Selasa, 05 Maret 2013

AJI Manado Beri “Kejutan” di HPN






Pembacaan pernyataan sikap penolakan HPN di depan Sekretariat AJI Manado.

ALIANSI Jurnalis Independen (AJI) Manado mempertanyakan relevansi pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN) dengan eksistensi media masa itu sendiri. Pasalnya AJI mencermati pelaksanaan HPN cenderung sarat dengan muatan kepentingan pemerintah, dan media tertentu tanpa melihat eksistensi pers secara keseluruhan.

“HPN ini seolah-olah menjadi hajatan pemerintah, dan bukan kalangan pers itu sendiri. Kalau toh ada keterlibatan insan media, justru terkesan didominasi oleh media tertentu saja. Kami menilai HPN tidak memberi arti yang lebih bagi eksistensi pers itu sendiri,” papar Ketua AJI Manado, Yoseph E Ikanubun didampingi Sekretaris Ishak Kusrant.
Ikanubun menambahkan, ada beberapa alasan sehingga AJI bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Yang pertama, menurut dia, tema HPN yang diangkat justru sama sekali tidak menyentuh atau menyebut peran pers, ataupun jurnalis itu sendiri. “Tema yang diangkat tidak memberikan ruang, kedudukan yang terhormat bagi pers sebagai pilar ke empat dalam demokrasi. Sama sekali tidak menyebut soal eksistensi media itu sendiri. Dari tema ini, masyarakat bingung, yang sementara hajatan adalah insan pers, atau pemerintah Sulawesi Utara,” papar Ikanubun dan Kusrant.
Hal lain yang menjadi sorotan, lanjut Ikanubun, adalah momen HPN ini justru disinyalir didompleng oleh pemerintah maupun industri media tertentu untuk agenda mereka. “Ini tentu disayangkan, jika ada pihak tertentu yang mendompleng HPN ini untuk agenda mereka. Apa relevansinya dengan eksistensi media secara umum,” tandas keduanya.  
Sedangkan saat ditanyakan terkait sikap AJI sendiri, Ikanubun dan Kusrant menyatakan, dari tahun ke tahun AJI secara nasional selalu menyatakan sikap tegas bahwa penetapan HPN pada 09 Februari harus dikaji kembali.  Karena sesungguhnya 09 Februari adalah hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI. Yang di jaman orde baru merupakan satu-satunya wadah organisasi wartawan yang diakui pemerintah. Lanjut dia, tinjauan historisnya tidak jelas untuk menetapkan 09 Februari sebagai HPN. “Hari lahir PWI naik kasta menjadi HPN yang diperingati secara nasional karena peran Menteri Penerangan Harmoko yang merayu Presiden Soeharto untuk menetapkannya sehingga sejak 1985 HPN diperingati di tanggal tersebut. Penetapan tanggal 09 Februari sebagai HPN dibuat melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985,” papar keduanya sambil menambahkan, mestinya penetapan HPN tak lepas dari sejarah lahir pers di Indonesia itu sendiri.
Hal lain yang sangat penting yang selalu dikritik AJI setiap pelaksanaan HPN, lanjut Ikanubun, adalah penggunaan dana APBN dan APBD oleh pemerintah dalam jumlah miliaran rupiah untuk acara-acara seremonial yang cukup mewah. Sementara di sisi lain, pemerintah dan aparat hukum tidak punya keseriusan untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan termasuk pembunuhan terhadap jurnalis. “Jadi setiap tahunnya kita merayakan HPN secara meriah, menghamburkan miliaran uang rakyat. Pemerintah dan sejumlah petinggi media duduk bersanding dalam kegiatan-kegiatan seremonial. Sementara kita lupa bahwa banyak kawan jurnalis yang berdarah-darah dalam menjalankan profesinya. Jadi korban pembunuhan, sementara pemerintah dan aparat keamanan tak serius mengusut kasus tersebut,” tegas mereka.
Sedangkan untuk sikap AJI Manado sendiri, keduanya mengatakan, pihaknya menyiapkan “kejutan” di HPN nanti. “Bentuknya seperti apa, kita lihat saja nanti. Yang pasti AJI tetap mengambil garis yang berbeda, sebagaimana platform perjuangannya,” pungkas Ikanubun dan Kusrant.(***)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar