Dubes RI untuk Rusia dan Belarusia, Djauhari Oratmangun (kiri), menerima cinderamata dari Rektor Unika De La Salle Manado, Pastor Revie Tanod MA
HARI masih
pagi, ketika dering telepon genggam membangunkanku dari tidur. Tak sempat
kuterima panggilan itu. Kulirik sejenak ponselku. Ternyata Pembantu Rektor III
Universitas Katolik (Unika) De La Salle Manado, Aldrin Timbuleng SIP MPub Hum
yang menghubungiku tadi. Jam masih menunjukan pukul 08.30 WITA, hari pertama,
pekan terakhir di Bulan Januari 2012.
Sejurus kemudian, HP-ku berdering lagi. Sebuah SMS masuk.
“Sep, aldrin ini. Mo kamari toh?,” demikian pesan singkat dari Aldrin, yang
akrab kusapa senior, karena dia adalah mantan Ketua Presidium Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Manado. Sebuah organisasi
ekstra kampus tempat dimana lebih dari delapan tahun aku digodok melalui
berbagai program pelatihan dan kaderisasi, serta perjuangan, sekaligus memimpin
organisasi dengan atribut baret merah marun, bol kuning ini.
Aku langsung teringat, hari ini ada Kuliah Umum bersama Duta
Besar (Dubes) RI untuk Rusia dan Republik Belarusia, Djauhari Oratmangun.
Informasi ini sebelumnya disampaikan Humas Unika De La Salle Manado, Teddy
Tandaju.
Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan tinggi. Maklum, kuliah
umum sesuai jadwal Pukul 09.30 WITA. Kembali kutelusuri jalan menuju Kampus
Unika De La Salle. Tak banyak yang berubah. Jalan masih berlubang di sana-sini.
Pikiranku kembali menerawang ke beberapa tahun lalu. Jalur ini sebenarnya tak asing
lagi bagiku.
Kampus ini terletak di atas bukit. Masuk dalam wilayah
pemerintahan Kelurahan Kombos, Kecamatan Mapanget. Berdiri sejak tahun 2000, termasuk
salah satu universitas ternama di Sulut. “Kampus Biru”, saat ini memiliki
mahasiswa aktif sebanyak 1500 orang. “Iya disebut kampus biru , karena atribut
jacket serta atap gedung, dan hal-hal lain didominasi warna biru,” jelas
Tandaju.
Sesampai di lantai satu kampus, Sekretaris Rektor Margie
Poluan menyambutku. Tak lama berselang, Aldrin menyapaku dan langsung mengantar
ke aula tempat digelarnya kuliah umum.
Ratusan mahasiswa ada di sana. Ruangan penuh sesak, bahkan
puluhan lainnya harus mengikuti kuliah umum dengan berdiri di luar ruangan.
“Minta tu kursi, ada wartawan mo duduk,” ujar Aldrin pada salah seorang
mahasiswi, yang selanjutnya menyerahkan kursi itu kepadaku. “Dudu sini jo Sep,”
sambung Aldrin.
Akupun langsung berusaha menyesuaikan dengan kondisi sekitar.
Mengikuti kuliah umum dengan materi Menuju Komunitas ASEAN 2015. Usai memberi
paparan sedikit tentang posisi Indonesia dalam percaturan politik, ekonomi, dan
sosial ASEAN, Oratmangun selanjutnya bicara panjang lebar tentang hubungan
diplomasi Indonesia dan Rusia, posisi tawar Rusia dalam percaturan politik
dunia. Selanjutnya, pria berdarah Maluku-Manado ini banyak memberikan motivasi
serta menantang para mahasiswa untuk bisa jadi diplomat. “Bagi mahasiswa Unika
De La Salle yang berprestasi, tidak menutup peluang untuk meniti karir sebagai
diplomat. Syaratnya menguasai minimal Bahasa Inggris,” ujar Oratmangun di
hadapan ratusan mahasiswa dan dosen.
Menurut dia, setiap tahunnya Kementrian Luar Negeri (Kemenlu)
melakukan penerimaan untuk calon diplomat yang diikuti oleh puluhan ribu
peserta. “Tiap tahun ada penerimaan calon diplomat, yang ikut tes ada 48 ribu
peserta, sedangkan yang diterima antara 68-100 orang,” ujar Oratmangun.
Selain bicara tentang peluang kerja, Oratmangun juga
mengungkapkan peluang untuk melanjutkan studi di Rusia. Menurut dia, saat ini
jumlah mahasiswa Indonesia yang kuliah di Rusia sangat minim jika dibandingkan
dengan negara-negara Asean lain seperti Malaysia dqan Vietnam. “Untuk
Indonesia, mahasiswanya yang kuliah di Rusia tercatat hanya 128 orang. Coba
bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 3 ribu, atau Vietnam sebanyak 10 ribu
mahasiswa,” ujar Oratmangun.
Ditanya soal faktor penyebab minimnya mahasiswa Indonesia yang
kuliah di Rusia, Oratmangun mengatakan, ada beberapa faktor penyebab seperti
bahasa, juga masalah hubungan kedua negara. “Yang pertama tentu masalah bahasa.
Selain Bahasa Inggris, ada juga bahasa Rusia. Penguasaan bahasa tentu sangat menentukan
keberhasilan kuliah,” ujar dia.
Oratmangun menambahkan, dari sisi Iptek, sebenarnya Rusia
berkembang sangat pesat. Sehingga sangat tepat jika ada mahasiswa Indonesia
yang bisa studi di sana. “Kami juga akan membahas dengan Mendikbud untuk
pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang kuliah di Rusia,” ujar alumnus Fakultas
Ekonomi UGM tahun 1981 ini.
Menariknya, menurut dia, dari data 128 mahasiswa Indonesia
yang kuliah di Rusia, didominasi oleh mahasiswa dari kawasan Indonesia Timur.
“Khususnya dari Maluku. Satu hal lagi, biaya pendidikan di rusia lebih murah
dibanding studi di Eropa, AS atau Australia,” papar Dubes.
Selain itu, lanjut pria
kelahiran Kecamatan Beo, Kabupaten Kepulauan Talaud Sulut ini, faktor hubungan
diplomasi kedua negara juga sangat mempengaruhi. “Hubungan kita (Indonesia,
red) dengan Rusia nanti mulai aktif di tahun 2000-an. Jadi selama ini arus
informasi tentang dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan serta teknologi masih
tertutup,” papar diplomat yang menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya
di Maluku ini.
Hubungan Indonesia dan Rusia saat ini, menurut Oratmangun,
diistilahkan dengan “Sahabat Lama, Era Baru.” Hal ini mengacu pada bagaimana
akrabnya hubungan kedua negara di era orde lama pemerintahan Presiden Soekarno.
Bahkan seperti diungkapkan Oratmangun, beberapa “peninggalan” hasil kerjasama
dengan Rusia antara lain, Istora Senayan Jakarta, Tugu Tani, Rumah Sakit
Persahabatan, dan Tugu Monas masih bisa kita lihat. “Indonesia sebenarnya punya
hubungan yang erat dengan Rusia di masa lalu, khususnya era orde lama. Presiden
Soekarno mempunyai hubungan diplomatik dengan Rusia. Sehingga tak heran ketika
banyak orang Indonesia yang bermukim di sana. Bahkan ada grup musik dengan nama
Indonesia. Sehingga hubungan Indonesia dengan Rusia ini bisa kita sebut dengan
Sahabat Lama, Era Baru,” papar diplomat yang sempat memiliki cita-cita sebagai
petinju, karena di samping sekolahnya di Ambon, berdiri sebuah sasana tinju
yang kelak melahirkan petinju kelas dunia seperti Elyas Pical dan Bara Gomies.
Sementara itu, Rektor Unika De La Salle Manado, Pastor Revie
Tanod MA mengatakan, menjadi satu kebanggaan bagi kampusnya yang mendapat
kehormatan menggelar kuliah umum dengan Dubes RI untuk Rusia dan Republik
Belarusia. Di samping itu, menurut Tanod, selain memotivasi para mahasiswa
untuk meniti karir sebagai diplomat juga peluang untuk menjalin kerjasama
pengembangan sektor pendidikan. “Kuliah umum ini sangat memotivasi para
mahasiswa untuk lebih mengembangkan potensi yang dimiliki, termasuk peluang
menjadi seorang diplomat. Selain itu juga kita bisa melihat peluang kerjasama
dan pengembangan di bidang pendidikan antara Unika De La Salle Manado dengan
Pemerintah Rusia,” pungkas Tanod yang didampingi Aldrin.
Matahari sudah tinggi. Jam di ponselku sudah menunjukan pukul
12.00 WITA. Liputan kuliah umum sudah selesai, termasuk juga jumpa pers dengan Dubes.
Sahabat Lama, Era Baru. Ah... kalimat sang Dubes masih terus
kuingat, sambil meninggalkan kampus biru. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar