Selasa, 05 Maret 2013

Siswa Ungkap Tujuh Dosa Jurnalisme



 Pemaparan materi tentang Sejarah dan Perjuangan AJI disampaikan

WORKSHOP jurnalistik yang digelar Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Propinsi Sulut dengan menghadirkan tim dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado, Selasa 05 Februari 2013, berlangsung sukses. Sedikitnya 55 siswa perwakilan dari 13 SMA dan SMK yang ada di Manado antusias mengikuti kegiatan ini. 

Kepala Dinas Diknas Propinsi Sulut, Drs JSJ Wowor MSi membuka secara resmi rangkaian kegiatan ini.  Setelah sambutan dan materi pembukaan dari Wowor, acara workshop yang dipandu Kasubag Umum Dinas Diknas Sulut, Danny Lampus SPd MAP ini didahului dengan pemaparan dua materi sekaligus yakni Pengantar Pers dan Jurnalistik, serta Sejarah Perjuangan AJI dan Penegakan Etika Jurnalistik yang disampaikan Ketua AJI Manado, Yoseph E Ikanubun. Dalam kesempatan itu,  Ikanubun menjelaskan tentang sejarah perkembangan pers, serta sikap AJI atas pelaksanaan Hari Pers Nasional. “Sejarah pers nasional haruslah ditandai dengan kelahiran surat kabar pertama di Batavia yakni Bataviasche Nouvelles pada tahun 1744. Sehingga AJI tetap menolak penetapan 09 Februari sebagai HPN karena tidak punya dasar historis yang kuat. Tanggal 09 Februari sebenarnya adalah HUT Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI,” papar Ikanubun.
Menariknya persoalan etika jurnalistik juga paling banyak diungkap para siswa. Salah satunya adalah, Yosua Eduard Ransoen, yang mengutip pernyataan jurnalis dan ahli sejarah Amerika Serikat Paul Johnson, tentang tujuh dosa yang paling mematikan dalam jurnalisme atau seven deadly sins. “Saya bisa menyebut lima dari tujuh dosa jurnalisme itu yakni, distorsi informasi, meracuki pikiran anak, mengganggu privasi, pembunuhan karakter, serta eksploitasi seks. Bagaimana pendapat narasumber terkait dosa mematikan jurnalisme ini,” ujar Ransoen. Selanjutnya satu per satu dosa mematikan itu dijelaskan oleh Ikanubun, dengan berpatokan pada 11 pasal Kode Etik Jurnalistik. Diketahui, dua dosa mematikan lainnya adalah dramatisasi fakta palsu dan penyalahgunaan kekuasaan.
Tak pelak pertanyaan ini mendapat apresiasi dari peserta, pemateri serta kalangan Dinas Diknas.   
Usai dua materi itu, dilanjutkan dengan teori tentang berita, tekhnik wawancara dan penulisan berita yang disampaikan oleh Nolfie Tamod, Ishak Kusrant dan Simon Making. Setelah sesi teori, dilanjutkan dengan simulasi wawancara serta penulisan bertita dan presentase hasil penulisan berita oleh masing-masing kelompok. “Saya memantau langsung dari CCTV di ruangan saya, bagaimana para siswa mengikuti simulasi praktek wawancara dengan narasumber. Sangat antusias, kritis dan berbakat,” papar Wowor.
Wowor menambahkan, ke depan kegiatan serupa akan digelar untuk memberi bekal jurnalistik bagi kalangan siswa.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar