Kamis, 23 Februari 2012

Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika


Daru Priambodo dari Tempo.co saat menyampaikan pemaparannya. (Foto Herry AJI Semarang)

MEDIA online  diharapkan tidak hanya mengandalkan kecepatan, tapi juga akurasi. Proses verifikasi berita yang disiplin, harus terus dijalankan oleh setiap jurnalis termasuk yang bekerja di media online, meski harus diakui pendidikan jurnalistik khusus untuk media online masih sangat minim. Demikian antara lain kesimpulan dari Konferensi Tahunan Media Online yang mengambil tema, Media Online: Antara Pembaca, Laba dan Etika, yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Hotel Le Meridien Jakarta, Kamis 23 Februari 2012. Saya beruntung bisa menjadi salah satu peserta konferensi tahunan tersebut. Berikut ulasannya.  
 
Media baru di Indonesia berkembang pesat. Dalam lima tahun terakhir, pengakses internet terus melonjak seiring dengan ketersediaan infrastruktur yang makin meluas, terjangkau, dan murah.  Pada tahun 2011, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 55,23 juta, meningkat dari 42,16 juta orang di tahun 2010. Itu artinya, seperempat penduduk Indonesia sudah kenal internet.
Di sisi lain, media online makin menjadi industri yang gerakannya tak terbendung. Trans Corp mengakusisi 100 persen saham portal berita Detikcom. Group Lippo menamai grup medianya dengan BeritaSatu, yang diambil dari nama sebuah situs yang juga baru diakuisisinya.
Dan grup usaha Djarum kini memiliki Kaskus. Pelan namun pasti, dinamika industri bertemu dengan pola perubahan masyakarat dalam mengakses informasi: dari konvensional ke digital. Masyarakat makin tergantung dengan media baru dalam berintekasi. Termasuk mencari informasi dengan mengakses portal berita yang terus berkembang pesat seperti Detikcom, VIVAnews, Kompas.com, Okezone, Beritasatu, Kapanlagi, dan lainnya.  29 juta orang kini telah terkoneksi dengan mobil internet untuk berinteraksi dan mengakses informasi.
Tak heran bila di ranah sosial media, orang Indonesia termasuk teraktif: berada di urutan kedua dunia dalam facebook (40,5 juta akun) dan urutan ketiga “tercerewet” di twitter (12%). Berdasarkan survei Inside Facebook yang dilakukan eMarketer.Com, pernah pada
suatu ketika, jumlah pengguna Facebook di Indonesia naik 1.431.160 akun dalam sebulan. Tingginya animo terhadap media sosial memacu keingintahuan mereka terhadap informasi atau pemberitaan yang disajikan media massa. Sebab, index berita di kanal-kanal informasi lebih sering dikunjungi melalui penyebaran di social media, daripada kunjungan khusus ke situs yang bersangkutan.
Tapi posisi sosial media sebagai informasi awal, belum lengkap dan terpercaya bila tidak disampaikan oleh media umum online. Peran media online lalu menjadi tempat mengkonfirmasi berbagai isu yang berkembang di jagad maya.
Informasi di sosial media boleh cepat. Tapi seiring waktu, publik mulai menghargai apa yang disebut proses verifikasi, yang tentu salah satunya dilakukan oleh media umum online. Di sisi lain, media konvensional (cetak dan televisi) menghadapi tantangan finansial, kredibilitas lembaga, kualitas produk jurnalistik. Selain itu, jurnalisme di media konvensional juga menghadapi serangkaian krisis berupa penurunan jumlah sirkulasi, kemerosotan pendapatan iklan, budaya dan kebiasaan membaca yang meluntur, jam menonton televisi yang semakin berkurang, hingga serta krisis otoritas.
Tahun 2001 dianggap sebagai titik balik perkembangan industri berita, ketika banyak lembaga pers gulung tikar karena tidak mampu lagi beroperasi. The New York Times---koran harian berbasis di New York---di bulan September 2001 terpaksa mengurangi sekitar 8-9 persen dari 14.000 awak media karena krisis iklan dan sirkulasi. Pada tahun yang sama, Miami Herald mengumumkan telah PHK sekitar 20 persen karyawan. Dan USA Today membuat kebijakan baru berupa pensiun dini.
Saking hebatnya badai yang menerpa, media-media legendaris lain turut berguguran. Far Eastern Economic Review, majalah mingguan ekonomi terkemuka di Asia Tenggara yang berkedudukan di Hongkong dan terbit sejak tahun 1958, di tahun 2004 terpaksa tutup setelah enam tahun mengalami defisit keuangan berat. Pada bulan Februari 2009, koran tertua di negara bagian Colorado Amerika Serikat, The Rocky Mountain News, resmi menyatakan tutup setelah terbit mulai tahun 1859. Christian Science Monitor, sebuah terbitan yang menjadi pemenang tujuh Pulitzer dan berusia dari 100 tahun, terpaksa harus mengubah format cetak menjadi online di bulan Maret 2009.
Tapi media online yang dianggap sebagai media baru yang sarat teknologi dan serba cepat, ternyata juga memiliki masalah yang hampir sama: kualitas, kredibilitas, serta krisis keuangan.
Pada sisi kualitas dan kredibilitas, tradisi jurnalistik di media online dikritik tidak mempunyai basis praksis yang kuat, sehingga lembaga berita online acap kali masih dipandang sebelah mata dan disindir dengan sebutan “jurnalisme empat paragraf”. Kendati ihwal kecepatan menyampaikan informasi kepada publik pembaca, bukan merupakan hal yang perlu didiskusikan lagi –kecuali bila berhadapan dengan isu akurasi.
Problem etik bermunculan. “Dilema” antara kecepatan, kelengkapan, akurasi, dan persaingan bercampur baur di ruang redaksi. Bila di televisi rating menjadi bahasa persaingan, media online memiliki isu page-view. Ini belum termasuk persoalan “pagar api” (firewall) antara berita, iklan, atau advertorial.
Sementara di sisi bisnis, media televisi masih menguasai 60 persen kue iklan (konvensional) dan persaingan sesama media online yang sangat ketat dalam menggaet pemasang iklan. Sistem berlangganan belum menjadi model bisnis utama dalam budaya masyarakat Indonesia yang transaksi e-commerce-nya masih belum sebesar negara maju.
Lantas langkah bisnis yang tak terelakkan adalah melakukan konvergensi platform. Baik untuk tujuan memperluas audience, sinergi branding, maupun (terutama) menjual paket-paket iklan.
Kondisi inilah yang melatarbelakangi AJI menyelenggarakan Konferensi Tahunan Media Online, di Ruang Sasono Mulyo 2  Hotel Le Meridien  Jalan Jenderal Sudirman Kav 18 -20, Jakarta. Konferensi tahunan ini juga menandai dimulainya rangkaian kegiatan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AJI yang digelar hingga, Minggu 26 Februari mendatang. 
Sejumlah pembicara yang hadir adalah, EdiTaslim (Kompas.com), Karaniya Dharmasaputra(Viva News),  Steve Christian (Kapanlagi.com), dan Daru Priyambodo (Tempo.co); Kalangan bisnis, yaitu Daniel Tumiwa (Multiply Indonesia),  Robin Mulyadi (Effective Measure),  Amin Azman (Group M Interaction Indonesia); serta dari Dewan Pers, yaitu Agus Sudibyo. 
Setelah Daniel, Robin, dan Amin tampil membahas sisi bisnisnya, Agus Sudibyo dari Dewan Pers, banyak memaparkan tentang Pedoman Penulisan Media Siber (PPMS), yang merupakan keputusan terbaru dari lembaga tersebut sebagai hasil pembahasan bersama dengan sejumlah stakeholders, termasuk AJI Indonesia.
Agus memaparkan, pada prinsipnya setiap berita di media online harus melalui verifikasi. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan. Namun demikian, lanjut Agus, ada beberapa berita juga yang bisa diterbitkan tanpa melalui verifikasi asalkan memenuhi beberapa syarat. “Syarat tersebut adalah berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak, sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten. Selain itu, subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai. Hal terakhir adalah media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring,” papar Agus.
Sementara itu, Eddy Taslim dari kompas.com mengungkapkan, kecepatan dalam berita media online itu penting, tap akurasi berita itu wajib. “Ketidaklayakan berita online karena hanya andalkan kecepatan itulah yang membuat opini di pembaca bahwa media online itu picisan, sementara media cetak itu yang utama,” papar Taslim. 
Hal senada juga disampaikan Karaniya Dharmasaputra dari Viva News.com. “Kecepatan bukan satu-satunya ukuran dalam berita, meski itu online. Akurasi itu tidak bleh dikalahkan oleh kecepatan. PPMS sangat merombak wajah berita online ke arah yang lebih baik,” papar Karaniya. 
Sedangkan Daru Priyambodo, dari Tempo.co lebih menyorot soal minimnya pelatihan jurnalisme online. “Pendidikan jurnalisme online ini sangat perlu, agar reporter dibiasakan dengan iklim kerja di media online. Harus diakui, kami lebih mengandalkan akurasi, karena kalah cepat dari detik.com,” papar Daru.
Sebagai pembicara terakhir, Steve Christian dari Kapanlagi.com, mengatakan, pembaca media online sudah tahu apa yang mereka mau. “Sehingga bagaimana memadukan antara kecepatan dan akurasi berita itu sangat penting,” papar Steve.
Hadir dalam konferensi ini, para pendekar jurnalis dari berbagai media baik cetak, elektronik, maupun online dari berbagai daerah serta 35 Ketua AJI Kota di Indonesia.(***)  





2 komentar:

  1. mantap...tulisan yg sangat baik untuk inspirasi media di Sulut..

    BalasHapus
  2. untuk kemajuan media, lebih khusus new media

    BalasHapus