Pembacaan pernyataan sikap penolakan HPN di depan Sekretariat AJI Manado.
ALIANSI
Jurnalis Independen (AJI) Manado mempertanyakan relevansi pelaksanaan Hari Pers
Nasional (HPN) dengan eksistensi media masa itu sendiri. Pasalnya AJI
mencermati pelaksanaan HPN cenderung sarat dengan muatan kepentingan
pemerintah, dan media tertentu tanpa melihat eksistensi pers secara
keseluruhan.
“HPN ini seolah-olah menjadi hajatan pemerintah, dan
bukan kalangan pers itu sendiri. Kalau toh ada keterlibatan insan media, justru
terkesan didominasi oleh media tertentu saja. Kami menilai HPN tidak memberi
arti yang lebih bagi eksistensi pers itu sendiri,” papar Ketua AJI Manado,
Yoseph E Ikanubun didampingi Sekretaris Ishak Kusrant.
Ikanubun menambahkan, ada beberapa alasan sehingga
AJI bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Yang pertama, menurut dia, tema HPN
yang diangkat justru sama sekali tidak menyentuh atau menyebut peran pers,
ataupun jurnalis itu sendiri. “Tema yang diangkat tidak memberikan ruang,
kedudukan yang terhormat bagi pers sebagai pilar ke empat dalam demokrasi. Sama
sekali tidak menyebut soal eksistensi media itu sendiri. Dari tema ini,
masyarakat bingung, yang sementara hajatan adalah insan pers, atau pemerintah
Sulawesi Utara,” papar Ikanubun dan Kusrant.
Hal lain yang menjadi sorotan, lanjut Ikanubun,
adalah momen HPN ini justru disinyalir didompleng oleh pemerintah maupun
industri media tertentu untuk agenda mereka. “Ini tentu disayangkan, jika ada
pihak tertentu yang mendompleng HPN ini untuk agenda mereka. Apa relevansinya
dengan eksistensi media secara umum,” tandas keduanya.
Sedangkan saat ditanyakan terkait sikap AJI sendiri,
Ikanubun dan Kusrant menyatakan, dari tahun ke tahun AJI secara nasional selalu
menyatakan sikap tegas bahwa penetapan HPN pada 09 Februari harus dikaji
kembali. Karena sesungguhnya 09 Februari
adalah hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI. Yang di jaman
orde baru merupakan satu-satunya wadah organisasi wartawan yang diakui
pemerintah. Lanjut dia, tinjauan historisnya tidak jelas untuk menetapkan 09
Februari sebagai HPN. “Hari lahir PWI naik kasta menjadi HPN yang diperingati
secara nasional karena peran Menteri Penerangan Harmoko yang merayu Presiden
Soeharto untuk menetapkannya sehingga sejak 1985 HPN diperingati di tanggal
tersebut. Penetapan tanggal 09 Februari sebagai HPN dibuat melalui Keputusan
Presiden Nomor 5 Tahun 1985,” papar keduanya sambil menambahkan, mestinya
penetapan HPN tak lepas dari sejarah lahir pers di Indonesia itu sendiri.
Hal lain yang sangat penting yang selalu dikritik
AJI setiap pelaksanaan HPN, lanjut Ikanubun, adalah penggunaan dana APBN dan
APBD oleh pemerintah dalam jumlah miliaran rupiah untuk acara-acara seremonial
yang cukup mewah. Sementara di sisi lain, pemerintah dan aparat hukum tidak
punya keseriusan untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan termasuk pembunuhan
terhadap jurnalis. “Jadi setiap tahunnya kita merayakan HPN secara meriah,
menghamburkan miliaran uang rakyat. Pemerintah dan sejumlah petinggi media
duduk bersanding dalam kegiatan-kegiatan seremonial. Sementara kita lupa bahwa
banyak kawan jurnalis yang berdarah-darah dalam menjalankan profesinya. Jadi
korban pembunuhan, sementara pemerintah dan aparat keamanan tak serius mengusut
kasus tersebut,” tegas mereka.
Sedangkan untuk sikap AJI Manado sendiri, keduanya mengatakan,
pihaknya menyiapkan “kejutan” di HPN nanti. “Bentuknya seperti apa, kita lihat
saja nanti. Yang pasti AJI tetap mengambil garis yang berbeda, sebagaimana platform perjuangannya,” pungkas
Ikanubun dan Kusrant.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar