Kamis, 10 Januari 2013

Media Wajib Lindungi Korban Kejahatan Seksual



MEDIA cetak, elektronik termasuk televisi dan radio serta online,  ramai memberitakan kasus kejahatan seksual yang dialami RI, anak 10 tahun. Media membantu memberitakan kasus kejahatan ini sehingga pihak kepolisian segera bertindak. Juga beberapa kasus kekerasan seksual terutama menyangkut anak-anak dibawah umur media memberikan porsi utama dalam setiap pemberitaannya.

Masyarakat pun mengetahui bahwa masih banyak persoalan besar yang dialami oleh anak. Namun, pemberitaan tentang isu anak, khususnya pemberitaan kekerasan seksual masih belum sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, kode etik jurnalistik, UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 SPS) 2012 serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia masih menemukan media massa yang melakukan pelanggaran berupa pengungkapan identitas anak korban kekerasan seksual dan keluarganya. Media massa sesuai aturan seharusnya menyamarkan identitas korban dan keluarganya dalam bentuk apapun (wawancara, foto, tempat tinggal, sekolah, rumah sakit) di media. Bahkan ada media yang mewawancarai anak korban kejahatan seksual. Ini jelas bertentangan dengan kode etik serta P3SPS.
 Temuan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan AJI Indonesia pada Maret-Mei 2012 kepada tujuh surat kabar dan enam televisi. Selama kurung waktu tiga bulan, 442 berita tentang anak di surat kabar dan 396 berita di televisi. Berita kekerasan seksual sebanyak 34 berita di surat kabar dan 14 berita di televisi.
Media, berdasarkan hasil penelitian, masih memuat identitas anak. Nama korban disamarkan, namun nama orangtua atau keluarga masih disebutkan secara lengkap. Media juga masih memberikan stereotipe serta penggunaan istilah yang menyudutkan anak-anak. Ada juga media yang masih melakukan wawancara dengan anak korban kekerasan seksual. Anak korban kekerasan seksual masih ditanya tentang dimana kejadian dan bagaimana kejadian itu berlangsung.
Padahal sangat jelas dalam P3SPS, anak tidak boleh diwawancara terkait sesuatu yang membuatnya trauma. Kasus kekerasan seksual merupakan suatu kejadian yang menimbulkan trauma fisik maupun psikis. Ini menunjukkan perlindungan atas hak anak, masih belum dipenuhi oleh media.
Terkait itu, AJI Indonesia menghimbau agar media harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 SPS) 2012 serta Undang-Undang No 13 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Media diharapkan ikut memberikan perlindungan terhadap anak atas pemberitaan. Jangan sampai media memberitakan namun justru menimbulkan dampak lebih berat kepada korban dan keluarganya.

Jakarta, 9 Januari 2013
Eko Maryadi
(Ketua Umum AJI Indonesia)
Rach Alida Bahaweres
(Koordinator Divisi Perempuan AJI Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar