Rabu, 01 Februari 2012

Sahabat Lama, Era Baru, di Kampus Biru






Dubes RI untuk Rusia dan Belarusia, Djauhari Oratmangun (kiri), menerima cinderamata dari Rektor Unika De La Salle Manado, Pastor Revie Tanod MA


HARI masih pagi, ketika dering telepon genggam membangunkanku dari tidur. Tak sempat kuterima panggilan itu. Kulirik sejenak ponselku. Ternyata Pembantu Rektor III Universitas Katolik (Unika) De La Salle Manado, Aldrin Timbuleng SIP MPub Hum yang menghubungiku tadi. Jam masih menunjukan pukul 08.30 WITA, hari pertama, pekan terakhir di Bulan Januari 2012.


Sejurus kemudian, HP-ku berdering lagi. Sebuah SMS masuk. “Sep, aldrin ini. Mo kamari toh?,” demikian pesan singkat dari Aldrin, yang akrab kusapa senior, karena dia adalah mantan Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Manado. Sebuah organisasi ekstra kampus tempat dimana lebih dari delapan tahun aku digodok melalui berbagai program pelatihan dan kaderisasi, serta perjuangan, sekaligus memimpin organisasi dengan atribut baret merah marun, bol kuning ini.   
Aku langsung teringat, hari ini ada Kuliah Umum bersama Duta Besar (Dubes) RI untuk Rusia dan Republik Belarusia, Djauhari Oratmangun. Informasi ini sebelumnya disampaikan Humas Unika De La Salle Manado, Teddy Tandaju.       
Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan tinggi. Maklum, kuliah umum sesuai jadwal Pukul 09.30 WITA. Kembali kutelusuri jalan menuju Kampus Unika De La Salle. Tak banyak yang berubah. Jalan masih berlubang di sana-sini. Pikiranku kembali menerawang ke beberapa tahun lalu. Jalur ini sebenarnya tak asing lagi bagiku.  
Kampus ini terletak di atas bukit. Masuk dalam wilayah pemerintahan Kelurahan Kombos, Kecamatan Mapanget. Berdiri sejak tahun 2000, termasuk salah satu universitas ternama di Sulut. “Kampus Biru”, saat ini memiliki mahasiswa aktif sebanyak 1500 orang. “Iya disebut kampus biru , karena atribut jacket serta atap gedung, dan hal-hal lain didominasi warna biru,” jelas Tandaju.
Sesampai di lantai satu kampus, Sekretaris Rektor Margie Poluan menyambutku. Tak lama berselang, Aldrin menyapaku dan langsung mengantar ke aula tempat digelarnya kuliah umum.
Ratusan mahasiswa ada di sana. Ruangan penuh sesak, bahkan puluhan lainnya harus mengikuti kuliah umum dengan berdiri di luar ruangan. “Minta tu kursi, ada wartawan mo duduk,” ujar Aldrin pada salah seorang mahasiswi, yang selanjutnya menyerahkan kursi itu kepadaku. “Dudu sini jo Sep,” sambung Aldrin.
Akupun langsung berusaha menyesuaikan dengan kondisi sekitar. Mengikuti kuliah umum dengan materi Menuju Komunitas ASEAN 2015. Usai memberi paparan sedikit tentang posisi Indonesia dalam percaturan politik, ekonomi, dan sosial ASEAN, Oratmangun selanjutnya bicara panjang lebar tentang hubungan diplomasi Indonesia dan Rusia, posisi tawar Rusia dalam percaturan politik dunia. Selanjutnya, pria berdarah Maluku-Manado ini banyak memberikan motivasi serta menantang para mahasiswa untuk bisa jadi diplomat. “Bagi mahasiswa Unika De La Salle yang berprestasi, tidak menutup peluang untuk meniti karir sebagai diplomat. Syaratnya menguasai minimal Bahasa Inggris,” ujar Oratmangun di hadapan ratusan mahasiswa dan dosen.
Menurut dia, setiap tahunnya Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) melakukan penerimaan untuk calon diplomat yang diikuti oleh puluhan ribu peserta. “Tiap tahun ada penerimaan calon diplomat, yang ikut tes ada 48 ribu peserta, sedangkan yang diterima antara 68-100 orang,” ujar Oratmangun.
Selain bicara tentang peluang kerja, Oratmangun juga mengungkapkan peluang untuk melanjutkan studi di Rusia. Menurut dia, saat ini jumlah mahasiswa Indonesia yang kuliah di Rusia sangat minim jika dibandingkan dengan negara-negara Asean lain seperti Malaysia dqan Vietnam. “Untuk Indonesia, mahasiswanya yang kuliah di Rusia tercatat hanya 128 orang. Coba bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 3 ribu, atau Vietnam sebanyak 10 ribu mahasiswa,” ujar Oratmangun.
Ditanya soal faktor penyebab minimnya mahasiswa Indonesia yang kuliah di Rusia, Oratmangun mengatakan, ada beberapa faktor penyebab seperti bahasa, juga masalah hubungan kedua negara. “Yang pertama tentu masalah bahasa. Selain Bahasa Inggris, ada juga bahasa Rusia. Penguasaan bahasa tentu sangat menentukan keberhasilan kuliah,” ujar dia.
Oratmangun menambahkan, dari sisi Iptek, sebenarnya Rusia berkembang sangat pesat. Sehingga sangat tepat jika ada mahasiswa Indonesia yang bisa studi di sana. “Kami juga akan membahas dengan Mendikbud untuk pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang kuliah di Rusia,” ujar alumnus Fakultas Ekonomi UGM tahun 1981 ini. 
Menariknya, menurut dia, dari data 128 mahasiswa Indonesia yang kuliah di Rusia, didominasi oleh mahasiswa dari kawasan Indonesia Timur. “Khususnya dari Maluku. Satu hal lagi, biaya pendidikan di rusia lebih murah dibanding studi di Eropa, AS atau Australia,” papar Dubes.  
Selain itu, lanjut  pria kelahiran Kecamatan Beo, Kabupaten Kepulauan Talaud Sulut ini, faktor hubungan diplomasi kedua negara juga sangat mempengaruhi. “Hubungan kita (Indonesia, red) dengan Rusia nanti mulai aktif di tahun 2000-an. Jadi selama ini arus informasi tentang dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan serta teknologi masih tertutup,” papar diplomat yang menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Maluku ini.  
Hubungan Indonesia dan Rusia saat ini, menurut Oratmangun, diistilahkan dengan “Sahabat Lama, Era Baru.” Hal ini mengacu pada bagaimana akrabnya hubungan kedua negara di era orde lama pemerintahan Presiden Soekarno. Bahkan seperti diungkapkan Oratmangun, beberapa “peninggalan” hasil kerjasama dengan Rusia antara lain, Istora Senayan Jakarta, Tugu Tani, Rumah Sakit Persahabatan, dan Tugu Monas masih bisa kita lihat. “Indonesia sebenarnya punya hubungan yang erat dengan Rusia di masa lalu, khususnya era orde lama. Presiden Soekarno mempunyai hubungan diplomatik dengan Rusia. Sehingga tak heran ketika banyak orang Indonesia yang bermukim di sana. Bahkan ada grup musik dengan nama Indonesia. Sehingga hubungan Indonesia dengan Rusia ini bisa kita sebut dengan Sahabat Lama, Era Baru,” papar diplomat yang sempat memiliki cita-cita sebagai petinju, karena di samping sekolahnya di Ambon, berdiri sebuah sasana tinju yang kelak melahirkan petinju kelas dunia seperti Elyas Pical dan Bara Gomies.       
Sementara itu, Rektor Unika De La Salle Manado, Pastor Revie Tanod MA mengatakan, menjadi satu kebanggaan bagi kampusnya yang mendapat kehormatan menggelar kuliah umum dengan Dubes RI untuk Rusia dan Republik Belarusia. Di samping itu, menurut Tanod, selain memotivasi para mahasiswa untuk meniti karir sebagai diplomat juga peluang untuk menjalin kerjasama pengembangan sektor pendidikan. “Kuliah umum ini sangat memotivasi para mahasiswa untuk lebih mengembangkan potensi yang dimiliki, termasuk peluang menjadi seorang diplomat. Selain itu juga kita bisa melihat peluang kerjasama dan pengembangan di bidang pendidikan antara Unika De La Salle Manado dengan Pemerintah Rusia,” pungkas Tanod yang didampingi Aldrin.
Matahari sudah tinggi. Jam di ponselku sudah menunjukan pukul 12.00 WITA. Liputan kuliah umum sudah selesai, termasuk juga jumpa pers dengan Dubes.
Sahabat Lama, Era Baru. Ah... kalimat sang Dubes masih terus kuingat, sambil meninggalkan kampus biru. (***)   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar