Selasa, 29 Mei 2012

Literasi Media Menuju Penyiaran Sehat


 Ketua KPID Sulut, Raymond Pasla (kedua dari kanan), saat menyampaikan materi dalam dialog publik tentang penyiaran sehat.

DALAM rangkaian Pekan Informasi Nasional (PIN) di Manado, Departemen Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) serta KPI Daerah Sulut menggelar kegiatan Dialog Publik dengan tema, Peran Masyarakat Menciptakan Penyiaran Sehat. Acara yang digelar di Hotel Sahid Kawanua Manado, Kamis 24 Mei 2012 ini, menghadirkan sejumlah pembicara yakni, Dirjen Komunikasi dan Informasi Publik Depkominfo RI, Fredy H Tulung, Ketua KPI Mochamad Riyanto, Komisioner KPI, Idy Muzzayad, Ketua KPID Sulut, Raymond Pasla, serta akademisi Unsrat, Drs Max Rembang MSi. Berikut rangkuman materi yang disampaikan Pasla dalam dialog yang dipandu Komisioner KPID Sulut, Melisa Sualang.  

Literasi Media/ Media Literacy terdiri dari dua kata, yakni literasi  dan media. Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan  membaca dan menulis atau dengan kata lain melek aksara sedangkan media  dapat diartikan sebagai suatu perantara baik dalam wujud benda,  manusia, peristiwa.
Dari kedua macam definisi sederhana tadi, maka  dapat diambil kesimpulan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk  mencari, mempelajari, dan memanfaatkan berbagai sumber media dalam  berbagai bentuk.
Istilah literasi media juga dapat disamakan dengan  istilah ’melek media’. Sebagai indikator bahwa secara individu seseorang atau suatu  masyarakat sudah memahami literasi, yakni mampu memilih (selektif) dan memilah (mengkategori/mengklasifikasi) media, mana yang manfaat mana yang mudarat. Juga memahami bahwa radio, terutama televisi merupakan lembaga yang  ‘syarat’ dengan kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya dan lainnya.
 Memahami bahwa radio dan televisi bukan menampilkan realitas dan  kebenaran satu-satunya, namun bisa merupakan ‘rekayasa’ dari  pelaku-pelakunya. Mampu bersikap dan berperilaku kritis pada siaran radio dan televisi. Juga sudah dapat menyadari bahwa sebagai konsumen media, khalayak semua mempunyai hak  dan kewajiban atas isi siaran radio dan televisi. Selain itu telah menyadari tentang dampak
yang ditimbulkan media dan mengidentifikasi  hal-hal yang harus dilakukan ketika menggunakan media.
Memaham literasi media juga berarti selektif, pandai memilih dan memilah media yang akan digunakan; hanya mempergunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai  tujuan tertentu. Juga mampu membangun filter yang kokoh, baik bagi dirinya maupun terhadap  orang-orang di lingkungannya, sehingga secara personal tidak mudah  dipengaruhi media.
Di sejumlah negara, masyarakatnya sudah mulai dipersiapkan untuk menghadapi era komunikasi dan informasi dengan mengembangkan literasi-literasi baru. Gerakan literasi media (media literacy) merupakan salah satu langkah untuk mengembangkan daya-daya publik menghadapi media massa.
Publik diajak untuk tidak menerima begitu saja apa yang disampaikan media massa, melainkan menerimanya dengan penuh daya kritis.
Dalam dunia yang semakin menyatu ini, literasi media merupakan salah satu hal yang direkomendasikan untuk dikembangkan di berbagai negara pada 21st Century Literacy Summit di Berlin, 7-8 Maret 2002.
 Gerakan literasi media ini sudah dikembangkan di berbagai negara.
Di Amerika Serikat, gerakan ini banyak dipelopori perguruan tinggi yang menjalankan proyek-proyek literasi media seperti New Mexico Literacy Project yang dijalankan University of New Mexico dan di State Universitu of Appalachian membuka program S-2 literasi media, di Kanada dijalankan Departemen Pendidikan yang memasukkan literasi media ke dalam kegiatan ekstra kurikuler di sekolah, di Australia banyak dipelopori perguruan tinggi khususnya Universitas Edith Cowan, Universitas Sidney dan Universitas Mcquire. Di Rusia, sejak tahun 2002, literasi media menjadi salah satu program studi di peguruan tinggi (Center for Media Literacy, 2003 & Fedorov, 2002).
Literasi media ini dikembangkan melalui kegiatan yang dinamakan pendidikan media dan media studies (Fedorov, 2002). Kegiatan pendidikan media dan media studies itu pada umumnya dilakukan lembaga swadaya masyarakat, lembaga yang bernaung di bawah perguruan tinggi dan lembaga yang menyeleng-garakan pendidikan dan pelatihan untuk guru. 
Artinya, di sini mesti dibedakan antara pendidikan media dan literasi media yang dijalankan sebagai program pendidikan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dengan pendidikan tentang literasi media yang dijalankan sebagai satu program studi di perguruan tinggi seperti yang dijalankan di Rusia.
Dengan demikian, kegiatan pendidikan literasi media tersebut dijalankan di luar lembaga pendidikan formal/persekolah meski ada kalanya dilakukan oleh lembaga pendidikan seperti lembaga pendidikan tinggi semisal yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia.
Kegiatan pendidikan literasi media yang dijalankan di berbagai negara itu pada dasarnya merupakan salah satu program pendidikan nonformal. Karakteristik pendidikan nonformal itu dapat dilihat, baik dari sisi tujuan, waktu, isi program, proses pembelajaran dan pengendalian.
Dilihat dari aspek proses pembelajaran yang menjadi karakteris-tik pendidikan literasi media sebagai kelanjutan dari kemampuan baca-tulis seperti yang diungkapkan dalam Buku Putih KTT Literasi Abad ke-21 di Berlin,  menunjukkan pendidikan ini memang dipusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga.
Selain itu, karena masyarakat mutakhir ini dijuluki juga masyarakat komunikasi massa, maka persentuhan dengan media massa menjadi tak terhindarkan lagi sehingga pendidikan literasi media pada dasarnya berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat. Tentu saja struktur program pendidikannya pun luwes, berpusat pada peserta didik dan menghemat sumber-sumber yang tersedia.
Praktik pendidikan literasi media di berbagai negara menunjukkan, pendidikan ini dapat dilangsungkan di mana pun. Sejauh ada peserta didik dan sumber belajar, kegiatan pembelajaran dilangsungkan.
Beberapa organisasi yang menggerakkan pendidikan literasi media menggunakan media belajar mulai dari poster hingga membuka situs di internet. Namun dengan struktur program yang longgar.         
Salah satu organisasi media literacy yang terbilang sukses dalam mendidik anak-anak, pemuda, dan dewasa agar menjadi konsumen media yang kritis adalah New Mexico Media Literacy Project (NMMLP).
Didirikan tahun 1993, NMMLP membantu ratusan ribu orang dari berbagai negara untuk meningkatkan media literacy skill. Misi NMMLP adalah menanamkan pemikiran kritis dan aktif dalam kultur media untuk membangun komunitas yang sehat dan adil.
Satu hal yang patut dicatat, pendidikan media literacy di sekolah merupakan aspek-aspek pengajaran yang lebih berdimensi sosiologis dan etis. Tujuan pendidikan media literacy adalah untuk memproteksi anak didik dari persepsi-persepsi buruk media sekaligus mendidik anak untuk mampu mengapresiasi efek positif media. Maka pendidikan media literacy tidak sekadar mengajarkan siswa tentang segi teknis produksi tayangan media, melainkan juga berbagai konsekuensi yang timbul dari kekuatan media.
Pendidikan media literacy mengajarkan pada anak tentang pemanfaatan media secara bijak serta penilaian kritis terhadap muatan media.
Di Indonesia, pendidikan literasi media belum banyak berjalan. Setelah reformasi politik tahun 1998, yang kemudian memunculkan perubahan kebijakan dalam bidang media massa dan diundangkannya 2 UU yang berkaitan dengan media massa yakni UU No.40/1999 tentang Pers dan UU No.32/2002 tentang Penyiaran, upaya untuk mengembangkan kehidupan media massa lebih terfokus pada lembaga media massa.
Karena itu banyak berdiri lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pengawasan media/pers (media/press-watch). Padahal UU Penyiaran misalnya menyebutkan, pentingnya melakukan pendidikan media agar masyarakat bisa mencapai taraf literasi media.
Pendidikan literasi media pada dasarnya merupakan upaya penguatan dan pemberdayaan khalayak media massa. Pilihan penguatan khalayak media massa dilakukan mengingat isi media massa pada dasarnya tidak lagi dapat dikontrol publik.
Setiap media massa memiliki mekanismenya sendiri untuk menentukan apa yang akan disampaikan kepada publik. Dengan demikian pilihan melakukan pendidikan literasi media merupakan pilihan yang tepat untuk kondisi kehidupan media massa sekarang ini dan perkembangan masyarakat saat ini.
Indonesia sebagai negara yang sedang mengalami transisi menuju negeri demokrasi yang dewasa membutuhkan media massa yang berperan mengarahkan masyarakat menuju kedewasaan dalam kehidupan demokrasi.
Namun pada sisi lain, masa transisi ini juga diwarnai dengan pertumbuhan media massa sebagai bentuk kegiatan komersial yang merupakan wujud industri media. Sesuai dengan hukum yang berlaku dalam dunia industri, maka isi yang dipublikasikan media massa pun tentu tak akan bisa melepaskan diri dari mekanisme pasar produk industri yang mesti menyesuaikan diri dengan selera masyarakatnya.
Program-program pengembangan literasi media dapat dikembangkan dari berbagai kelompok masyarakat. Secara formal dapat dikembangkan lewat, siswa SD, siswa SMP, siswa SMU/SMK, mahasiswa.
Namun secara informal dapat dilakukan dari kelompok masyarakat yang tergabung dalam Karang Taruna yang berada di tingkat terendah hingga tertinggi.
Demikian pula kalangan ibu rumah tangga yang bernanung di bawah organisasi tertentu, misalnya PKK.
Metode-metode pelatihan seputar literasi media bisa dilakukan kepada kelompok-kelompok tersebut yang selanjutnya kelompok-kelompok ini dapat mendidik dan memberi pemahaman tentang perlunya literasi media bagi khalayak banyak.
Literasi media juga dapat dikembangkan lewat jalur keagamaan. Di Sulawesi Utara, misalnya di tingkat organisasi keagamaan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) terdapat aras jemaat yang tergabung dalam Anak Sekolah Minggu, Remaja, Pemuda, Ibu dan Bapak. Progam literasi media bisa dimasukkan dalam pengembangan ajaran keagamaan yang dikaitkan dengan literasi media.
Hal yang sama juga bisa dilakukan dalam lingkup kelompok keagamaan lainnya, misalnya yang terhimpun dalam Remaja dan Pemuda Masjid. Di kalangan Katolik ada kalangan Muda-Mudi Katolik (Mudika). Demikian pula dengan KGPM yang memiliki perkumpulan anak, remaja dan pemuda.
Unsur keagamaan akan menjadi basis paling penting dalam program pengembangan literasi media. Dengan menjelaskan bahaya dan dampak perkembangan media massa tanpa control, maka semua kalangan rasanya akan setuju memprotek generasi bangsa dari kuatnya pengaruh media massa.
Pengembangan dan pemberian pemahaman tentang literasi media lewat organisasi keagamaan dapat dilakukan dan diawali dengan menciptakan tenaga penyuluh atau peserta didik yang sebelumnya telah menerima pembekalan tentang literasi media. Pembekalan itu sendiri bisa diberikan dari lembaga negara semacam KPI/D, Komisi Perlindungan Anak. Atau dari unsure pemerintah lewat Depkomimfo/Dinas Komimfo atau dari instansi terkait semacam Biro Pemberdayaan Perlindungan dan Anak.
Tenaga penyuluh yang sebelumnya telah menerima pembekalan ini kemudian bertugas ke kelompok-kelompok kemasyarakatan dan keagamaan dalam memberi pemahaman terhadap pentingnya literasi media.
Diketahui, pendidikan literasi media sebagaimana diamanatkan pada Pasal 52 (2) UU Nomor. 32/2002 tentang Penyiaran  dinyatakan dilakukan “organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan kalangan pendidikan”.
Ini mengindikasikan pendidikan tersebut tak dilakukan dalam kerangka pendidikan sekolah. Memang dari banyak negara yang mengembangkan literasi media, hanya Kanada yang memasukan literasi media ke dalam kuruikulum pendidikan sekolah. Di negara lain seperti di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Australia dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat.
Beberapa perguruan tinggi membentuk lembaga yang mengembangkan literasi media bagi para guru sekolah seperti yang dilakukan di Babson College Amerika Serikat dan di Universitas North Caroline di Chapel Hill.
Dengan demikian,  pada dasarnya pendidikan literasi media lebih merupakan kegiatan pendidikan nonformal (PNF). Menurut Sudjana (2000:23) PNF adalah “pendidikan yang program-programnya bersifat nonformal, memiliki tujuan dan kegiatan yang terorganisasi, diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan di lembaga-lembaga, untuk melayani kebutuhan khusus para peserta didik”.
Besarnya peran PNF dalam pengembangan pendidikan literasi media tersebut dapat dilihat dari uraian Pungente (2002) mengenai faktor-faktor yang mendorong berkembang-nya literasi media, yakni:
1.      Seperti halnya program-program inovatif lainnya, literasi media mesti merupakan gerakan grass-roots. Para guru perlu berinisiatif dalam melakukan lobi untuk memasukan literasi media ke dalam kurikulum sekolah.
2.      Otoritas pendidikan mesti memberikan dukungan yang jelas terhadap program-program seperti itu dengan memberi mandat pada pengajaran media studies di dalam kurikulum; membuat pedoman dan buku sumber; memastikan kurikulumnya dikembangkan; dan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan.
3.      Fakultas-fakultas pendidikan mesti mempekerjakan staf yang mampu melatih guru masa depan dalam bidang ini. Jadi mesti ada dukungan akademik dari pendidikan tinggi dalam menulis kurikulum dan menyediakan konsultasi yang berkelanjutan.
4.      Ada pelatihan pada distrik sekolah yang merupakan bagian dari implementasi program
5.      Distrik sekolah membutuhkan konsultan yang memiliki kepakaran dalam literasi media, dan mampu membangun jaringan komunikasi
6.      Menyediakan materi audio-visual dan buku-buku ajar yang cocok dan relevan  dengan daerah tersebut
7.      Mesti dibuat organisasi penunjang yang dibentuk dengan maksud menyelenggarakan lokakarya, konferensi, diseminasi kalawarta, dan mengembangkan unit-unit kurikulum.  Sebagaimana  layaknya organisasi profesional, organisasi ini mesti melintasi dewan sekolah dan distrik untuk melibatkan berbagai pihak yang berminat dalam literasi media.
8.      Mesti ada instrumen evaluasi yang memadai yang cocok untuk sifat khas studi media
9.      Karena literasi media mencakup berbagai keahlian dan kepakaran, maka mesti ada kolaborasi di antara guru, orang tua siswa, peneliti dan profesional media. 
      
Dengan memperhatikan ke-9 faktor yang mendorong pertumbuhan pendidikan literasi media tersebut, jelas PNF memainkan peran yang besar. Penyelenggaraan program pendidikan literasi media tersebut, di negara maju sekalipun, seperti yang diuraikan di atas, bukan atau belum menjadi bagian dari kurikulum pendidikan sekolah. Padahal, makin hari makin disadari pentingnya pendidikan literasi media ini mengigat dunia sekarang ini menjadi tempat tumbuh subur media massa dengan pengaruh positif dan negatifnya.
Satu hal yang menarik diperhatikan, salah satu faktor pendorong perkembangan pendidikan literasi media adalah menjadikannya sebagai gerakan akar-rumput. Artinya, pendidikan literasi media sebagai satu gerakan tentu bukan gerakan yang dicanangkan secara resmi oleh pemerintah atau lembaga-lembaga resmi laiannya melainkan lebih merupakan gerakan yang dikembangkan di tengah masyarakat oleh masyarakat sendiri.
 Hal ini bisa dimengerti bila mengingat, pendidikan literasi media pada dasarnya lebih merupakan kebutuhan warga masyarakat yang merasakan kekhawatiran dampak negatif media massa. Namun pada saat yang sama merasa tak memiliki akses terhadap isi media massa dan juga tidak memiliki cukup kekuatan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang berimplikasi terhadap siaran/publikasi hiburan dan informasi yang disampaikan media massa.
Media massa merupakan bagian dari kehidupan manusia modern yang memberikan dampak positif dan negatifnya. Terhadap dampak negatif media massa tersebut, tidak cukup hanya dengan menyalahkan dan mengutuk media massa melainkan diperlukan langkah-langkah pendidikan literasi media, sehingga manusia bisa mengambil manfaaat sebesar-besarnya dari kehadiran media massa.
Pendidikan literasi media merupakan keharusan untuk dilaksanakan di Indonesia. Secara yuridis, keharusan tersebut dinyatakan antara lain dalam UU No 32/2002 tentang Penyiaran.(***)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar