ADA
hal yang menggelitik bagi saya saat meliput Musyawarah Kerja Daerah (Muskerda)
Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Propinsi Sulut, Kamis 21 Desember 2012
lalu. Di saat polemik tentang perubahan kurikulum sedang panas-panasnya,
seorang pengusaha yang ikut hadir dalam kegiatan tersebut bicara soal
desentralisasi proyek pendidikan melalui pengadaan dan penerbitan buku.
Menginjak tengah hari, saya tiba di sebuah hotel di
kawasan Bahu Mall Manado. Setelah masuk ke dalam ruangan, terlihat Kepala Dinas
Pendidikan Nasional Propinsi Sulut, Drs JSJ Wowor MSi bersama Ketua BMPS Propinsi
Sulut, Pastor Freds tawalujan Pr berada di meja pembicara. Rupanya sesi siang
itu hampir selesai. Ratusan peserta yang terdiri dari guru dan pengurus yayasan
persekolahan sedang menunggu waktu makan siang. Ketika Wowor mempersilahkan
para peserta untuk menanggapi sesi itu sebelum diakhiri, seorang di antara
peserta itu mengacungkan tangannya. Sambil
membuka catatan dari sebuah phonebook-nya,
pria yang belakangan diketahui sebagai pemilik hotel itu bicara panjang lebar
tentang sistem pendidikan Indonesia. Dia membaca data serta catatan-catatan
yang dipegangnya dengan begitu semangat, tanpa memperhatikan peserta yang mulai
jenuh dan menanti jam makan siang. Penyampaian pengusaha ini mulai menarik dan
menggelitik saat dia menyinggung soal rencana perubahan kurikulum yang
dipandang dari sudut pengusaha. “Perubahan kurikulum punya banyak implikasi. Salah
satunya adalah berubahnya buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Berapa banyak
dana yang bakal dihabiskan untuk pengadaan buku yang abru sesuai kurikulum?,”
papar sang pengusaha tadi.
Dia kemudian menambahkan, sistem desentralisasi yang
diterapkan di Indonesia ternyata tidak merata di semua sektor, termasuk
pendidikan. “Seharusnya kalau desentralisasi sektor pendidikan, untuk proyek
pengadaan buku harus diserahkan juga kepada pengusaha di daerah. Bukan semua
menjadi monopoli pengusaha di Jawa,” ujar dia.
Ratusan peserta tampak bisik-bisik. “Yah, dasar
pengusaha. Perubahan kurikulum dihitung dari aspek proyek pengadaan buku,”
celutuk seorang peserta.
Wowor dan Talalujan menjawabnya secara diplomatis. Hadirin
juga tak tertarik untuk membahasnya lebih lanjut. Setelah doa makan, ratusan
peserta pun bersaing ketat untuk mendapatkan piring guna menikmati makan siang.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar