Rabu, 22 Februari 2012

Semalam di Kamar 313, Jalan Jaksa




RANGKAIAN kegiatan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) akhirnya membawa saya untuk “mampir” ke Jalan Jaksa Jakarta Pusat. Lebih dari lima rekan memberikan komentar di akun facebook, setelah mengetahui bahwa saya menginap di kawasan itu. “Ada tempat nongkrong paling populer di situ, tapi jangan jalan sendiri. Nanti kesandung sama cewe bule, atau bule lokal,” komentar seorang teman jurnalis dari Manado. Bahkan seorang wartawan Jakarta berkata, "nginapnya boleh di wisma haji, tapi tetap...," ujar dia misterius.



Waktu menunjukan pukul 08.50 WIB, Rabu 22 Februari 2012, ketika pesawat Lion Air dengan Nomor Penerbangan JT 771 mendarat mulus di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta. Beberapa saat kemudian, saya sudah berada di halte bus untuk menunggu Damri jurusan Gambir. “Kalau sudah di Bandara, naik Damri aja ke Gambir. Selanjutnya ke Wisma Haji di Jalan Jaksa,” demikian petunjuk staf Sekretariat AJI Indonesia, ketika saya hubungi sesaat setelah pesawat landing tadi. Bus yang ditunggu tiba. Saya pun segera naik. Pukul 11.00 WITA minus beberapa menit, saya sudah tiba di Stasiun Gambir. Beberapa tukang ojek menawarkan jasa untuk mengantar sampai ke tujuan, juga para sopir bajaj. Namun perut yang mulai keroncongan menuntunku menuju sebuah rumah makan khas Padang di salah satu sudut Stasiun Gambir. Setelah menyantap habis hidangan itu, sayapun memilih sebuah bajaj. “Kembang Lima, Kwitang yah mas,” ujar saya yang dibalas dengan anggukan sang sopir. Bajaj tua ini pun segera melaju di tengah himpitan mobil mewah, serta ratusan motor yang memadati ruas jalan ibukota. Hampir 20 menit mencari alamat yang dituju, tidak juga ketemu. “Ke Wisma Haji saja mas, di Jalan Jaksa,” ujar saya meyakinkan. Kembali bajaj tua membelah keramaian kota Jakarta. Tak lebih dari 15 menit, kami pun sampai di sebuah jalan yang agak sempit. “Ini wisma haji-nya,” ujar sopir tadi.
Wisma Haji, Jalan Jaksa Nomor 30, Jakarta Pusat.
Saya pun segera check in. Dapat kamar nomor 313. Kamarnya sederhana. Ada dua ranjang, dengan kain sprei agak lusuh. Dua buah sandal jepit warna kuning dan biru bertuliskan 313 terletak di bawah meja. Cat dinding kamar mulai luntur. Kamar mandi kecil, tanpa bak mandi. Hanya sebuah ember merah, dan gayung. Untung saja, AC-nya bagus. Cukup dingin untuk melawan panasnya suhu ibukota di siang itu. “Wisma Haji. Jalan Jaksa. Jakarta Pusat.” Demikian status terbaru yang saya tulis di facebook, setelah beberapa saat berada dalam kamar. Hingga malam harinya pukul 23.30 WIB, saat menyelesaikan tulisan ini, tak kurang dari 17 komentar atas status tadi. Saya juga pernah mendengar informasi atau cerita tentang Jalan Jaksa sebagai salah satu kawasan hiburan malam. Namun mungkin kalah tenar dibanding Gang Dolly atau Moroseneng dengan jualan kawasan prostitusinya.
Saya terhentak saat pintu kamar 313 diketuk. Hmm, ternyata seorang kawan AJI Kupang yang ditempatkan sekamar dengan saya. Sejak siang hingga sore hari, baik melalui pesan singkat di ponsel, maupun di facebook, banyak kawan baik dari Manado maupun Jakarta serta daerah lainnya memberikan komentar tentang Jalan Jaksa. Malam harinya, bersama beberapa kawan AJI dari berbagai Kota di Indonesia, kami menuju Sekretariat AJI Indonesia, Jalan Kembang Nomor 06 Kwitang Jakarta Pusat. Saya baru menyadari, alamat yang siang tadi dicari ternyata salah. Seharusnya Kembang Enam, bukan Kembang Lima. Pantasan salah alamat.
Di Sekretariat AJI ini sudah berkumpul para jurnalis dari berbagai daerah. Menu makan malam pun sudah tersedia. Sambil menikmati hidangan, puluhan jurnalis ini ngobrol, membentuk kelompok, macam-macam topik. Suasana ramai, jadi ajang silaturahmi. Saya berbicara serius dengan Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Item Maryadi, dan Korwil Sulawesi Maluku, Upi Asmaradana terkait persiapan Konfertalub AJI Manado. Setelah agenda makan malam, dan ngobrol bersama selesai, kamipun beranjak kembali ke Wisma Haji. “Kita jalan kaki saja, supaya bisa menikmati malam. Juga mencermati aktivitas di Jalan Jaksa,” ujar seorang jurnalis dari Palu.
Akhirnya kami berlima, dua aktivis HAM, ditambah wartawan dari Balikpapan, menempuh perjalanan yang cukup panjang, menelusuri sejumlah ruas jalan sampai tiba di Jalan Jaksa. “Ini kawasan bule-bule. Ada juga bule lokal. Ini sama dengan kawasan pelacuran,” ujar kawan jurnalis tadi. Kami terus melintas di ruas jalan itu. Namun dalam amatan saya, tak ada yang “menarik” selain sejumlah pedagang makanan dan minuman yang sibuk menjajakan dagangan mereka. “Sebentar baku kontak, kalo mau keluar,” ujar kawan dari Palu, saat kami tiba di Wisma Haji. “Ok,” balas saya yang selanjutnya bergegas ke kamar 313. Ternyata rekan dari Kupang sudah sampai lebih dahulu. “Jadi kita mau keluar,” tanya dia saat melihat saya masuk. “Iya nanti tunggu Iwan kontak,” jawab saya. Kami pun akhirnya tenggelam dalam dunia masing-masing mengutak-atik laptop. “Coba kontak Iwan, jadi nda? Kita mau telusuri ini Jalan Jaksa,” ujar kawan dari Kupang ini. “Wan, petunjuk..? Jadi atau...,” tanya saya kepada Iwan melalui ponsel. “Iya..ini masih tunggu Upi,” balas Iwan.  
Kami berdua kembali larut dalam kesibukan masing-masing. Sementara komentar-komentar di facebook saya makin banyak yang bicara soal Jalan Jaksa. Penasaran, saya pun membuka google untuk mencari tahu tentang kawasan ini. Wikipedia menulis sebagai berikut:  
Jalan Jaksa adalah sebuah jalan pendek sepanjang 400 meter di Jakarta Pusat, Indonesia. Jalan ini terletak sekitar 1 km di selatan Monas dan sebelah barat stasiun kereta api Gondangdia.
Asal nama jalan ini berawal pada zaman Belanda, ketika mahasiswa Rechts Hogeschool Batavia (Akademi Hukum Jakarta) menetap di daerah ini ketika sedang menuntut ilmu di sana. Karena itu jalan ini secara resmi dikenal sebagai Jalan Jaksa.
Pada akhir 1960-an, Jalan Jaksa mulai dikenal secara internasional di antara para petualang melalui International Youth Hostel Federation (IYHF). Tahun 1968, Nathaniel Lawalata, sekretaris jenderal Asosiasi Pemuda Indonesia mengubah rumahnya menjadi hotel bernama Wisma Delima. Hotel ini adalah hotel pertama di Jalan Jaksa dan satu-satunya hotel di Jakarta yang secara internasional terdaftar di IYHF.
Jalan ini terus mengalami perkembangan banyak hostel dan tercatat di berbagai buku panduan perjalanan terkenal seperti Lonely Planet. Jalan Jaksa kemudian menjadi titik transit untuk menjelajah seluruh Indonesia dan secara resmi ditetapkan sebagai kawasan pariwisata oleh dewan kota Jakarta.
Tahun 1993, Dinas Pariwisata Jakarta mencatat 57.201 wisatawan mancanegara telah menetap di hotel dan hostel di sepanjang jalan ini dan sekitarnya, termasuk 29.676 warga Eropa, 9.309 warga Australia, 4.215 warga Amerika dan 649 warga Afrika. Lama menginap rata-rata wisatawan asing di Jalan Jaksa adalah tiga hari.
Pada 5-7 Agustus 1994, Festival Jalan Jaksa tahunan diadakan pertama kalinya. Festival jalanan ini ditujukan untuk meningkatkan popularitas jalan ini dan merayakan budaya penduduk asli Jakarta yang dikenal sebagai suku Betawi.
Krisis moneter 1998, pengeboman Bali 2002, pengeboman kedutaan besar Jakarta 2004 dan keputusan tahun 2005 untuk mengurangi visa standar turis dari 60 menjadi 30 hari telah mengurangi jumlah turis beranggaran rendah di Jalan Jaksa. Banyak pelancong memutuskan untuk menetap di daerah lain di Indonesia daripada menghabiskan 10% dari visa 30 hari mereka di Jakarta.
Pada 2007, Jalan Jaksa masih menjadi jalan berakomodasi rendah dan tempat hiburan murah di Jakarta. Jalan ini masih terkenal di antara penduduk setempat, guru bahasa Inggris, ekspatriat, dan pelancong. Meski kurang modern dan berkembang seperti Kuta, Bali atau Khaosan Road di Bangkok, jalan ini masih menawarkan serangkaian pelayanan untuk membantu turis beranggaran rendah termasuk agen perjalanan, toko buku, tempat penukaran mata uang, binatu, pub, dll.
“Ah..tidak usah jalan sudah. Semua sudah tidur ini,” ujar kawan dari Kupang tadi. Saya melirik jam dinding. Pukul 00.05 WIB, Kamis 23 Februari 2012. Niat untuk menelusuri langsung aktifitas malam di Jalan Jaksa, akhirnya saya urungkan. Saya putuskan untuk menghabiskan waktu malam ini di kamar 313. Mungkin nanti di lain waktu, ada kesempatan untuk menjawab rasa penasaran ini.(***)    


   




   


   

3 komentar: