Delegasi AJI Manado foto bersama Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Item Maryadi (tengah) usai pelaksanaan Kongres ke-VIII AJI di Makassar, Sabtu 03 Desember 2011
AWALNYA
saya tidak terlalu memperhatikan postingan-postingan yang muncul di milis
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang setiap menitnya selalu bertambah.
Maklum membuka milis nanti saya lakukan jika tuntutan deadline dari kantor
sudah dipenuhi. Perbincangan di milis itu tentang Hari Pers Nasional (HPN). Sebuah
stasiun radio di Manado meminta saya untuk menjadi narasumber, Jumat 10
Februari lalu, guna membahas momentum
HPN dan perkembangan industri media saat ini. Saat menggali sejumlah referensi saya
menemukan kontroversi penetapan HPN. Ketika dialog interkatif berlangsung, saya
mendengar, juga merasakan bagaimana penilaian masyarakat terhadap kondisi pers dewasa
ini.
“Ini
dengan Bapak Yoseph yah, Ketua AJI Manado. Saya dari Radio Mitra Kawanua
Manado. Mau minta kesediaan bapak untuk jadi pembicara dalam dialog interaktif
besok, dengan topik hari pers nasional, serta tantangan pekerja media saat ini,”
terdengar suara seorang wanita yang menghubungi saya lewat ponsel. “Ya..benar.
jam berapa besok,” tanya saya. “Besok jadwalnya jam 08.00 pagi. Nanti besok
pagi kita hubungi lagi,” ujar dia. “Ok kalo begitu,” jawab saya.
Hari
itu, Kamis 09 Februari 2012, saya
bersama Erick dan Novie, dua rekan jurnalis desk pendidikan sedang asyik
mengejar deadline. Kami memilih sebuah cafe di kawasan Manado Town Square. Tempatnya
sejuk, pemandangannya indah, juga ada wifi gratis. “Ada undangan jadi pembicara
di radio besok,” ujar saya. “Wah mantap itu, ketua,” balas Novie.
Konsentrasi
saya akhirnya terpecah. Ingin segera mencari referensi untuk materi dialog
besok, tapi di sisi lain harus segera menyelesaikan berita untuk terbitan
besok, yang deadlinenya tinggal beberapa menit lagi. Akhirnya pekerjaan hari
itu selesai. Saya pun pulang ke kost, dan mulai membongkar semua referensi
berupa buku-buku yang membahas tentang sejarah pers nasional. Juga menelaah
kembali perdebatan di milis AJI,
termasuk beberapa blog yang membahas tentang HPN.
Rekan
Jafar G Bua, anggota AJI Palu, menulis di milis dengan judul “Dirgahayu PWI
atau Dirgahayu Pers Nasional.” Dalam tulisan kawan Jafar, saya menemukan bahwa Penetapan
tanggal 09 Februari sebagai HPN dibuat melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun
1985. Tanggal 9 Februari sesungguhnya merupakan hari lahir Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), Organisasi yang pernah ditetapkan sebagai satu-satunya
organisasi resmi wartawan di Indonesia itu berdiri 9 Februari di Solo, Jawa
Tengah.
Menurut
Jafar, penetapan itu mengusik banyak orang. Pasalnya, pers Indonesia lahir jauh
hari sebelumnya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan negeri
yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini.
Jafar
kemudian mengulas, Taufik Rahzen, salah seorang yang gelisah dengan itu. Rahzen
menelusuri sejarah itu, kemudian membukukan penelitiannya dalam buku 100 Tahun
Pers Nasional. Rahzen kemudian membuat simpulan bahwa mestinya hari kelahiran
pers nasional itu ditandai tonggaknya dari terbitnya Medan Prijaji pada 1
Januari 1907.
Dari
penelusuran Taufik, masih menurut ulasan rekan Jafar, diketahui Medan Prijaji,
koran berbahasa Melayu sudah terbit di Bandung pada 1 Januari 1907. Koran ini
adalah koran yang dibidani Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Karenanya, menurut
Taufik, seharusnya Hari Pers Nasional diperingati pada 1 Januari.
Harian
ini memang bukan koran yang pertama kali terbit di bumi Nusantara. Sebelumnya
banyak koran yang sudah terbit di Hindia Belanda, nama Indonesia di bawah
jajahan Pemerintah Kolonial Belanda. Namun, menurutnya, Medan Prijaji adalah
koran nasional pertama. Alasannya, semua awak koran tersebut adalah pribumi dan
koran tersebut yang pertama menggunakan bahasa Melayu.
Pendapat
Taufik dibantah oleh peneliti sejarah di Universitas Leiden, Belanda, Surjadi. Dalam
kolomnya yang dimuat di Harian Padang Ekspres, 6 Oktober 2007, Suryadi menyebut
bahwa terlalu berlebihan menempatkan Medan Prijaji sebagai tonggak pers
nasional. Ia mengatakan Medan Prijaji bukanlah koran nasional pertama. Jauh
sebelum Raden Mas Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Medan Prijaji, pada 1894-1910
di Sumatera telah terbit banyak koran berbahasa Melayu yang digawangi Dja Endar
Moeda. Sebelumnya pula di Padang, pada 1890-1921, Mahyudin Datuk Sutan
Maharadja telah menerbitkan enam koran berbahasa Melayu.
Pada
bagian akhir tulisannya, kawan Jafar juga menulis referensi lain tentang
perdebatan HPN, seperti yang ditulis Andreas Harsono dalam blognya. Saya menelusuri
blog tersebut. Sebuah postingan dengan judul “Polemik Sejarah Pers Indonesia.” Juga
buku Andreas yang berjudul “Agama Saya Adalah Jurnalisme”, pada halaman 63
dengan topik, Pers, Sejarah, dan Rasialisme.
Waktu
semalam rasanya tidak cukup untuk terus menelaah polemik kapan sebenarnya
menentukan tonggak lahirnya pers Indonesia. Saya sendiri berkesimpulan,
perdebatan untuk menentukan tonggak berdirinya pers Indonesia adalah, tentang
kriteria pers Indonesia atau pers nasional itu sendiri. Apakah yang disebut
pers Indonesia, itu koran pertama yang lahir di tanah Indonesia (dulu disebut
Hindia Belanda), atau koran berbahasa
Indonesia (melayu) pertama, ataukah dimiliki dan diasuh oleh orang pribumi?
Jika
mengacu pada kriteria pertama, menurut Andreas, maka suratkabar Bataviasche Nouvelles yang terbit tahun
1744-1746 atau 150 tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di
Batavia. Jika ukurannya bukan Bahasa Belanda dan Bahasa Jawa, maka Andreas juga
menyebut ada Tjahaja Siang di Minahasa yang terbit tahun 1868, atau Bintang
Timoer (1865) yang terbit di Padang.
Upaya
mencari tonggak sejarah pers Indonesia ini saya lakukan untuk menjadi starting
poin menuju perdebatan tentang HPN yang oleh pemerintah orde baru ditetapkan
tanggal 09 Februari 1985, dan diperingati setiap tahunnya.
Saya
kembali membuka situs beritasatu.com. Di sana ada tulisan dengan judul, “Menentukan
Hari Pers Nasional Sejati.” Di situ dituliskan, jika kita hendak merumuskan
kembali kapan lahirnya sejarah pers nasional lahir sebaiknya dimulai dengan
menentukan kriteria pers nasional tertua.
Benarkah
HPN jatuh pada 9 Februari? Pertanyaan singkat ini selalu dipertanyakan setiap
tahunnya. Asal muasalnya adalah karena tanggal 9 Februari adalah hanyalah hari
lahirnya PWI.
Masih
dalam ulasan beritasatu.com, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama di
Indonesia. Dari pelacakan sejarah kita dapat menemukan bahwa jauh sebelum PWI
sudah lahir organisasi wartawan di masa perjuangan melawan kolonialisme, yaitu:
Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang dipelopori oleh Mas Marco Kartodikromo
pada tahun 1914, Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists
(1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). PWI sendiri baru lahir pada
9 Februari 1946.
Hari
lahir PWI menjadi naik kasta menjadi hari pers yang diperingati secara nasional
karena peran Menteri Penerangan Harmoko yang merayu Presiden Soeharto untuk
menetapkannya sehingga sejak 1985 HPN diperingati di tanggal tersebut.
Lagipula
penetapan HPN yang ditetapkan saat PWI sebagai satu-satunya organisasi tunggal.
Padahal sesudah rezim orde baru tumbang sudah lahir banyak organisasi wartawan
berskala nasional. Saat rezim orde baru berkuasa sekumpulan wartawan yang
memprotes pembredelan Tempo, Editor dan Detik, di tahun 1994, mendirikan
organisasi wartawan alternatif yang diberi nama Aliansi Jurnalis Independen
(AJI). Saat Soeharto jatuh tahun 1998, PWI pecah menjadi dua dengan lahirnya
PWI Reformasi. Juga diikuti berdirinya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
(IJTI).
Lahirnya
HPN yang merujuk pada hari lahir PWI juga dirasa ahistoris dengan sejarah
terbitnya pers pertama kali di Indonesia. Terdapat beberapa surat kabar yang
terbit sebelum merdeka, baik sesudah tahun 1900 atau sebelumnya yang dapat
dipertimbangkan sebagai embrio atau perintis pers nasional.
Kulirik
jam di ponselku. Waktu sudah menunjukan pukul 01.00 WITA, Jumat 10 Februari
2012. Artinya, beberapa jam lagi saya segera tampil dalam dialog interatif. Akhirnya
saya putuskan menghubungi Bung Eko Item Maryadi, Ketua Umum AJI Indonesia,
untuk menanyakan bagaimana sikap resmi AJI tentang HPN, serta pendapatnya
terkait kehadiran saya dalam dialog yang mengambil momentum HPN tersebut. “AJI
menolak 09 Februari sebagai HPN. Silahkan ikut dialog, asalkan bisa bersuara
kritis dengan menolak penggunaan dana APBN/APBD untuk pelaksanaan HPN,”
demikian kira-kira inti dari apa yang disampaikan Item lewat pesan singkatnya
kepada saya.
Pukul
07.45 WITA, ponsel saya berdering. Pengasuh Radio Mitra Kawanua kembali
mengkonfirmasi kehadiran saya. “Lagi on the way,” jawab saya.
Studionya
berada di Lantai 3, sebuah bangunan yang terletak di Jalan Toar Manado. Saya disambut
seorang penyiar, namanya Semuel. Orang batak. Lulusan salah satu Fakultas di
Unsrat. Kita ngobrol sejenak tentang apa yang nanti menjadi materi dialog
interaktif dengan pendengar. “Nanti mungkin bisa dijelaskan di awal sesion, apa
saja yang dilakukan AJI Manado, dalam memperingati Hari Pers Nasional, 09
Februari, kemarin,” ujar Semuel. “Ya..ya,” jawab saya. Pukul 08.00 teng. Dialog
interaktif dimulai. Semuel memberikan pengantar, tentang topik yang akan
dibahas, sekaligus memperkenalkan saya
sebagai pembicara. “Jadi bisa dijelaskan oleh Bung Yoseph, kira-kira apa saya
yang dilakukan oleh AJI Manado, atau harapan-harapan terhadap pers saat ini,
terkait HPN kemarin,” ujar Semuel membuka dialog. “Yang pertama perlu untuk
saya luruskan terkait penetapan 09 Februari sebagai Hari Pers Nasional. AJI
menolak 09 Februari sebagai HPN. Karena sesungguhnya itu adalah HUT PWI,” ujar
saya membuka dialog, sekaligus menjawab pertanyaan Semuel. “Kalau begitu bisa
dijelaskan bagaimana polemik itu ada, dan sikap AJI, atau AJI punya tanggal HPN
sendiri,” balas Semuel. Saya pun secara singkat menjelaskan tentang sejarah
pers nasional, sampai polemik penetapan HPN. Sedangkan tentang HPN versi AJI,
saya katakan momentum Rakernas AJI 23 Februari mendatang, mungkin akan dibahas
dan ditetapkan. Pernyataan saya ini didasarkan pada adanya usulan dari beberapa
member dalam milis AJI.
Selanjutnya
Semuel memberikan kesempatan kepada pendengar untuk memberikan tanggapan
terkait kondisi pers khususnya dalam pengamatan mereka di Sulut. Dalam sesi
dialog dengan durasi 60 menit ditambah iklan tersebut, saya mencatat enam orang
yang memberikan tanggapan, maupun pertanyaan. Mereka antara lain, Irianto,
Ichad, Vera dan Jalil. Rata-rata
memberikan antara empat hingga lima pertanyaan, juga pernyataan tentang kondisi
pers. Mereka banyak mengkritisi tentang tingkah laku oknum tertentu yang
mengatasnamakan wartawan, yang kian meresahkan masyarakat. Selain itu juga
mengkritisi posisi media yang cenderung lebih dekat pada kekuasaan, sementara
suara kritis masyarakat seolah-olah disumbat. Sementara seorang penelpon
lainnya mengharapkan, semua organisasi pers bisa bersatu untuk membuat
perubahan di dunia media, khususnya terkait karakter serta kualitas para
jurnalis yang dinilai kurang berbobot dengan tingkah lakunya serta karya-karya
jurnalistiknya. Terhadap semua pertanyaan, pernyataan dan kritikan ini, saya
berusaha menjawabnya satu per satu. Saya banyak memberikan referensi tentang
bagaimana seharusnya seorang jurnalis dan media mengambil posisinya dalam
kerja-kerja jurnalistik. “Elemen pertama dalam jurnalisme adalah kebenaran. Sedangkan
elemen kelima adalah memantau kekuasaan
dan menyambung lidah mereka yang tertindas,” demikian antara lain inti jawaban
yang saya berikan.
Buku
“Elemen-elemen Jurnalisme”, karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, “Agama Saya
Adalah Jurnalisme”, karangan Andreas Harsono, juga UU Nomor 40 tahun 1999
tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Kode Etik AJI, yang selalu saya bawa
tiap liputan, rasanya cukup menjadi referensi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekaligus juga menanggapi pernyataan para
penelpon.
Tak terasa
waktu dialog interaktif hampir berakhir, setelah beberapa kali break iklan. “Mencermati
tanggapan para pendengar tentang kondisi dunia pers dewasa ini, apa yang
akan dikerjakan AJI Manado ke depan,”
tanya Semuel di akhir sesi. “Yang pasti AJI tetap konsisten dengan
perjuangannya, yang kami sebut dengan tri panji perjuangan AJI. Yakni terus
memperjuangkan kebebasan pers, profesionalisme jurnalis, serta peningkatan
kesejahteraan pekerja pers,” jawab saya sekaligus mengkahiri acara dialog
interaktif tersebut.
Ditemani
gerimis hujan yang jatuh di atas atap memecah keheningan malam, saya menyelesaikan tulisan ini, Minggu 12 Februari
pukul 23.23 WITA. Masih penasaran dengan perdebatan HPN, saya buka kembali
milis AJI.
Hmm..ternyata
polemik itu sudah mulai “mereda” di milis. Mudah-mudahan dalam Rakernas nanti
sudah bisa ditelaah, bahkan ditetapkan hari pers nasional.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar