Sabtu, 19 Januari 2013

Lagi, Tentang Polemik HPN



SAYA baru saja memarkir sepeda motor di halaman Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Propinsi Sulawesi Utara, ketika terlihat tiga staf di instansi tersebut sibuk memasang sebuah baliho. Rabu 16 Januari 2013. Tiga foto masing-masing Gubernur Sulut SH Sarundajang, Wakil Gubernur Djauhari Kansil dan Sekretaris Propinsi Siswa Rahmat Mokodongan terpampang dalam ukuran besar. Di samping foto para pejabat Pemprop Sulut itu, tertulis tema: “Mengembangkan Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru Menuju Kebangkitan Sulawesi Utara Sebagai Pintu Gerbang Indonesia Kawasan Asia Pasifik.”

“Ini bukan Hari Pers Nasional. Tapi Hari Pemerintah Nasional,” ujar saya kepada salah satu staf di bidang Humas Dinas Diknas Sulut. “Yah kita kan Cuma bawahan, yang disuruh pasang ini baliho,” ujar staf dari, kawan saya yang dulu juga seorang jurnalis. Saya terus “memprovokasi” dengan sejumlah pertanyaan yang membuat gerah salah satu pegawai Dinas Diknas lainnya. “Ini Cuma menghabiskan dana APBD saja. Coba dana untuk membuat baliho ini dialokasikan untuk siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu, dari pada membuat baliho besar Cuma untuk pencitraan para pejabat daerah,” tambah saya.  Beberapa saat saya menunggu reaksi dari pegawai tadi, tadi rupanya dia tidak punya nyali untuk berdebat. Setelah mengambil beberapa gambar, saya pun bergegas meninggalkan halaman instansi tersebut.
Kamis 17 Januari. Sekitar pukul 09.00 WITA saya terjaga dari tidur saat ponsel di samping berdering keras. “Hallo Kak Osep, boleh mo dialog sebentar,” ujar seorang wanita di balik telepon. Saya kenal suara ini. Meski lupa siapa namanya. Gadis cantik berbadan ramping. Bekerja di salah satu stasiun televisi lokal di Manado. sudah beberapa kali dia menghubungi saya untuk dalam dalam dialog di stasiun televisi itu. “Jam berapa,” tanya saya. “Jam stengah satu. Boleh neh Kak,” jawab dia. “Hmm, saya sibuk kalau jam begitu. Topiknya tentang apa,” balas saya. “Tentang Hari Pers Nasional atau HPN. Bagaimana peran AJI sebagai organisasi profesi jurnalis di momen ini,” tandas dia. “Hmm..ya ya. Saya konsultasi dulu dengan Ketua Umum AJI Indonesia yah, setelah itu baru bisa dialog di lain kesempatan,” jawab saya. “Lain kali mau yah Kak, kalau saya telpon,” pintanya. “Ok ok,” jawab saya.
HPN yang akan digelar di Manado, 09 Februari 2013 ini memang mulai menggema. Namun menariknya, HPN seolah menjadi milik dan hajatan pemerintah, serta segelintir wartawan. Beberapa waktu lalu saya bahkan sempat mengedit berita di kantor tentang beberapa personil panitia HPN dari kalangan wartawan yang mempertanyakan proses pencairan dana di kantor Gubenur Sulut. Ya..aroma tak sedap tentang “pembagian kue” HPN mengiringi persiapan iven yang rencananya bakal dihadiri langsung oleh Presiden SBY.
Dalam perbincangan saya dengan satu kawan jurnalis di suatu sore di sebuah pusat perbelanjaan di Manado, sahabat saya tadi hanya terdiam. Tak bisa memberi tanggapan saat saya tanya tentang keterkaitan tema HPN dengan eksistensi pers itu sendiri.
Perbincangan, diskusi, sampai perdebatan tentang HPN ini terus terjadi dalam beberapa pekan terakhir ini. Bahkan polemik tentang HPN ini sebenarnya terjadi setiap tahunnya. Membaca kembali sejumlah literatur, termasuk tulisan tahun sebelumnya di blog ini.   
Sabtu 19 Januari. Siang hari di Sekretariat AJI Manado, Jl Korengkeng No 1 Wenang Manado. Saya memulai menyelesaikan tulisan ini. 
Penetapan tanggal 09 Februari sebagai HPN dibuat melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Penetapan itu mengusik banyak orang. Pasalnya, pers Indonesia lahir jauh hari sebelumnya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini. Taufik Rahzen, salah seorang yang gelisah dengan itu. Rahzen menelusuri sejarah itu, kemudian membukukan penelitiannya dalam buku 100 Tahun Pers Nasional. Rahzen kemudian membuat simpulan bahwa mestinya hari kelahiran pers nasional itu ditandai tonggaknya dari terbitnya Medan Prijaji pada 1 Januari 1907.
Dari penelusuran Taufik, diketahui Medan Prijaji, koran berbahasa Melayu sudah terbit di Bandung pada 1 Januari 1907. Koran ini adalah koran yang dibidani Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Karenanya, menurut Taufik, seharusnya Hari Pers Nasional diperingati pada 1 Januari.
Harian ini memang bukan koran yang pertama kali terbit di bumi Nusantara. Sebelumnya banyak koran yang sudah terbit di Hindia Belanda, nama Indonesia di bawah jajahan Pemerintah Kolonial Belanda. Namun, menurutnya, Medan Prijaji adalah koran nasional pertama. Alasannya, semua awak koran tersebut adalah pribumi dan koran tersebut yang pertama menggunakan bahasa Melayu.
Pendapat Taufik dibantah oleh peneliti sejarah di Universitas Leiden, Belanda, Surjadi. Dalam kolomnya yang dimuat di Harian Padang Ekspres, 6 Oktober 2007, Suryadi menyebut bahwa terlalu berlebihan menempatkan Medan Prijaji sebagai tonggak pers nasional. Ia mengatakan Medan Prijaji bukanlah koran nasional pertama. Jauh sebelum Raden Mas Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Medan Prijaji, pada 1894-1910 di Sumatera telah terbit banyak koran berbahasa Melayu yang digawangi Dja Endar Moeda. Sebelumnya pula di Padang, pada 1890-1921, Mahyudin Datuk Sutan Maharadja telah menerbitkan enam koran berbahasa Melayu.
Sumber lain seperti yang ditulis Andreas Harsono dalam blognya. Saya menelusuri blog tersebut. Sebuah postingan dengan judul “Polemik Sejarah Pers Indonesia.” Juga buku Andreas yang berjudul “Agama Saya Adalah Jurnalisme”, pada halaman 63 dengan topik, Pers, Sejarah, dan Rasialisme.   Perdebatan untuk menentukan tonggak berdirinya pers Indonesia adalah, tentang kriteria pers Indonesia atau pers nasional itu sendiri. Apakah yang disebut pers Indonesia, itu koran pertama yang lahir di tanah Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda),  atau koran berbahasa Indonesia (melayu) pertama, ataukah dimiliki dan diasuh oleh orang pribumi? 
Jika mengacu pada kriteria pertama, menurut Andreas, maka suratkabar Bataviasche Nouvelles yang terbit tahun 1744-1746 atau 150 tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di Batavia. Jika ukurannya bukan Bahasa Belanda dan Bahasa Jawa, maka Andreas juga menyebut ada Tjahaja Siang di Minahasa yang terbit tahun 1868, atau Bintang Timoer (1865) yang terbit di Padang.
Saya berkesimpulan, jika kita hendak merumuskan kembali kapan lahirnya sejarah pers nasional lahir sebaiknya dimulai dengan menentukan kriteria pers nasional tertua.
Benarkah HPN jatuh pada 9 Februari? Pertanyaan singkat ini selalu dipertanyakan setiap tahunnya. Asal muasalnya adalah karena tanggal 9 Februari adalah hanyalah hari lahirnya PWI. Diketahui, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Dari pelacakan sejarah kita dapat menemukan bahwa jauh sebelum PWI sudah lahir organisasi wartawan di masa perjuangan melawan kolonialisme, yaitu: Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang dipelopori oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914, Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). PWI sendiri baru lahir pada 9 Februari 1946.
Hari lahir PWI menjadi naik kasta menjadi hari pers yang diperingati secara nasional karena peran Menteri Penerangan Harmoko yang merayu Presiden Soeharto untuk menetapkannya sehingga sejak 1985 HPN diperingati di tanggal tersebut.
Lagipula penetapan HPN yang ditetapkan saat PWI sebagai satu-satunya organisasi tunggal. Padahal sesudah rezim orde baru tumbang sudah lahir banyak organisasi wartawan berskala nasional. Saat rezim orde baru berkuasa sekumpulan wartawan yang memprotes pembredelan Tempo, Editor dan Detik, di tahun 1994, mendirikan organisasi wartawan alternatif yang diberi nama Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saat Soeharto jatuh tahun 1998, PWI pecah menjadi dua dengan lahirnya PWI Reformasi. Juga diikuti berdirinya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Lahirnya HPN yang merujuk pada hari lahir PWI juga dirasa ahistoris dengan sejarah terbitnya pers pertama kali di Indonesia. Terdapat beberapa surat kabar yang terbit sebelum merdeka, baik sesudah tahun 1900 atau sebelumnya yang dapat dipertimbangkan sebagai embrio atau perintis pers nasional.
Kembali ke persiapan HPN di Manado, dan relevansinya dengan eksistensi pers itu dalam konteks kekinian. Saya mencermati ada kepentingan pihak tertentu yang lebih besar membonceng pelaksanaan HPN ini. Lihat saja tema HPN yang sama tidak menyentuh atau memberi porsi dan kedudukan pers itu sendiri. Tapi mungkin bisa dimaklumi, inilah bahasa pemerintah. Ironisnya justru sebagian insan pers sibuk dan berkelahi untuk urusan “bagi-bagi kue” dalam seremonial HPN ini, namun mereka lupa bahwa banyak keringat dan darah para jurnalis juga tercecer karena tangan-tangan kekuasaan. Sejauh mana itikad baik pemerintah dalam menyelesaikan kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis, eloknya itu yang diangkat dalam pelaksanaan HPN ini. Masih ada kasus Aryono Linggotu, Wartawan Harian METRO, yang tewas terbunuh 25 Nopember lalu, yang perlu pendalaman pengusutan dan tidak hanya sampai pada kesimpulan korban salah sasaran.
Masih ada beberapa pekan lagi sebelum pelaksanaan iven yang menyedot dana miliaran rupiah tersebut. AJI Manado sendiri sedang merancang “kegiatan” bertepatan dengan HPN tersebut.  
Sore beranjak malam. Deru kendaraan kian ramai di depan sekretariat AJI Manado, ketika saya kembali merampungkan tulisan ini, setelah beberapa jam waktu tersita untuk main futsal siang tadi.
Sebelum mengakhiri catatan ini, saya ingin kutip kembali pernyataan mahaguru jurnalis, Bill Kovach. Jurnalisme harus tetap memainkan perannya sebagai pemantau kekuasaan, penyambung lidah rakyat. Bahwa media telah menjadi industri, dan bahwa media membutuhkan modal tak bisa dihindari. Tapi publik berhak mendapatkan informasi dan berita yang layak, karena loyalitas jurnalisme adalah kepada publik. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar