. Sementara saya bersama Ichi dan Frino mengikuti UKJ untuk tingkat Madya.   
Bambu, memulai sesi pertama dengan menanyakan tentang sejarah perkembangan pers tanah air. Ichi mendapat giliran pertama. Kemudian berturut-turut saya, Ratna dan Frino. Sementara penguji utama memberikan pertanyaan, para penguji pendampingi lainnya sibuk “pelototin” peserta UKJ. Berempat kami seolah tak mampu bernapas menghadapi terjangan pandangan mata para penguji yang total berjumlah 8 orang itu. Sesi pertama selesai. Peserta UKJ memberi evaluasi tertulis. Break lima menit untuk menyantap hidangan snack yang tersedia. Begitu selanjutnya kegiatan selama dua hari full.
Selama pelaksanaan UKJ, 20 peserta diuji dengan modul uji yang disusun berdasarkan kisi-kisi buatan Dewan Pers. Para peserta UKJ mendapatkan materi uji mulai dari soal wawasan jurnalisme, teknik observasi, pengumpulan informasi, riset data, penulisan, editing, perencanaan redaksi, sampai pemahaman etik jurnalistik. Metodologi UKJ yang digunakan beragam, mulai tes tertulis, tes lisan, simulasi, dan diskusi kelompok. “Ada beberapa sasaran yang ingin kami capai dengan pelaksanaan UKJ ini. Yang pertama adalah sebagai alat ukur seberapa kompetennya kita (anggota AJI, red) di bidang jurnalistik, yang berikutnya adalah dengan kompetensi yang ada maka kita mempunyai daya tawar yang tinggi kepada perusahaan pers sehingga kita pantas menuntut upah yang layak. Dan yang ketiga adalah menunjukan kepada publik bagaimana pers yang beretika. Bagaimana anggota AJI punya jurnalis dengan kemampuan menulis yang handal,” papar Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Item Maryadi saat pembukaan kegiatan UKJ.
Akhirnya setelah menghadapi berbagai materi dan metode pengujian, UKJ resmi berakhir, Minggu (29/04). Para peserta UKJ diinstruksikan untuk keluar ruangan. Sementara panitia dan penguji menggelar rapat. Di luar ruangan para peserta menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa menit kemudian, peserta disuruh masuk. Para penguji dan panitia sudah duduk membentuk lingkaran. Suasana kembali tegang, seperti saat acara pembukaan.
Sekjen AJI, Suwarjono bertindak sebagai MC. Dia mempersilahkan Item tampil ke depan untuk memberikan sambutan. Dengan gaya khasnya, Item mulai menyampaikan pokok sambutannya yang sesekali dilirik dari Black Berry-nya.
Item mengatakan, ke depan UKJ akan digelar di berbagai kota. AJI berencana melakukan UKJ terhadap 1.900 anggotanya di seluruh Indonesia. “AJI membebaskan biaya UKJ. Anggota AJI hanya perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk menuju ke tempat uji,” ujar Item.
Lanjut dia, saat ini dari 1900 anggota AJI yang tersebar di seluruh Indonesia. “Untuk angkatan pertama ini kami menggodok 20 anggota AJI,” tandas Item. Selanjutnya diserahkan piagam peserta UKJ dan ToT. Foto bersama menjadi akhir sesi dari rangkaian kegiatan ini.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar