Senin, 06 Februari 2012

Sumber Anonim dan Tunjangan Guru











TAK kurang dari 25 guru SMPN 08 Manado mengeluhkan hingga awal 2012 belum menerima tunjangan non sertifikasi selama tahun 2011. Seorang guru yang meminta namanya dianonimkan, bermaksud mempertanyakan hal tersebut ke Dinas Pendidikan melalui media. Kepala Sekolah malah terusik dengan hal ini. 
Hari terakhir di bulan Januari 2012. Telepon genggamku berdering. Aku kenal siapa yang menelepon. Seorang guru di SMPN 8 Manado. 


“Tunjangan non sertifikasi kami sudah satu tahun ini belum dibayarkan. Entah di mana persoalannya. Yang pasti kami sangat berharap Pemkot Manado segera membayarnya. Karena ini sangat menunjang kinerja kami, meski jumlahnya kecil dibanding tunjangan sertifikasi. Tolong muat akang di koran, supaya kepala dinas juga tau,” ujar guru itu sambil mewanti-wanti agar namanya tidak disebutkan dalam pemberitaan.
Dia mengungkapkan, tunjangan yang diterima tiap gurunya per bulan adalah Rp250 ribu. Sehingga, lanjut dia, untuk tiap guru selama setahun seharusnya menerima tunjangan sebesar Rp3 juta. “Ini cuma guru yang ada di SMPN 8 Manado. Belum lagi untuk guru-guru di sekolah lain,” paparnya.
Bagiku, keberadaan guru dengan berbagai persoalannya, baik menyangkut kesejahteraan, maupun profesionalismenya adalah hal yang menarik dalam dunia pendidikan. Maka kuputuskan untuk mencari konfirmasi langsung ke pihak terkait.
Rabu 01 Februari 2012, akhirnya bisa bertemu dengan Plt Kepala Dinas Pendidikan Kota Manado, Dante Tombeg SPd MPd. Tombeg  mengakui adanya persoalan terhadap pembayaran tunjangan non sertifikasi guru baik di SMPN 08 Manado, maupun di sekolah lainnya. “Ya..saya sudah mendengar laporan tersebut. Sekarang sementara kami telusuri di mana letak persoalannya. Apakah karena keterlambatan kepala sekolah mengusulkan nama ke dinas, atau kesalahan dalam menginput data oleh staf di dinas,” ujar Tombeg yang ditemui di ruang kerjanya.
Ditanya terkait solusi yang ditempuh Pemkot Manado terkait tertunggaknya pembayaran tunjangan itu, Tombeg mengatakan, pihaknya segera mengusulkan kembali ke pemerintah pusat untuk dianggarkan dalam tahun ini. Hanya saja, lanjut dia, kemungkinan dana tersebut akan cair pada Bulan Oktober atau Nopember tahun ini karena akan ditata dalam APBN-Perubahan. “Solusinya adalah kita usulkan kembali ke pemerintah pusat, karena memang dananya dari sana. Namun kemungkinan baru bisa cair pada Oktober atau Nopember, karena usulan ini nantinya akan ditata dalam APBN-Perubahan,” jelas Tombeg.
Keluhan guru tersebut, ditambah hasil wawancara dengan Plt Kepala Dinas Pendidikan ini terbit di edisi Kamis 02 Februari 2012 di harian tempatku bekerja. Ternyata akibat pemberitaan itu, Kepala SMPN 8 Manado, Dra Sherly Mahda merasa terusik.
Jumat 03 Februari, seperti hari-hari sebelumnya, aku bersama beberapa kawan jurnalis desk pendidikan nongkrong di kantin Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Propinsi Sulut, Jalan Sam Ratulangi Manado. Tiba-tiba ponselku berdering. “Eh, Sep. Ngana ada beking itu berita SMPN 8 Manado..? Itu kepala sekolah pe anak, ba tamang deng kita. Dia ada tanya, guru sapa yang ada kase tu informasi..?,” tanya seorang wartawan yang juga rekan se kantorku. “Kase tau kwa, sapa tu guru itu. Soalnya kepsek pe anak ada tanya,” ujar dia lagi. Kali ini dengan nada sedikit mendesak. “Oh..ada. pokoknya guru di SMPN 8 Manado. Tapi yang pasti, kita nda mo bilang sapa dia,” jawabku. “Ok dang kalo begitu,” ujar rekanku tadi yang langsung memutuskan sambungan telepon.
Aku berpikir sejenak. Mengapa rekanku itu bersikap demikian..? Ataukah aku yang salah, karena menyembunyikan sumber informasi, atau dengan kata lain menggunakan sumber anonim.
Aku ingat, pernah membaca sebuah buku yang membahas tentang sumber anonim. Buku berjudul “Agama Saya Adalah Jurnalisme” yang ditulis oleh Andreas Harsono. Buku setebal 268 halaman terbitan Kanisius Yogyakarta tahun 2010 ini, berisi tentang berbagai hal terkait dengan dunia jurnalistik. Andreas, salah satu deklarator Aliansi Jurnalis Independen (AJI), membagi buku ini dalam empat bagian yakni laku wartawan, penulisan, dinamika ruang redaksi dan peliputan. Dalam salah satu bagian buku itu yang diberi tajuk “Tempo versus Tommy Winata” di mana terjadi perdebatan tentang penggunaan sumber anonim, Andreas membeberkan kriteria penggunaan sumber anonim sebagaimana yang dijelaskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Dalam buku Warp Speed: America in the Age of Mixed Media (1999) pada bab “The Rise of Anonymous Sourching, Kovach dan Rosenstiel menjelaskan tujuh kriteria untuk sumber-sumber anonim.
Dalam buku itu, Kovach dan Rosenstiel menjelaskan seseorang bisa diberi status anonim bila dia memenuhi ketujuh syarat sebagai berikut: 1)sumber tersebut berada pada lingkaran pertama peristiwa berita yang kita laporkan. 2) keselamatan sumber tersebut terancam bila identitasnya kita buka. 3) motivasi sumber anonim memberikan informasi murni untuk kepentingan publik. 4) integritas sumber utuh. 5) harus seijin redaktur. 6) keterangan anonim sumber minimal dua atau bisa diverifikasi secara independen. 7) perjanjian keanoniman akan batal dan nama sumber dibuka bila terbukti berbohong atau sengaja menyesatkan.
Dari kriteria yang ada, aku menilai beberapa persyaratan sudah kupenuhi untuk menggunakan sumber anonim dalam berita yang kubuat.         
Jumat sore, kepala sekolah menelepon salah seorang rekan jurnalis. Dia mau untuk “mengklarifikasi” pemberitaan itu. Meski ujung-ujungnya dia mendesak agar memberitahukan siapa yang menginformasikan tentang belum tuntasnya pembayaran tunjangan tersebut. “Untuk berkas-berkas usulan tunjangan guru non sertifikasi sudah kami masukan. Dari sekolah, oleh bendahara langsung dibawa ke Dinas Pendidikan,” ujar Sherly kepada sejumlah wartawan yang menemuinya di SMPN 8 Manado, Jalan Sea Kecamatan Malalayang.
Menurut Sherly, selanjutnya berkas tersebut ditangani oleh pihak Dinas Pendidikan. “Namun untuk kepastian di mana berkas tersebut, kami juga tak ingin menyalahkan pihak mana. Yang kami sampaikan kepada guru-guru adalah tetap bersabar, mudah-mudahan akan tetap dibayarkan oleh pemerintah,” papar Sherly. “Tapi sapa yang kase tu informasi. Coba bilang kwa. Kita tau ada tu yang mo ba calon kepala sekolah, jadi dia yang berusaha menjatuhkan saya dengan isu ini,” desak Sherly yang kali ini perhatiannya mengarah padaku. “Yang pasti bu, informasi ini dari guru di sini. Soal siapa orangnya, ibu tidak perlu tahu,” jawabku.
Sejenak aku teringat ucapan guru yang memberi informasi tersebut. “Tolong kasiang, jangan sebut kita pe nama. Kepala sekolah mo cekal kita pe kenaikan pangkat,” ujar guru itu.  
Setelah memberikan klarifikasi, Sherly masih terus mendesak untuk membeberkan siapa pemberi informasi itu. “Bu..hak untuk melindungi narasumber juga diatur dalam undang-undang,” ujarku tanpa menjelaskan lebih jauh tentang undang-undang tersebut.
Aku berpikir, bagi kepsek tadi mungkin tak terlalu penting soal undang-undang tersebut, namun yang lebih penting adalah mengetahui siapa pemberi informasi itu.
Tapi bagi kawan-kawan jurnalis hal ini tentu sangat penting, persyaratan kita menggunakan sumber anonim serta melindungi sumber informasi.
Selain apa yang dijelaskan oleh Kovach dan Rosenstiel di atas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers juga mengatur bagaimana melindungi nara sumber.
Dalam BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 1 disebutkan bahwa hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
Selanjutnya BAB II Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, Pasal 4, Ayat 4, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Dalam penjelasan Bab II Pasal 4, Ayat 4, UU Nomor 40 tahun 1999 ini, dijelaskan bahwa tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan diminta keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. 
Kepala sekolah mengantar kami sampai di pintu pagar sekolah, sambil terus mendesak agar menyebutkan siapa nama guru tersebut. Kali ini bahkan dengan menyebut sejumlah nama yang diduga sebagai informan. “Bu..nda boleh ba tuduh orang. Berdosa itu,” ujarku.
Hari sudah mulai senja. Hujan sebentar lagi akan turun. Akhirnya sang kepala sekolah hanya bisa tersenyum kecut, melihat kami pergi meninggalkan halaman sekolah itu.(***)  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar