TAK kurang dari 25 guru SMPN 08 Manado mengeluhkan hingga awal 2012 belum menerima tunjangan non sertifikasi selama tahun 2011. Seorang guru yang meminta namanya dianonimkan, bermaksud mempertanyakan hal tersebut ke Dinas Pendidikan melalui media. Kepala Sekolah malah terusik dengan hal ini.
Hari terakhir di bulan Januari 2012. Telepon genggamku berdering. Aku kenal siapa yang menelepon. Seorang guru di SMPN 8 Manado.
“Tunjangan non sertifikasi kami sudah
satu tahun ini belum dibayarkan. Entah di mana persoalannya. Yang pasti kami
sangat berharap Pemkot Manado segera membayarnya. Karena ini sangat menunjang
kinerja kami, meski jumlahnya kecil dibanding tunjangan sertifikasi. Tolong muat
akang di koran, supaya kepala dinas juga tau,” ujar guru itu sambil
mewanti-wanti agar namanya tidak disebutkan dalam pemberitaan.
Dia mengungkapkan,
tunjangan yang diterima tiap gurunya per bulan adalah Rp250 ribu. Sehingga,
lanjut dia, untuk tiap guru selama setahun seharusnya menerima tunjangan
sebesar Rp3 juta. “Ini cuma guru yang ada di SMPN 8 Manado. Belum lagi untuk
guru-guru di sekolah lain,” paparnya.
Bagiku,
keberadaan guru dengan berbagai persoalannya, baik menyangkut kesejahteraan,
maupun profesionalismenya adalah hal yang menarik dalam dunia pendidikan. Maka
kuputuskan untuk mencari konfirmasi langsung ke pihak terkait.
Rabu 01
Februari 2012, akhirnya bisa bertemu dengan Plt Kepala Dinas Pendidikan Kota
Manado, Dante Tombeg SPd MPd. Tombeg mengakui adanya persoalan terhadap pembayaran tunjangan
non sertifikasi guru baik di SMPN 08 Manado, maupun di sekolah lainnya.
“Ya..saya sudah mendengar laporan tersebut. Sekarang sementara kami telusuri di
mana letak persoalannya. Apakah karena keterlambatan kepala sekolah mengusulkan
nama ke dinas, atau kesalahan dalam menginput data oleh staf di dinas,” ujar
Tombeg yang ditemui di ruang kerjanya.
Ditanya terkait solusi yang ditempuh Pemkot Manado terkait tertunggaknya pembayaran tunjangan itu, Tombeg mengatakan, pihaknya segera mengusulkan kembali ke pemerintah pusat untuk dianggarkan dalam tahun ini. Hanya saja, lanjut dia, kemungkinan dana tersebut akan cair pada Bulan Oktober atau Nopember tahun ini karena akan ditata dalam APBN-Perubahan. “Solusinya adalah kita usulkan kembali ke pemerintah pusat, karena memang dananya dari sana. Namun kemungkinan baru bisa cair pada Oktober atau Nopember, karena usulan ini nantinya akan ditata dalam APBN-Perubahan,” jelas Tombeg.
Ditanya terkait solusi yang ditempuh Pemkot Manado terkait tertunggaknya pembayaran tunjangan itu, Tombeg mengatakan, pihaknya segera mengusulkan kembali ke pemerintah pusat untuk dianggarkan dalam tahun ini. Hanya saja, lanjut dia, kemungkinan dana tersebut akan cair pada Bulan Oktober atau Nopember tahun ini karena akan ditata dalam APBN-Perubahan. “Solusinya adalah kita usulkan kembali ke pemerintah pusat, karena memang dananya dari sana. Namun kemungkinan baru bisa cair pada Oktober atau Nopember, karena usulan ini nantinya akan ditata dalam APBN-Perubahan,” jelas Tombeg.
Keluhan guru
tersebut, ditambah hasil wawancara dengan Plt Kepala Dinas Pendidikan ini
terbit di edisi Kamis 02 Februari 2012 di harian tempatku bekerja. Ternyata akibat
pemberitaan itu, Kepala SMPN 8 Manado, Dra Sherly Mahda merasa terusik.
Jumat 03
Februari, seperti hari-hari sebelumnya, aku bersama beberapa kawan jurnalis
desk pendidikan nongkrong di kantin Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Propinsi
Sulut, Jalan Sam Ratulangi Manado. Tiba-tiba ponselku berdering. “Eh, Sep. Ngana
ada beking itu berita SMPN 8 Manado..? Itu kepala sekolah pe anak, ba tamang
deng kita. Dia ada tanya, guru sapa yang ada kase tu informasi..?,” tanya seorang
wartawan yang juga rekan se kantorku. “Kase tau kwa, sapa tu guru itu. Soalnya kepsek
pe anak ada tanya,” ujar dia lagi. Kali ini dengan nada sedikit mendesak. “Oh..ada.
pokoknya guru di SMPN 8 Manado. Tapi yang pasti, kita nda mo bilang sapa dia,”
jawabku. “Ok dang kalo begitu,” ujar rekanku tadi yang langsung memutuskan
sambungan telepon.
Aku berpikir
sejenak. Mengapa rekanku itu bersikap demikian..? Ataukah aku yang salah,
karena menyembunyikan sumber informasi, atau dengan kata lain menggunakan
sumber anonim.
Aku ingat,
pernah membaca sebuah buku yang membahas tentang sumber anonim. Buku berjudul “Agama
Saya Adalah Jurnalisme” yang ditulis oleh Andreas Harsono. Buku setebal 268
halaman terbitan Kanisius Yogyakarta tahun 2010 ini, berisi tentang berbagai
hal terkait dengan dunia jurnalistik. Andreas, salah satu deklarator Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), membagi buku ini dalam empat bagian yakni laku
wartawan, penulisan, dinamika ruang redaksi dan peliputan. Dalam salah satu
bagian buku itu yang diberi tajuk “Tempo versus Tommy Winata” di mana terjadi
perdebatan tentang penggunaan sumber anonim, Andreas membeberkan kriteria
penggunaan sumber anonim sebagaimana yang dijelaskan Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel. Dalam buku Warp Speed: America
in the Age of Mixed Media (1999) pada bab “The Rise of Anonymous Sourching,
Kovach dan Rosenstiel menjelaskan tujuh kriteria untuk sumber-sumber anonim.
Dalam buku itu,
Kovach dan Rosenstiel menjelaskan seseorang bisa diberi status anonim bila dia
memenuhi ketujuh syarat sebagai berikut: 1)sumber tersebut berada pada
lingkaran pertama peristiwa berita yang kita laporkan. 2) keselamatan sumber
tersebut terancam bila identitasnya kita buka. 3) motivasi sumber anonim
memberikan informasi murni untuk kepentingan publik. 4) integritas sumber utuh.
5) harus seijin redaktur. 6) keterangan anonim sumber minimal dua atau bisa diverifikasi
secara independen. 7) perjanjian keanoniman akan batal dan nama sumber dibuka
bila terbukti berbohong atau sengaja menyesatkan.
Dari kriteria
yang ada, aku menilai beberapa persyaratan sudah kupenuhi untuk menggunakan sumber
anonim dalam berita yang kubuat.
Jumat sore,
kepala sekolah menelepon salah seorang rekan jurnalis. Dia mau untuk “mengklarifikasi”
pemberitaan itu. Meski ujung-ujungnya dia mendesak agar memberitahukan siapa
yang menginformasikan tentang belum tuntasnya pembayaran tunjangan tersebut. “Untuk
berkas-berkas usulan tunjangan guru non sertifikasi sudah kami masukan. Dari
sekolah, oleh bendahara langsung dibawa ke Dinas Pendidikan,” ujar Sherly
kepada sejumlah wartawan yang menemuinya di SMPN 8 Manado, Jalan Sea Kecamatan
Malalayang.
Menurut Sherly,
selanjutnya berkas tersebut ditangani oleh pihak Dinas Pendidikan. “Namun untuk
kepastian di mana berkas tersebut, kami juga tak ingin menyalahkan pihak mana.
Yang kami sampaikan kepada guru-guru adalah tetap bersabar, mudah-mudahan akan
tetap dibayarkan oleh pemerintah,” papar Sherly. “Tapi sapa yang kase tu
informasi. Coba bilang kwa. Kita tau ada tu yang mo ba calon kepala sekolah,
jadi dia yang berusaha menjatuhkan saya dengan isu ini,” desak Sherly yang kali
ini perhatiannya mengarah padaku. “Yang pasti bu, informasi ini dari guru di
sini. Soal siapa orangnya, ibu tidak perlu tahu,” jawabku.
Sejenak aku teringat
ucapan guru yang memberi informasi tersebut. “Tolong kasiang, jangan sebut kita
pe nama. Kepala sekolah mo cekal kita pe kenaikan pangkat,” ujar guru itu.
Setelah memberikan
klarifikasi, Sherly masih terus mendesak untuk membeberkan siapa pemberi
informasi itu. “Bu..hak untuk melindungi narasumber juga diatur dalam
undang-undang,” ujarku tanpa menjelaskan lebih jauh tentang undang-undang
tersebut.
Aku berpikir,
bagi kepsek tadi mungkin tak terlalu penting soal undang-undang tersebut, namun
yang lebih penting adalah mengetahui siapa pemberi informasi itu.
Tapi bagi
kawan-kawan jurnalis hal ini tentu sangat penting, persyaratan kita menggunakan
sumber anonim serta melindungi sumber informasi.
Selain apa yang
dijelaskan oleh Kovach dan Rosenstiel di atas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
40 tahun 1999 tentang Pers juga mengatur bagaimana melindungi nara sumber.
Dalam BAB I
Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 1 disebutkan bahwa hak tolak adalah hak wartawan
karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya
dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
Selanjutnya BAB II Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, Pasal 4, Ayat 4, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Dalam penjelasan Bab II Pasal 4, Ayat 4, UU Nomor 40 tahun 1999 ini, dijelaskan bahwa tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan diminta keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
Selanjutnya BAB II Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, Pasal 4, Ayat 4, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Dalam penjelasan Bab II Pasal 4, Ayat 4, UU Nomor 40 tahun 1999 ini, dijelaskan bahwa tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan diminta keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
Kepala sekolah
mengantar kami sampai di pintu pagar sekolah, sambil terus mendesak agar menyebutkan
siapa nama guru tersebut. Kali ini bahkan dengan menyebut sejumlah nama yang
diduga sebagai informan. “Bu..nda boleh ba tuduh orang. Berdosa itu,” ujarku.
Hari sudah mulai senja. Hujan sebentar lagi akan turun. Akhirnya sang kepala
sekolah hanya bisa tersenyum kecut, melihat kami pergi meninggalkan halaman
sekolah itu.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar