Jumat, 10 Februari 2012

Sejarah dan Polemik Hari Pers Nasional


Delegasi AJI Manado foto bersama Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Item Maryadi (tengah) usai pelaksanaan Kongres ke-VIII AJI di Makassar, Sabtu 03 Desember 2011

AWALNYA saya tidak terlalu memperhatikan postingan-postingan yang muncul di milis Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang setiap menitnya selalu bertambah. Maklum membuka milis nanti saya lakukan jika tuntutan deadline dari kantor sudah dipenuhi. Perbincangan di milis itu tentang Hari Pers Nasional (HPN). Sebuah stasiun radio di Manado meminta saya untuk menjadi narasumber, Jumat 10 Februari lalu,  guna membahas momentum HPN dan perkembangan industri media saat ini. Saat menggali sejumlah referensi saya menemukan kontroversi penetapan HPN. Ketika dialog interkatif berlangsung, saya mendengar, juga merasakan bagaimana penilaian masyarakat terhadap kondisi pers dewasa ini. 



“Ini dengan Bapak Yoseph yah, Ketua AJI Manado. Saya dari Radio Mitra Kawanua Manado. Mau minta kesediaan bapak untuk jadi pembicara dalam dialog interaktif besok, dengan topik hari pers nasional, serta tantangan pekerja media saat ini,” terdengar suara seorang wanita yang menghubungi saya lewat ponsel. “Ya..benar. jam berapa besok,” tanya saya. “Besok jadwalnya jam 08.00 pagi. Nanti besok pagi kita hubungi lagi,” ujar dia. “Ok kalo begitu,” jawab saya.
Hari itu, Kamis  09 Februari 2012, saya bersama Erick dan Novie, dua rekan jurnalis desk pendidikan sedang asyik mengejar deadline. Kami memilih sebuah cafe di kawasan Manado Town Square. Tempatnya sejuk, pemandangannya indah, juga ada wifi gratis. “Ada undangan jadi pembicara di radio besok,” ujar saya. “Wah mantap itu, ketua,” balas Novie.
Konsentrasi saya akhirnya terpecah. Ingin segera mencari referensi untuk materi dialog besok, tapi di sisi lain harus segera menyelesaikan berita untuk terbitan besok, yang deadlinenya tinggal beberapa menit lagi. Akhirnya pekerjaan hari itu selesai. Saya pun pulang ke kost, dan mulai membongkar semua referensi berupa buku-buku yang membahas tentang sejarah pers nasional. Juga menelaah kembali perdebatan di milis  AJI, termasuk beberapa blog yang membahas tentang HPN.
Rekan Jafar G Bua, anggota AJI Palu, menulis di milis dengan judul “Dirgahayu PWI atau Dirgahayu Pers Nasional.” Dalam tulisan kawan Jafar, saya menemukan bahwa Penetapan tanggal 09 Februari sebagai HPN dibuat melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Tanggal 9 Februari sesungguhnya merupakan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Organisasi yang pernah ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi resmi wartawan di Indonesia itu berdiri 9 Februari di Solo, Jawa Tengah.
Menurut Jafar, penetapan itu mengusik banyak orang. Pasalnya, pers Indonesia lahir jauh hari sebelumnya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan negeri yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini.
Jafar kemudian mengulas, Taufik Rahzen, salah seorang yang gelisah dengan itu. Rahzen menelusuri sejarah itu, kemudian membukukan penelitiannya dalam buku 100 Tahun Pers Nasional. Rahzen kemudian membuat simpulan bahwa mestinya hari kelahiran pers nasional itu ditandai tonggaknya dari terbitnya Medan Prijaji pada 1 Januari 1907.
Dari penelusuran Taufik, masih menurut ulasan rekan Jafar, diketahui Medan Prijaji, koran berbahasa Melayu sudah terbit di Bandung pada 1 Januari 1907. Koran ini adalah koran yang dibidani Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Karenanya, menurut Taufik, seharusnya Hari Pers Nasional diperingati pada 1 Januari.
Harian ini memang bukan koran yang pertama kali terbit di bumi Nusantara. Sebelumnya banyak koran yang sudah terbit di Hindia Belanda, nama Indonesia di bawah jajahan Pemerintah Kolonial Belanda. Namun, menurutnya, Medan Prijaji adalah koran nasional pertama. Alasannya, semua awak koran tersebut adalah pribumi dan koran tersebut yang pertama menggunakan bahasa Melayu.
Pendapat Taufik dibantah oleh peneliti sejarah di Universitas Leiden, Belanda, Surjadi. Dalam kolomnya yang dimuat di Harian Padang Ekspres, 6 Oktober 2007, Suryadi menyebut bahwa terlalu berlebihan menempatkan Medan Prijaji sebagai tonggak pers nasional. Ia mengatakan Medan Prijaji bukanlah koran nasional pertama. Jauh sebelum Raden Mas Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Medan Prijaji, pada 1894-1910 di Sumatera telah terbit banyak koran berbahasa Melayu yang digawangi Dja Endar Moeda. Sebelumnya pula di Padang, pada 1890-1921, Mahyudin Datuk Sutan Maharadja telah menerbitkan enam koran berbahasa Melayu.
Pada bagian akhir tulisannya, kawan Jafar juga menulis referensi lain tentang perdebatan HPN, seperti yang ditulis Andreas Harsono dalam blognya. Saya menelusuri blog tersebut. Sebuah postingan dengan judul “Polemik Sejarah Pers Indonesia.” Juga buku Andreas yang berjudul “Agama Saya Adalah Jurnalisme”, pada halaman 63 dengan topik, Pers, Sejarah, dan Rasialisme.   
Waktu semalam rasanya tidak cukup untuk terus menelaah polemik kapan sebenarnya menentukan tonggak lahirnya pers Indonesia. Saya sendiri berkesimpulan, perdebatan untuk menentukan tonggak berdirinya pers Indonesia adalah, tentang kriteria pers Indonesia atau pers nasional itu sendiri. Apakah yang disebut pers Indonesia, itu koran pertama yang lahir di tanah Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda),  atau koran berbahasa Indonesia (melayu) pertama, ataukah dimiliki dan diasuh oleh orang pribumi?  
Jika mengacu pada kriteria pertama, menurut Andreas, maka suratkabar Bataviasche Nouvelles yang terbit tahun 1744-1746 atau 150 tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di Batavia. Jika ukurannya bukan Bahasa Belanda dan Bahasa Jawa, maka Andreas juga menyebut ada Tjahaja Siang di Minahasa yang terbit tahun 1868, atau Bintang Timoer (1865) yang terbit di Padang.
Upaya mencari tonggak sejarah pers Indonesia ini saya lakukan untuk menjadi starting poin menuju perdebatan tentang HPN yang oleh pemerintah orde baru ditetapkan tanggal 09 Februari 1985, dan diperingati setiap tahunnya.
Saya kembali membuka situs beritasatu.com. Di sana ada tulisan dengan judul, “Menentukan Hari Pers Nasional Sejati.” Di situ dituliskan, jika kita hendak merumuskan kembali kapan lahirnya sejarah pers nasional lahir sebaiknya dimulai dengan menentukan kriteria pers nasional tertua.

Benarkah HPN jatuh pada 9 Februari? Pertanyaan singkat ini selalu dipertanyakan setiap tahunnya. Asal muasalnya adalah karena tanggal 9 Februari adalah hanyalah hari lahirnya PWI.
Masih dalam ulasan beritasatu.com, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Dari pelacakan sejarah kita dapat menemukan bahwa jauh sebelum PWI sudah lahir organisasi wartawan di masa perjuangan melawan kolonialisme, yaitu: Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang dipelopori oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914, Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). PWI sendiri baru lahir pada 9 Februari 1946.
Hari lahir PWI menjadi naik kasta menjadi hari pers yang diperingati secara nasional karena peran Menteri Penerangan Harmoko yang merayu Presiden Soeharto untuk menetapkannya sehingga sejak 1985 HPN diperingati di tanggal tersebut.
Lagipula penetapan HPN yang ditetapkan saat PWI sebagai satu-satunya organisasi tunggal. Padahal sesudah rezim orde baru tumbang sudah lahir banyak organisasi wartawan berskala nasional. Saat rezim orde baru berkuasa sekumpulan wartawan yang memprotes pembredelan Tempo, Editor dan Detik, di tahun 1994, mendirikan organisasi wartawan alternatif yang diberi nama Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saat Soeharto jatuh tahun 1998, PWI pecah menjadi dua dengan lahirnya PWI Reformasi. Juga diikuti berdirinya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Lahirnya HPN yang merujuk pada hari lahir PWI juga dirasa ahistoris dengan sejarah terbitnya pers pertama kali di Indonesia. Terdapat beberapa surat kabar yang terbit sebelum merdeka, baik sesudah tahun 1900 atau sebelumnya yang dapat dipertimbangkan sebagai embrio atau perintis pers nasional.
Kulirik jam di ponselku. Waktu sudah menunjukan pukul 01.00 WITA, Jumat 10 Februari 2012. Artinya, beberapa jam lagi saya segera tampil dalam dialog interatif. Akhirnya saya putuskan menghubungi Bung Eko Item Maryadi, Ketua Umum AJI Indonesia, untuk menanyakan bagaimana sikap resmi AJI tentang HPN, serta pendapatnya terkait kehadiran saya dalam dialog yang mengambil momentum HPN tersebut. “AJI menolak 09 Februari sebagai HPN. Silahkan ikut dialog, asalkan bisa bersuara kritis dengan menolak penggunaan dana APBN/APBD untuk pelaksanaan HPN,” demikian kira-kira inti dari apa yang disampaikan Item lewat pesan singkatnya kepada saya.
Pukul 07.45 WITA, ponsel saya berdering. Pengasuh Radio Mitra Kawanua kembali mengkonfirmasi kehadiran saya. “Lagi on the way,” jawab saya.
Studionya berada di Lantai 3, sebuah bangunan yang terletak di Jalan Toar Manado. Saya disambut seorang penyiar, namanya Semuel. Orang batak. Lulusan salah satu Fakultas di Unsrat. Kita ngobrol sejenak tentang apa yang nanti menjadi materi dialog interaktif dengan pendengar. “Nanti mungkin bisa dijelaskan di awal sesion, apa saja yang dilakukan AJI Manado, dalam memperingati Hari Pers Nasional, 09 Februari, kemarin,” ujar Semuel. “Ya..ya,” jawab saya. Pukul 08.00 teng. Dialog interaktif dimulai. Semuel memberikan pengantar, tentang topik yang akan dibahas, sekaligus  memperkenalkan saya sebagai pembicara. “Jadi bisa dijelaskan oleh Bung Yoseph, kira-kira apa saya yang dilakukan oleh AJI Manado, atau harapan-harapan terhadap pers saat ini, terkait HPN kemarin,” ujar Semuel membuka dialog. “Yang pertama perlu untuk saya luruskan terkait penetapan 09 Februari sebagai Hari Pers Nasional. AJI menolak 09 Februari sebagai HPN. Karena sesungguhnya itu adalah HUT PWI,” ujar saya membuka dialog, sekaligus menjawab pertanyaan Semuel. “Kalau begitu bisa dijelaskan bagaimana polemik itu ada, dan sikap AJI, atau AJI punya tanggal HPN sendiri,” balas Semuel. Saya pun secara singkat menjelaskan tentang sejarah pers nasional, sampai polemik penetapan HPN. Sedangkan tentang HPN versi AJI, saya katakan momentum Rakernas AJI 23 Februari mendatang, mungkin akan dibahas dan ditetapkan. Pernyataan saya ini didasarkan pada adanya usulan dari beberapa member dalam milis AJI.
Selanjutnya Semuel memberikan kesempatan kepada pendengar untuk memberikan tanggapan terkait kondisi pers khususnya dalam pengamatan mereka di Sulut. Dalam sesi dialog dengan durasi 60 menit ditambah iklan tersebut, saya mencatat enam orang yang memberikan tanggapan, maupun pertanyaan. Mereka antara lain, Irianto, Ichad, Vera dan Jalil.  Rata-rata memberikan antara empat hingga lima pertanyaan, juga pernyataan tentang kondisi pers. Mereka banyak mengkritisi tentang tingkah laku oknum tertentu yang mengatasnamakan wartawan, yang kian meresahkan masyarakat. Selain itu juga mengkritisi posisi media yang cenderung lebih dekat pada kekuasaan, sementara suara kritis masyarakat seolah-olah disumbat. Sementara seorang penelpon lainnya mengharapkan, semua organisasi pers bisa bersatu untuk membuat perubahan di dunia media, khususnya terkait karakter serta kualitas para jurnalis yang dinilai kurang berbobot dengan tingkah lakunya serta karya-karya jurnalistiknya. Terhadap semua pertanyaan, pernyataan dan kritikan ini, saya berusaha menjawabnya satu per satu. Saya banyak memberikan referensi tentang bagaimana seharusnya seorang jurnalis dan media mengambil posisinya dalam kerja-kerja jurnalistik. “Elemen pertama dalam jurnalisme adalah kebenaran. Sedangkan elemen kelima  adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas,” demikian antara lain inti jawaban yang saya berikan.
Buku “Elemen-elemen Jurnalisme”, karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, “Agama Saya Adalah Jurnalisme”, karangan Andreas Harsono, juga UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Kode Etik AJI, yang selalu saya bawa tiap liputan, rasanya cukup menjadi referensi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekaligus juga menanggapi pernyataan para penelpon.
Tak terasa waktu dialog interaktif hampir berakhir, setelah beberapa kali break iklan. “Mencermati tanggapan para pendengar tentang kondisi dunia pers dewasa ini, apa yang akan  dikerjakan AJI Manado ke depan,” tanya Semuel di akhir sesi. “Yang pasti AJI tetap konsisten dengan perjuangannya, yang kami sebut dengan tri panji perjuangan AJI. Yakni terus memperjuangkan kebebasan pers, profesionalisme jurnalis, serta peningkatan kesejahteraan pekerja pers,” jawab saya sekaligus mengkahiri acara dialog interaktif tersebut.
Ditemani gerimis hujan yang jatuh di atas atap memecah keheningan malam, saya  menyelesaikan tulisan ini, Minggu 12 Februari pukul 23.23 WITA. Masih penasaran dengan perdebatan HPN, saya buka kembali milis AJI.
Hmm..ternyata polemik itu sudah mulai “mereda” di milis. Mudah-mudahan dalam Rakernas nanti sudah bisa ditelaah, bahkan ditetapkan hari pers nasional.(***)    



Tidak ada komentar:

Posting Komentar