SAYA
baru saja memarkir sepeda motor di halaman Dinas Pendidikan Nasional (Diknas)
Propinsi Sulawesi Utara, ketika terlihat tiga staf di instansi tersebut sibuk
memasang sebuah baliho. Rabu 16 Januari 2013. Tiga foto masing-masing Gubernur
Sulut SH Sarundajang, Wakil Gubernur Djauhari Kansil dan Sekretaris Propinsi
Siswa Rahmat Mokodongan terpampang dalam ukuran besar. Di samping foto para
pejabat Pemprop Sulut itu, tertulis tema: “Mengembangkan
Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru Menuju Kebangkitan Sulawesi Utara Sebagai Pintu
Gerbang Indonesia Kawasan Asia Pasifik.”
“Ini bukan Hari Pers Nasional. Tapi Hari Pemerintah
Nasional,” ujar saya kepada salah satu staf di bidang Humas Dinas Diknas Sulut.
“Yah kita kan Cuma bawahan, yang disuruh pasang ini baliho,” ujar staf dari,
kawan saya yang dulu juga seorang jurnalis. Saya terus “memprovokasi” dengan
sejumlah pertanyaan yang membuat gerah salah satu pegawai Dinas Diknas lainnya.
“Ini Cuma menghabiskan dana APBD saja. Coba dana untuk membuat baliho ini
dialokasikan untuk siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu,
dari pada membuat baliho besar Cuma untuk pencitraan para pejabat daerah,”
tambah saya. Beberapa saat saya menunggu
reaksi dari pegawai tadi, tadi rupanya dia tidak punya nyali untuk berdebat.
Setelah mengambil beberapa gambar, saya pun bergegas meninggalkan halaman
instansi tersebut.
Kamis 17 Januari. Sekitar pukul 09.00 WITA saya
terjaga dari tidur saat ponsel di samping berdering keras. “Hallo Kak Osep,
boleh mo dialog sebentar,” ujar seorang wanita di balik telepon. Saya kenal
suara ini. Meski lupa siapa namanya. Gadis cantik berbadan ramping. Bekerja di
salah satu stasiun televisi lokal di Manado. sudah beberapa kali dia menghubungi
saya untuk dalam dalam dialog di stasiun televisi itu. “Jam berapa,” tanya
saya. “Jam stengah satu. Boleh neh Kak,” jawab dia. “Hmm, saya sibuk kalau jam
begitu. Topiknya tentang apa,” balas saya. “Tentang Hari Pers Nasional atau
HPN. Bagaimana peran AJI sebagai organisasi profesi jurnalis di momen ini,”
tandas dia. “Hmm..ya ya. Saya konsultasi dulu dengan Ketua Umum AJI Indonesia
yah, setelah itu baru bisa dialog di lain kesempatan,” jawab saya. “Lain kali
mau yah Kak, kalau saya telpon,” pintanya. “Ok ok,” jawab saya.
HPN yang akan digelar di Manado, 09 Februari 2013
ini memang mulai menggema. Namun menariknya, HPN seolah menjadi milik dan
hajatan pemerintah, serta segelintir wartawan. Beberapa waktu lalu saya bahkan
sempat mengedit berita di kantor tentang beberapa personil panitia HPN dari
kalangan wartawan yang mempertanyakan proses pencairan dana di kantor Gubenur
Sulut. Ya..aroma tak sedap tentang “pembagian kue” HPN mengiringi persiapan
iven yang rencananya bakal dihadiri langsung oleh Presiden SBY.
Dalam perbincangan saya dengan satu kawan jurnalis
di suatu sore di sebuah pusat perbelanjaan di Manado, sahabat saya tadi hanya
terdiam. Tak bisa memberi tanggapan saat saya tanya tentang keterkaitan tema
HPN dengan eksistensi pers itu sendiri.
Perbincangan, diskusi, sampai perdebatan tentang HPN
ini terus terjadi dalam beberapa pekan terakhir ini. Bahkan polemik tentang HPN
ini sebenarnya terjadi setiap tahunnya. Membaca kembali sejumlah literatur,
termasuk tulisan tahun sebelumnya di blog ini.
Sabtu 19 Januari. Siang hari di Sekretariat AJI
Manado, Jl Korengkeng No 1 Wenang Manado. Saya memulai menyelesaikan tulisan
ini.
Penetapan tanggal 09 Februari sebagai HPN dibuat
melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Penetapan itu mengusik banyak
orang. Pasalnya, pers Indonesia lahir jauh hari sebelumnya Bung Karno dan Bung
Hatta memproklamasikan kemerdekaan negeri yang membentang dari Sabang sampai
Merauke ini. Taufik Rahzen, salah seorang yang gelisah dengan itu. Rahzen
menelusuri sejarah itu, kemudian membukukan penelitiannya dalam buku 100 Tahun
Pers Nasional. Rahzen kemudian membuat simpulan bahwa mestinya hari kelahiran
pers nasional itu ditandai tonggaknya dari terbitnya Medan Prijaji pada 1
Januari 1907.
Dari penelusuran Taufik, diketahui Medan Prijaji,
koran berbahasa Melayu sudah terbit di Bandung pada 1 Januari 1907. Koran ini
adalah koran yang dibidani Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Karenanya, menurut
Taufik, seharusnya Hari Pers Nasional diperingati pada 1 Januari.
Harian ini memang bukan koran yang pertama kali
terbit di bumi Nusantara. Sebelumnya banyak koran yang sudah terbit di Hindia
Belanda, nama Indonesia di bawah jajahan Pemerintah Kolonial Belanda. Namun,
menurutnya, Medan Prijaji adalah koran nasional pertama. Alasannya, semua awak
koran tersebut adalah pribumi dan koran tersebut yang pertama menggunakan
bahasa Melayu.
Pendapat Taufik dibantah oleh peneliti sejarah di
Universitas Leiden, Belanda, Surjadi. Dalam kolomnya yang dimuat di Harian
Padang Ekspres, 6 Oktober 2007, Suryadi menyebut bahwa terlalu berlebihan
menempatkan Medan Prijaji sebagai tonggak pers nasional. Ia mengatakan Medan
Prijaji bukanlah koran nasional pertama. Jauh sebelum Raden Mas Tirto Adhi
Soerjo menerbitkan Medan Prijaji, pada 1894-1910 di Sumatera telah terbit banyak
koran berbahasa Melayu yang digawangi Dja Endar Moeda. Sebelumnya pula di
Padang, pada 1890-1921, Mahyudin Datuk Sutan Maharadja telah menerbitkan enam
koran berbahasa Melayu.
Sumber lain seperti yang ditulis Andreas Harsono
dalam blognya. Saya menelusuri blog tersebut. Sebuah postingan dengan judul
“Polemik Sejarah Pers Indonesia.” Juga buku Andreas yang berjudul “Agama Saya
Adalah Jurnalisme”, pada halaman 63 dengan topik, Pers, Sejarah, dan
Rasialisme. Perdebatan untuk menentukan
tonggak berdirinya pers Indonesia adalah, tentang kriteria pers Indonesia atau
pers nasional itu sendiri. Apakah yang disebut pers Indonesia, itu koran
pertama yang lahir di tanah Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda), atau koran berbahasa Indonesia (melayu)
pertama, ataukah dimiliki dan diasuh oleh orang pribumi?
Jika mengacu pada kriteria pertama, menurut Andreas,
maka suratkabar Bataviasche Nouvelles yang terbit tahun 1744-1746 atau 150
tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di Batavia. Jika
ukurannya bukan Bahasa Belanda dan Bahasa Jawa, maka Andreas juga menyebut ada
Tjahaja Siang di Minahasa yang terbit tahun 1868, atau Bintang Timoer (1865)
yang terbit di Padang.
Saya berkesimpulan, jika kita hendak merumuskan
kembali kapan lahirnya sejarah pers nasional lahir sebaiknya dimulai dengan
menentukan kriteria pers nasional tertua.
Benarkah HPN jatuh pada 9 Februari? Pertanyaan
singkat ini selalu dipertanyakan setiap tahunnya. Asal muasalnya adalah karena
tanggal 9 Februari adalah hanyalah hari lahirnya PWI. Diketahui, PWI bukanlah
organisasi wartawan pertama di Indonesia. Dari pelacakan sejarah kita dapat
menemukan bahwa jauh sebelum PWI sudah lahir organisasi wartawan di masa
perjuangan melawan kolonialisme, yaitu: Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang
dipelopori oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914, Sarekat Journalists
Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis
Indonesia (1940). PWI sendiri baru lahir pada 9 Februari 1946.
Hari lahir PWI menjadi naik kasta menjadi hari pers
yang diperingati secara nasional karena peran Menteri Penerangan Harmoko yang
merayu Presiden Soeharto untuk menetapkannya sehingga sejak 1985 HPN
diperingati di tanggal tersebut.
Lagipula penetapan HPN yang ditetapkan saat PWI
sebagai satu-satunya organisasi tunggal. Padahal sesudah rezim orde baru
tumbang sudah lahir banyak organisasi wartawan berskala nasional. Saat rezim
orde baru berkuasa sekumpulan wartawan yang memprotes pembredelan Tempo, Editor
dan Detik, di tahun 1994, mendirikan organisasi wartawan alternatif yang diberi
nama Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saat Soeharto jatuh tahun 1998, PWI
pecah menjadi dua dengan lahirnya PWI Reformasi. Juga diikuti berdirinya Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Lahirnya HPN yang merujuk pada hari lahir PWI juga
dirasa ahistoris dengan sejarah terbitnya pers pertama kali di Indonesia.
Terdapat beberapa surat kabar yang terbit sebelum merdeka, baik sesudah tahun
1900 atau sebelumnya yang dapat dipertimbangkan sebagai embrio atau perintis pers
nasional.
Kembali ke persiapan HPN di Manado, dan relevansinya
dengan eksistensi pers itu dalam konteks kekinian. Saya mencermati ada
kepentingan pihak tertentu yang lebih besar membonceng pelaksanaan HPN ini.
Lihat saja tema HPN yang sama tidak menyentuh atau memberi porsi dan kedudukan pers
itu sendiri. Tapi mungkin bisa dimaklumi, inilah bahasa pemerintah. Ironisnya
justru sebagian insan pers sibuk dan berkelahi untuk urusan “bagi-bagi kue”
dalam seremonial HPN ini, namun mereka lupa bahwa banyak keringat dan darah
para jurnalis juga tercecer karena tangan-tangan kekuasaan. Sejauh mana itikad
baik pemerintah dalam menyelesaikan kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap
jurnalis, eloknya itu yang diangkat dalam pelaksanaan HPN ini. Masih ada kasus
Aryono Linggotu, Wartawan Harian METRO, yang tewas terbunuh 25 Nopember lalu,
yang perlu pendalaman pengusutan dan tidak hanya sampai pada kesimpulan korban salah
sasaran.
Masih ada beberapa pekan lagi sebelum pelaksanaan
iven yang menyedot dana miliaran rupiah tersebut. AJI Manado sendiri sedang
merancang “kegiatan” bertepatan dengan HPN tersebut.
Sore beranjak malam. Deru kendaraan kian ramai di
depan sekretariat AJI Manado, ketika saya kembali merampungkan tulisan ini,
setelah beberapa jam waktu tersita untuk main futsal siang tadi.
Sebelum mengakhiri catatan ini, saya ingin kutip
kembali pernyataan mahaguru jurnalis, Bill Kovach. Jurnalisme harus tetap
memainkan perannya sebagai pemantau kekuasaan, penyambung lidah rakyat. Bahwa
media telah menjadi industri, dan bahwa media membutuhkan modal tak bisa
dihindari. Tapi publik berhak mendapatkan informasi dan berita yang layak,
karena loyalitas jurnalisme adalah kepada publik. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar