Kamis, 02 Februari 2012

Masalah Sekolah, Malah “Dikeroyok” Ibu-ibu




SD Negeri 11 Manado. Salah satu sekolah unggulan, yang belakangan ini menuai sorotan.


SEBUAH kantin sederhana, dengan sajian menu yang cukup lengkap. Terletak di Jalan Sarapung, Kelurahan Wenang Utara, Kecamatan Wenang Manado. Letaknya lumayan strategis. Mudah diakses. Setiap harinya puluhan ibu muda berkumpul di kantin ini. Membentuk beberapa kelompok, ngerumpi. Dengan berbagai topik pembahasan. Sejumlah diantaranya juga merokok. Aktifitas sehari-hari yang dilakoni, sambil menunggu anak-anak mereka yang lagi bersekolah. Maklum, tak berapa jauh dari kantin tersebut, terdapat tiga Sekolah Dasar yang berada dalam satu kompleks, yakni SDN 06, SDN 11, dan SDN 124.

Selama hampir dua pekan lamanya, aku bersama kawan-kawan yang tergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado, sibuk mempersiapkan Konferensi Kota (Konferta) Luar Biasa. Satu agenda organisatoris untuk memilih kepengurusan yang baru. Memang gampang-gampang susah juga mengurus sebuah organisasi jurnalis. Maklum, semua anggota dan pengurusnya sibuk dengan liputan. Aku teringat satu hari, di Bulan Juni 2011, AJI Manado sementara melakukan aksi demo menuntut ketegasan aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus perampasan motor disertai penganiayaan terhadap salah satu kawan jurnalis. Demo yang lagi hangat-hangatnya berlangsung, dengan dibakar orasi para wartawan dengan berapi-api, tiba-tiba saja bubar. Beberapa wartawan lantas bergegas mengambil kamera, menerobos kerumunan massa yag sebenarnya lagi menyaksikan demo tadi. Apa gerangan..? ternyata ada tawuran antar siswa SMA. Aparat polisi yang memantau jalannya demo, bergerak cepat menciduk pelaku tawuran. Situasi tenang. Demo para jurnalis dilanjutkan kembali.     
Sulitnya waktu untuk bisa berkumpul bersama, juga mempertimbangkan lokasi yang mudah diakses membuat aku dan beberapa pengurus serta Panitia Konferta sepakat untuk menjadikan kantin di Jalan Sarapung ini sebagai tempat berkumpul, berkoordinasi sekaligus jadi “sekretariat bayangan”. Apalagi Ketua Panitia Konferta, yang juga rekan sekantorku, juga sering mangkal di tempat ini, menunggui anaknya yang sekolah di salah satu SD tersebut. Akhirnya kantin ini selama beberapa hari tersebut “diduduki” oleh dua kelompok pelanggan, ibu-ibu muda dan wartawan.     
Pagi itu, seperti biasa aku singgah di kantin tersebut. Dari jauh rekan sekantorku itu langsung menyambutku. Badannya gempal. Rambutnya digunting cepak, bahkan nyaris botak. Senyum selalu menghiasi bibirnya. Bicaranya sangat meyakinkan, berapi-api. “Ngopi Sep, ada kukis..tinggal pilih jo,” ujar dia sambil mengambilkan kursi dan mempersilahkanku duduk. “Ini..ada ibu-ibu yang mengeluh, terkait kegiatan bible camp dan pesantren kilat SDN 11 akhir pekan lalu,” sambungnya. “Tapi nanti dorang (ibu-ibu, red) ba cirita langsung deng ente,” tandas dia, sebelum satu katapun meluncur dari mulutku. “Mari jo, dorang so tunggu di dalam,” lanjut dia lagi.
Urusan wawancara seharusnya menjadi kerjaan yang biasa, karena sudah hampir delapan tahun aku jalani profesi sebagai jurnalis. Tapi kali ini grogi juga, karena sendirian harus menghadapi belasan ibu-ibu muda yang siap mencurahkan uneg-uneg mereka. Akhirnya aku bergegas masuk ke dalam kantin. Seorang ibu muda, mengenakan celana jeans ketat warna coklat, dipadu kaos dengan warna yang sama. “Kita keberatan di mana anak-anak harus membayar Rp130 ribu untuk mengikuti kegiatan bible camp, dan pesantren kilat tersebut. Sementara menu makanan yang disajikan tidak memadai dibanding dana yang dikumpulkan. Yang juga jadi persoalan adalah, makanan untuk siswa Islam yang mengikuti pesantren kilat, dan siswa Kristen peserta bible camp disatukan dalam proses pembuatannya. Seharusnya makanan tersebut dimasak secara terpisah,” ujar wanita cantik dalam balutan kerudung yang juga berwarna coklat ini.  Selama ibu muda ini menyampaikan uneg-unegnya, belasan ibu yang lain juga ikut menambahkan, menimpali, ada juga yang mengoreksi atau sekadar meluruskan pernyataan yang lain. Suasana jadi agak gaduh. Aku berusaha memaksimalkan dua telingaku untuk mendengar, dan mencatat semua penyampaian mereka.
Dua hari berselang. Kamis 26 Januari 2012. Aku kembali ke kantin tersebut. “Eh, Sep. Ibu-ibu da tanya, kiapa tu brita belum muat?,” ujar rekan sekantorku sesaat setelah kuparkir sepeda motor. “Ada lagi yang dorang mo sampaikan. Mo tambah tu data-data lalu,” sambungnya lagi.
Kali ini aku tak segugup saat wawancara dua hari lalu. Seorang ibu muda bertubuh seksi. Mengenakan jeans ketat, dipadu kaos yang juga membungkus ketat tubuhnya. Sambil mengisap rokoknya dalam-dalam, ditemani beberapa ibu lainnya, dia kembali mengeluhkan beberapa kebijakan sekolah. “Kami minta agar pelaksanaan kegiatan itu direncanakan terlebih dulu secara matang. Selanjutnya pertanggungjawaban khususnya keuangan juga secara transparan. Orang tua juga mestinya dilibatkan dalam perencanaan kegiatan-kegiatan, termasuk bible camp dan pesantren kilat yang digelar pecan lalu. Sehingga kegiatan tersebut kesannya tidak asal jadi,” ungkapnya yang diiyakan teman-temannya.
Dia menambahkan, untuk pelaksanaan bible camp dan peskil tidak ada perencanaan terlebih dahulu, juga tidak dibicarakan dengan ortu. “Tiba-tiba ada keputusan dari sekolah untuk menggelar kegiatan tersebut dengan biaya Rp130 ribu setiap anak, khususnya anak yang menginap. Mestinya ada perincian penggunaan dana tersebut, kami siap untuk membayar lebih dari itu jika memang perinciannya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan,” tambah mereka.
Selain terkait pendaftaran, ibu ini juga kembali mengeluhkan menu makanan yang disediakan oleh panitia. Mereka kuatir karena makanan yang disediakan itu disatukan antara peserta bible camp dengan peskil. Selain itu juga menu makanan yang tidak sesuai dengan dana yang disetor, serta penyediaan makanan yang terlambat menjadi keluhan para ortu. “Menu makanan yang disediakan juga tidak sesuai dengan dana yang diberikan oleh ortu,” tandas dia sambil juga mengkritisi jadwal acara yang dinilai tidak jelas dan asal-asalan.
Meski menyampaikan sejumlah kritikan, sejumlah ortu ini menyatakan, siap mendukung program dan kebijakan sekolah asalkan mereka dilibatkan dalam penyusunan dan pelaksanaan kegiatan, serta sekolah bisa mempertanggungjawabkan keuangan secara transparan. “Asal transparan, kami siap untuk mendukung kebijakan dan program sekolah,” ujar ibu-ibu muda ini nyaris serempak.
Polemik ini sebenarnya berawal ketika SDN 11 Manado, Sabtu-Senin, 21-23 Januari 2012, menggelar kegiatan bible camp dan pesantren kilat untuk mengisi liburan Imlek.
Sabtu siang itu sebenarnya aku sudah pulang ke rumah. Perjalanan cukup jauh, memakan waktu lebih kurang satu jam dengan kendaraan bermotor untuk bisa sampai di Kawangkoan, salah satu kecamatan yang masuk dalam wilayah Pemkab Minahasa. Lagi asyik bermain dengan putra kesayanganku, tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata Panitia Bible Camp dan Pesantren Kilat SDN 11 yang menghubungiku. Pukul 16.00 WITA, ada pembukaan dua kegiatan tersebut. Jagoan kecilku langsung memandang dengan wajah harap-harap cemas. “Papa so mo pigi..?,” tanya dia dengan nada kecewa. Tak hanya sampai di rasa kecewa, dia pun menangis. Yah..waktunya untuk bermain akhirnya harus tersita.  Awalnya memang ada rencana untuk balik ke Manado pukul 18.00 WITA. Dia tahu, masih ada dua jam lagi seharusnya bisa bermain bersama. Setelah coba kujelaskan, akhirnya jagoan kecilpun merelakan aku untuk kembali ke Manado dua jam lebih cepat dari rencana semula.  
Sekitar pukul 16.00 WITA, aku sudah berada di kompleks persekolahan tersebut. Kepala SDN 11 Manado, Selvie W Sinaen SPd MPd memimpin langsung acara pembukaan dua kegiatan kerohanian tersebut. Dalam sambutannya, Selvie mengharapkan seluruh anak didiknya dapat tumbuh sesuai dengan nila-nilai agama. Sehingga tidak hanya kecerdasan intelektual saja yang dimiliki masing-masing anak, melainkan juga kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. “Proses pembelajaran di sekolah tidak hanya menekankan pada aspek intelektual, tapi juga kecerdasan emosi dan spiritual. Anak harus tumbuh sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang luhur seperti sopan-santun dan cinta sesame,” papar Selvie. Dipaparkan Selvie, banyak ditemui sejumlah kejadian di mana rasa hormat kepada orang yang lebih tua, seperti guru dan arang tua, sudah mulai memudar di kalangan anak-anak. Padahal, lanjut dia, anak adalah generasi penerus bangsa yang merupakan bagian penting dari pusat pelayanan pendidikan masa kini. “Banyak anak tumbuh tidak sesuai dengan norma hukum dan agama. Banyak yang keliru tentukan langkah sehingga masa depan menjadi suram. Ini yang harus menjadi perhatian serisu berbagai pihak, termasuk orang tua, guru dan masyarakat,” papar dia.
Kepala sekolah berprestasi tahun 2009 ini menambahkan, melalui kegiatan seperti pesantren kilat dan bible camp para siswa dapat dibina dan dididik untuk berperilaku yang baik sesuai agama agar bisa diterima masyarakat. “Para siswa bisa dibekali keimanan mereka melalui pesantren kilat dan bible camp ini. tidak hanya iptek saja yang dibekali, tapi juga meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan,” papar Selvie sambil menambahkan, para siswa juga dilatih untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
Diketahui, dua kegiatan kerohanian ini dipusatkan di sekolah yang memiliki jumlah siswa sebanyak 738 orang tersebut. “Untuk siswa kelas 3-6 yang beragama Kristen menginap di sekolah. Sementara yang beragama Islam mulai Kelas 4-6. Sedangkan untuk kelas 1-3 hari Minggu mengikuti acara tadzkir dan sekolah minggu di sekolah,” jelas dia.
Sehari setelah pelaksanaan kegiatan tersebut, muncullah berbagai persoalan yang dikemukakan para ibu muda tersebut. Setelah menampung sekian banyak keluhan ibu-ibu muda ini, akhirnya kuputuskan untuk melakukan konfirmasi ke kepala sekolah. Mengklarifikasi persoalan yang mengemuka, sekaligus menerbitkannya di surat kabar tempatku bekerja.
Setelah menghubungi kepala sekolah, akhirnya aku mendatangi sekolah yang berjarak sekitar 100 meter dari kantin “sekretariat bayangan” tersebut.
Ternyata situasi ruang kepala sekolah tak jauh berbeda dengan apa yang aku alami di kantin. Mulai dari kepala sekolah, panitia kegiatan hingga guru-guru yang ada semuanya perempuan. Entah kemana guru yang laki-laki. “Dikeroyok lagi untuk ketiga kalinya oleh ibu-ibu,” gumamku. “Ini bukan program tiba-tiba, tapi agenda kegiatan rutin. Hanya saja ditunda pelaksanaannya pada Januari ini karena bertepatan ada liburan Imlek,” ujar Selvie yang didampingi Ketua Panitia Pelaksana, Dra Lady Solang, Guru Agama Islam, Sadiah Zees SPdI, Koordinator Seksi Konsumsi, Nova Saroinsong, Guru Agama Kristen Helena Oley STh serta Seksi Acara, Ane Lengkong SPd.
Dijelaskan Selvie, karena kegiatan itu merupakan program sekolah maka memang mau tidak mau siswa siswa diharuskan ikut tanpa harus membahas dengan ortu. “Kecuali misalnya kegiatan dari Departemen Agama, itu baru melibatkan ortu. Tapi ini program sekolah,” jelasnya.  Sedangkan terkait biaya pendaftaran Rp130 ribu, menurut dia, memang dipungut dari siswa karena tidak termasuk dalam 13 item penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). “Untuk kegiatan kerohanian tidak dibiayai oleh dana BOS. Dana yang ada juga digunakan untuk mensubsidi siswa yang tidak mampu untuk membayar. Karena dari 274 peserta yang hadir, yang membayar pendaftaran hanya 205 siswa. juga ada biaya konsumsi untuk panitia dan guru-guru,” paparnya yang diiyakan Solang.
Sementara itu terkait makanan, Nova dan Sadiah menjelaskan, sebenarnya tak perlu dikuatirkan oleh ortu khususnya yang Muslim. “Makanan yang disediakan itu halal karena disediakan oleh kantin sekolah, di mana yang memasaknya juga beragama Islam. Saya sendiri ikut mengawasi makanan yang disediakan,” ujar Sadiah dan Nova. Keduanya juga menambahkan, menu makanan yang disiapkan sebenarnya sudah sesuai dengan kebutuhan anak, serta jam-jam makan, sehingga tidak perlu dipersoalkan. “Kalau ada siswa yang pada Senin pagi tidak sempat sarapan, karena memang ada ortu yang sudah minta ijin untuk pulang lebih dahulu,” jelas keduanya yang diiyakan delapan ibu guru lainnya, termasuk sang kepala sekolah.
Kamis 02 Februari 2012 pagi, aku mengirim pesan singkat ke sahabatku yang biasa nongkrong di kantin, untuk memastikan nama jalan dimana SDN 11 terletak, guna melengkapi tulisan ini. “Jalan Sarapung Sep. Kamari jo, kita tunggu,” balas dia juga melalui pesan singkat. “Ok, nanti kalo so mo ke sana, kita SMS,” balasku.
Yang pasti hari itu, aku lebih memilih untuk pergi ke Kampus Universitas Negeri Manado (Unima) yang berada di Tondano ketimbang kembali ke “sekretariat bayangan”. Mungkin rekanku tadi tidak mengerti, bahwa aku tak ingin lagi dikeroyok ibu-ibu.(***)  
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar