Ketua KPID Sulut, Raymond Pasla (kedua dari kanan), saat menyampaikan materi dalam dialog publik tentang penyiaran sehat.
DALAM rangkaian Pekan Informasi Nasional
(PIN) di Manado, Departemen Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) serta KPI Daerah Sulut menggelar kegiatan
Dialog Publik dengan tema, Peran Masyarakat Menciptakan Penyiaran Sehat. Acara yang
digelar di Hotel Sahid Kawanua Manado, Kamis 24 Mei 2012 ini, menghadirkan
sejumlah pembicara yakni, Dirjen Komunikasi dan Informasi Publik Depkominfo RI,
Fredy H Tulung, Ketua KPI Mochamad Riyanto, Komisioner KPI, Idy Muzzayad, Ketua
KPID Sulut, Raymond Pasla, serta akademisi Unsrat, Drs Max Rembang MSi. Berikut rangkuman materi yang disampaikan Pasla dalam dialog yang dipandu Komisioner KPID Sulut, Melisa Sualang.
Literasi Media/ Media Literacy terdiri
dari dua kata, yakni literasi dan media.
Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis atau dengan kata lain
melek aksara sedangkan media dapat
diartikan sebagai suatu perantara baik dalam wujud benda, manusia, peristiwa.
Dari kedua macam definisi sederhana
tadi, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa literasi media adalah kemampuan untuk
mencari, mempelajari, dan memanfaatkan berbagai sumber media dalam berbagai bentuk.
Istilah literasi media juga dapat
disamakan dengan istilah ’melek media’.
Sebagai indikator bahwa secara individu seseorang atau suatu masyarakat sudah memahami literasi, yakni
mampu memilih (selektif) dan memilah (mengkategori/mengklasifikasi) media, mana
yang manfaat mana yang mudarat. Juga memahami bahwa radio, terutama televisi
merupakan lembaga yang ‘syarat’ dengan
kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya dan lainnya.
Memahami bahwa radio dan televisi bukan
menampilkan realitas dan kebenaran
satu-satunya, namun bisa merupakan ‘rekayasa’ dari pelaku-pelakunya. Mampu bersikap dan
berperilaku kritis pada siaran radio dan televisi. Juga sudah dapat menyadari
bahwa sebagai konsumen media, khalayak semua mempunyai hak dan kewajiban atas isi siaran radio dan
televisi. Selain itu telah menyadari tentang dampak
yang ditimbulkan media dan
mengidentifikasi hal-hal yang harus
dilakukan ketika menggunakan media.
Memaham literasi media juga berarti
selektif, pandai memilih dan memilah media yang akan digunakan; hanya
mempergunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan tertentu. Juga mampu membangun filter
yang kokoh, baik bagi dirinya maupun terhadap
orang-orang di lingkungannya, sehingga secara personal tidak mudah dipengaruhi media.
Di sejumlah negara, masyarakatnya sudah
mulai dipersiapkan untuk menghadapi era komunikasi dan informasi dengan
mengembangkan literasi-literasi baru. Gerakan literasi media (media literacy)
merupakan salah satu langkah untuk mengembangkan daya-daya publik menghadapi
media massa.
Publik diajak untuk tidak menerima
begitu saja apa yang disampaikan media massa, melainkan menerimanya dengan
penuh daya kritis.
Dalam dunia yang semakin menyatu ini,
literasi media merupakan salah satu hal yang direkomendasikan untuk
dikembangkan di berbagai negara pada 21st Century Literacy Summit di Berlin,
7-8 Maret 2002.
Gerakan literasi media ini sudah dikembangkan
di berbagai negara.
Di Amerika Serikat, gerakan ini banyak
dipelopori perguruan tinggi yang menjalankan proyek-proyek literasi media
seperti New Mexico Literacy Project yang dijalankan University of New Mexico
dan di State Universitu of Appalachian membuka program S-2 literasi media, di
Kanada dijalankan Departemen Pendidikan yang memasukkan literasi media ke dalam
kegiatan ekstra kurikuler di sekolah, di Australia banyak dipelopori perguruan
tinggi khususnya Universitas Edith Cowan, Universitas Sidney dan Universitas
Mcquire. Di Rusia, sejak tahun 2002, literasi media menjadi salah satu program
studi di peguruan tinggi (Center for Media Literacy, 2003 & Fedorov, 2002).
Literasi media ini dikembangkan melalui
kegiatan yang dinamakan pendidikan media dan media studies (Fedorov, 2002).
Kegiatan pendidikan media dan media studies itu pada umumnya dilakukan lembaga
swadaya masyarakat, lembaga yang bernaung di bawah perguruan tinggi dan lembaga
yang menyeleng-garakan pendidikan dan pelatihan untuk guru.
Artinya, di sini mesti dibedakan antara
pendidikan media dan literasi media yang dijalankan sebagai program pendidikan
oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dengan pendidikan tentang literasi
media yang dijalankan sebagai satu program studi di perguruan tinggi seperti
yang dijalankan di Rusia.
Dengan demikian, kegiatan pendidikan
literasi media tersebut dijalankan di luar lembaga pendidikan formal/persekolah
meski ada kalanya dilakukan oleh lembaga pendidikan seperti lembaga pendidikan
tinggi semisal yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia.
Kegiatan pendidikan literasi media yang
dijalankan di berbagai negara itu pada dasarnya merupakan salah satu program
pendidikan nonformal. Karakteristik pendidikan nonformal itu dapat dilihat,
baik dari sisi tujuan, waktu, isi program, proses pembelajaran dan pengendalian.
Dilihat dari aspek proses pembelajaran
yang menjadi karakteris-tik pendidikan literasi media sebagai kelanjutan dari
kemampuan baca-tulis seperti yang diungkapkan dalam Buku Putih KTT Literasi
Abad ke-21 di Berlin, menunjukkan
pendidikan ini memang dipusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga.
Selain itu, karena masyarakat mutakhir
ini dijuluki juga masyarakat komunikasi massa, maka persentuhan dengan media
massa menjadi tak terhindarkan lagi sehingga pendidikan literasi media pada
dasarnya berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat. Tentu saja
struktur program pendidikannya pun luwes, berpusat pada peserta didik dan
menghemat sumber-sumber yang tersedia.
Praktik pendidikan literasi media di
berbagai negara menunjukkan, pendidikan ini dapat dilangsungkan di mana pun.
Sejauh ada peserta didik dan sumber belajar, kegiatan pembelajaran
dilangsungkan.
Beberapa organisasi yang menggerakkan
pendidikan literasi media menggunakan media belajar mulai dari poster hingga
membuka situs di internet. Namun dengan struktur program yang longgar.
Salah satu organisasi media literacy
yang terbilang sukses dalam mendidik anak-anak, pemuda, dan dewasa agar menjadi
konsumen media yang kritis adalah New Mexico Media Literacy Project (NMMLP).
Didirikan tahun 1993, NMMLP membantu ratusan
ribu orang dari berbagai negara untuk meningkatkan media literacy skill. Misi
NMMLP adalah menanamkan pemikiran kritis dan aktif dalam kultur media untuk
membangun komunitas yang sehat dan adil.
Satu hal yang patut dicatat, pendidikan
media literacy di sekolah merupakan aspek-aspek pengajaran yang lebih
berdimensi sosiologis dan etis. Tujuan pendidikan media literacy adalah untuk
memproteksi anak didik dari persepsi-persepsi buruk media sekaligus mendidik
anak untuk mampu mengapresiasi efek positif media. Maka pendidikan media
literacy tidak sekadar mengajarkan siswa tentang segi teknis produksi tayangan
media, melainkan juga berbagai konsekuensi yang timbul dari kekuatan media.
Pendidikan media literacy mengajarkan
pada anak tentang pemanfaatan media secara bijak serta penilaian kritis
terhadap muatan media.
Di Indonesia, pendidikan literasi media
belum banyak berjalan. Setelah reformasi politik tahun 1998, yang kemudian
memunculkan perubahan kebijakan dalam bidang media massa dan diundangkannya 2
UU yang berkaitan dengan media massa yakni UU No.40/1999 tentang Pers dan UU
No.32/2002 tentang Penyiaran, upaya untuk mengembangkan kehidupan media massa
lebih terfokus pada lembaga media massa.
Karena itu banyak berdiri lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pengawasan media/pers
(media/press-watch). Padahal UU Penyiaran misalnya menyebutkan, pentingnya
melakukan pendidikan media agar masyarakat bisa mencapai taraf literasi media.
Pendidikan literasi media pada dasarnya
merupakan upaya penguatan dan pemberdayaan khalayak media massa. Pilihan
penguatan khalayak media massa dilakukan mengingat isi media massa pada
dasarnya tidak lagi dapat dikontrol publik.
Setiap media massa memiliki mekanismenya
sendiri untuk menentukan apa yang akan disampaikan kepada publik. Dengan
demikian pilihan melakukan pendidikan literasi media merupakan pilihan yang
tepat untuk kondisi kehidupan media massa sekarang ini dan perkembangan
masyarakat saat ini.
Indonesia sebagai negara yang sedang
mengalami transisi menuju negeri demokrasi yang dewasa membutuhkan media massa
yang berperan mengarahkan masyarakat menuju kedewasaan dalam kehidupan
demokrasi.
Namun pada sisi lain, masa transisi ini
juga diwarnai dengan pertumbuhan media massa sebagai bentuk kegiatan komersial
yang merupakan wujud industri media. Sesuai dengan hukum yang berlaku dalam
dunia industri, maka isi yang dipublikasikan media massa pun tentu tak akan
bisa melepaskan diri dari mekanisme pasar produk industri yang mesti
menyesuaikan diri dengan selera masyarakatnya.
Program-program pengembangan literasi
media dapat dikembangkan dari berbagai kelompok masyarakat. Secara formal dapat
dikembangkan lewat, siswa SD, siswa SMP, siswa SMU/SMK, mahasiswa.
Namun secara informal dapat dilakukan
dari kelompok masyarakat yang tergabung dalam Karang Taruna yang berada di
tingkat terendah hingga tertinggi.
Demikian pula kalangan ibu rumah tangga
yang bernanung di bawah organisasi tertentu, misalnya PKK.
Metode-metode pelatihan seputar literasi
media bisa dilakukan kepada kelompok-kelompok tersebut yang selanjutnya
kelompok-kelompok ini dapat mendidik dan memberi pemahaman tentang perlunya
literasi media bagi khalayak banyak.
Literasi media juga dapat dikembangkan
lewat jalur keagamaan. Di Sulawesi Utara, misalnya di tingkat organisasi
keagamaan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) terdapat aras jemaat yang
tergabung dalam Anak Sekolah Minggu, Remaja, Pemuda, Ibu dan Bapak. Progam
literasi media bisa dimasukkan dalam pengembangan ajaran keagamaan yang
dikaitkan dengan literasi media.
Hal yang sama juga bisa dilakukan dalam
lingkup kelompok keagamaan lainnya, misalnya yang terhimpun dalam Remaja dan
Pemuda Masjid. Di kalangan Katolik ada kalangan Muda-Mudi Katolik (Mudika).
Demikian pula dengan KGPM yang memiliki perkumpulan anak, remaja dan pemuda.
Unsur keagamaan akan menjadi basis
paling penting dalam program pengembangan literasi media. Dengan menjelaskan
bahaya dan dampak perkembangan media massa tanpa control, maka semua kalangan
rasanya akan setuju memprotek generasi bangsa dari kuatnya pengaruh media
massa.
Pengembangan dan pemberian pemahaman
tentang literasi media lewat organisasi keagamaan dapat dilakukan dan diawali
dengan menciptakan tenaga penyuluh atau peserta didik yang sebelumnya telah
menerima pembekalan tentang literasi media. Pembekalan itu sendiri bisa
diberikan dari lembaga negara semacam KPI/D, Komisi Perlindungan Anak. Atau
dari unsure pemerintah lewat Depkomimfo/Dinas Komimfo atau dari instansi
terkait semacam Biro Pemberdayaan Perlindungan dan Anak.
Tenaga penyuluh yang sebelumnya telah
menerima pembekalan ini kemudian bertugas ke kelompok-kelompok kemasyarakatan
dan keagamaan dalam memberi pemahaman terhadap pentingnya literasi media.
Diketahui, pendidikan literasi media
sebagaimana diamanatkan pada Pasal 52 (2) UU Nomor. 32/2002 tentang
Penyiaran dinyatakan dilakukan
“organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan kalangan pendidikan”.
Ini mengindikasikan pendidikan tersebut
tak dilakukan dalam kerangka pendidikan sekolah. Memang dari banyak negara yang
mengembangkan literasi media, hanya Kanada yang memasukan literasi media ke
dalam kuruikulum pendidikan sekolah. Di negara lain seperti di negara-negara
Eropa, Amerika Serikat dan Australia dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi
dan lembaga swadaya masyarakat.
Beberapa perguruan tinggi membentuk
lembaga yang mengembangkan literasi media bagi para guru sekolah seperti yang
dilakukan di Babson College Amerika Serikat dan di Universitas North Caroline
di Chapel Hill.
Dengan demikian, pada dasarnya pendidikan literasi media lebih
merupakan kegiatan pendidikan nonformal (PNF). Menurut Sudjana (2000:23) PNF
adalah “pendidikan yang program-programnya bersifat nonformal, memiliki tujuan
dan kegiatan yang terorganisasi, diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan
di lembaga-lembaga, untuk melayani kebutuhan khusus para peserta didik”.
Besarnya peran PNF dalam pengembangan
pendidikan literasi media tersebut dapat dilihat dari uraian Pungente (2002)
mengenai faktor-faktor yang mendorong berkembang-nya literasi media, yakni:
1. Seperti
halnya program-program inovatif lainnya, literasi media mesti merupakan gerakan
grass-roots. Para guru perlu berinisiatif dalam melakukan lobi untuk memasukan
literasi media ke dalam kurikulum sekolah.
2. Otoritas
pendidikan mesti memberikan dukungan yang jelas terhadap program-program
seperti itu dengan memberi mandat pada pengajaran media studies di dalam
kurikulum; membuat pedoman dan buku sumber; memastikan kurikulumnya
dikembangkan; dan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan.
3. Fakultas-fakultas
pendidikan mesti mempekerjakan staf yang mampu melatih guru masa depan dalam
bidang ini. Jadi mesti ada dukungan akademik dari pendidikan tinggi dalam
menulis kurikulum dan menyediakan konsultasi yang berkelanjutan.
4. Ada
pelatihan pada distrik sekolah yang merupakan bagian dari implementasi program
5. Distrik
sekolah membutuhkan konsultan yang memiliki kepakaran dalam literasi media, dan
mampu membangun jaringan komunikasi
6. Menyediakan
materi audio-visual dan buku-buku ajar yang cocok dan relevan dengan daerah tersebut
7. Mesti
dibuat organisasi penunjang yang dibentuk dengan maksud menyelenggarakan
lokakarya, konferensi, diseminasi kalawarta, dan mengembangkan unit-unit
kurikulum. Sebagaimana layaknya organisasi profesional, organisasi
ini mesti melintasi dewan sekolah dan distrik untuk melibatkan berbagai pihak
yang berminat dalam literasi media.
8. Mesti
ada instrumen evaluasi yang memadai yang cocok untuk sifat khas studi media
9. Karena
literasi media mencakup berbagai keahlian dan kepakaran, maka mesti ada
kolaborasi di antara guru, orang tua siswa, peneliti dan profesional
media.
Dengan memperhatikan ke-9 faktor yang
mendorong pertumbuhan pendidikan literasi media tersebut, jelas PNF memainkan
peran yang besar. Penyelenggaraan program pendidikan literasi media tersebut,
di negara maju sekalipun, seperti yang diuraikan di atas, bukan atau belum
menjadi bagian dari kurikulum pendidikan sekolah. Padahal, makin hari makin
disadari pentingnya pendidikan literasi media ini mengigat dunia sekarang ini
menjadi tempat tumbuh subur media massa dengan pengaruh positif dan negatifnya.
Satu hal yang menarik diperhatikan,
salah satu faktor pendorong perkembangan pendidikan literasi media adalah
menjadikannya sebagai gerakan akar-rumput. Artinya, pendidikan literasi media
sebagai satu gerakan tentu bukan gerakan yang dicanangkan secara resmi oleh
pemerintah atau lembaga-lembaga resmi laiannya melainkan lebih merupakan
gerakan yang dikembangkan di tengah masyarakat oleh masyarakat sendiri.
Hal ini bisa dimengerti bila mengingat,
pendidikan literasi media pada dasarnya lebih merupakan kebutuhan warga
masyarakat yang merasakan kekhawatiran dampak negatif media massa. Namun pada
saat yang sama merasa tak memiliki akses terhadap isi media massa dan juga
tidak memiliki cukup kekuatan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan
yang berimplikasi terhadap siaran/publikasi hiburan dan informasi yang
disampaikan media massa.
Media massa merupakan bagian dari
kehidupan manusia modern yang memberikan dampak positif dan negatifnya.
Terhadap dampak negatif media massa tersebut, tidak cukup hanya dengan
menyalahkan dan mengutuk media massa melainkan diperlukan langkah-langkah
pendidikan literasi media, sehingga manusia bisa mengambil manfaaat
sebesar-besarnya dari kehadiran media massa.
Pendidikan literasi media merupakan
keharusan untuk dilaksanakan di Indonesia. Secara yuridis, keharusan tersebut
dinyatakan antara lain dalam UU No 32/2002 tentang Penyiaran.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar