PENAYANGAN
perdana
film berjudul “Soegija” di Bioskop 21 Manado menyedot perhatian besar warga. Sejumlah
pejabat di Sulawesi Utara pun ikut nonton. Entah karena ingin mengambil hikmah
dan pesan yang disampaikan tokoh utama dalam film itu, atau sekadar cari muka
pada gubernur yang juga hadir, yang
pasti dalam penayangan pukul 16.00 WITA, ruangan teater 1 penuh sesak. Puluhan penonton, termasuk
saya, harus rela tidak mendapatkan tempat duduk. tangga di lorong tempat jalan
para penonton, menjadi pilihan terbaik saya dan beberapa kawan jurnalis.
Saya tiba
di lantai dua Manado Town Square (Mantos) ketika melihat ada sejumlah Polisi
Pamong Praja berjaga-jaga di kawasan itu. Saya tak yakin kalau ada penertiban
pedagang. Saya mendekat, ternyata sejumlah pejabat sedang ngobrol di salah satu
sudut kawasan perbelanjaan dan hiburan itu. Hari itu, Kamis 07 Juni 2012. Gubernur
Sulut, SH Sarundang, Wagub Djauhari Kansil, serta puluhan pejabat di daerah
Sulawesi Utara juga ingin menyaksikan penayangan perdana film “Soegija” karya
sutradara Garin Nugroho.
Diantara sekian banyak warga yang akan datang
menonton, saya lihat ada Uskup Manado Mgr Josep Suwatan di tengah kerumunan
pengunjung. Bersama beberapa rekan jurnalis, kami mewawancarai Suwatan. “Soegija
itu kecil, tapi cekatan. Saya mengenal sosok beliau sebagai tokoh nasionalis,
pejuang kemerdekaan,” ujar Suwatan.
Jam sudah menunjukan Pukul 16.30 WITA, saat penonton
berdesak-desakan memasuki ruangan teater 1. Puluhan pemuda dengan pakaian
hijau-hijau berdiri di bagian depan ruangan, tepat di bawah layar. Mereka dari
Geralan Pemuda Ansor Sulawesi Utara, dibawah pimpinan Benny Ramdhani. “Yang
sisi kiri untuk rekan-rekan wartawan. Yang tengah untuk para pejabat, juga yang
sisi kanan,” ujar Benny mengatur tempat duduk. Meski sudah coba untuk diatur,
namun nyatanya membludaknya penonton membuat sebagian besar tidak mendapatkan
tempat duduk. Saya bersama sejumlah jurnalis termasuk diantara penonton yang
tidak kebagian tempat duduk.
Benny lantas berbicara dengan pengeras suara. Lugas, vokal. Maklum, dia seorang politisi
PDIP. Semoga saja acara nonton bareng yang disponsori oleh GP Ansor ini tidak
ada nuansa politisnya. Apalagi aspek komersilnya. Saya jadi teringat, beberapa
menit sebelum acara nonton bareng dimulai, seorang rekan wartawan mengungkapkan
kekesalannya ketika ada media lain yang
juga menggelar nonton bareng film Soegija. Ceritanya, media tempat rekan
tadi bekerja menggandeng GP Ansor untuk menggelar nonton bareng di Pukul 16.30
WITA. Sedangkan media yang lain menggandeng Pemuda Katolik untuk acara nonton
barena g film yang sama, di bioskop yang sama di Pukul 18.00 WITA. Mendengar informasi
itu, saya menelpon Ketua Pemuda Katolik Komda Sulut dan menyatakan
ketidaksetujuan saya jika organisasi Pemuda Katolik berada di wilayah “sengketa
bisnis media” dengan label nonton bareng ini. Apalagi film yang ditonton ini
Soegija. “Nanti pesan yang disampaikan Soegija malah terdistorsi dengan
persaingan bisnis di balik acara nonton bareng ini,” gumam saya.
Setelah Benny bicara, giliran Suwatan menyampaikan
pandangan dan penilaiannya tentang Soegija. Tak jauh beda dengan apa yang
dikatakan saat kami mewawancarainya beberapa menit silam. Selanjutnya Gubernur
Sulut diberikan kesempatan untuk memberikan sambutan.
Lampu dipadamkan. Filmpun dimulai.
Film ini diproduksi dengan format film perjuangan
yang mengambil cerita dari catatan harian tokoh Pahlawan Nasional Mgr.
Soegijapranata, SJ dengan mengambil latar belakang Perang Kemerdekaan Indonesia
dan pendirian Republik Indonesia Serikat pada periode tahun 1947 – 1949. Film
ini disutradarai oleh sutradara kawakan Garin Nugroho dengan mengambil latar
daerah Yogyakarta dan Semarang. Film ini juga menampilkan tokoh-tokoh nasional
Indonesia lain, seperti Soekarno, Fatmawati, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sri
Sultan Hamengkubuwana IX, Sri Paku Alam VIII, Jenderal Soedirman, Soeharto,
dll. Untuk bisa menggambarkan pengalaman Soegija, film ini banyak menampilkan
tokoh-tokoh nyata tapi difiksikan baik dari Indonesia, Jepang, Belanda, sipil
maupun militer dalam peristiwa-peristiwa keseharian yang direkonstruksi dengan
cukup detil. Para pemerannya pun akor dan aktris ternama seperti Butet Kartaredjasa, Hengky Solaiman , Nirwan
Dewanto, Annisa Hertami, Wouter Zweers, Wouter Braaf, Nobuyuki Suzuki, Olga
Lydia, Margono, Butet Kartaredjasa, Hengky Solaiman, Andrea Reva, Rukman
Rosadi, Eko Balung, Andriano Fidelis.
Sambil menyaksikan flm ini, sesekali saya melirik
jam di Ponsel. Deadline hampir di depan mata. Lebih dari satu setengah penanyangan, sejumlah
Sat Pol PP tergesa-gesa meninggalkan
ruangan teater. Ternyata Gubernur lebih dulu keluar sebelum film pun berakhir. Para
pejabat satu per satu meninggalkan ruangan. “Hmmm, ternyata para pejabat ini nonton
Soegija karena ingin dilihat gubernur yah. Menunjukkan loyalitas, atau cari
muka nih.,” gumam saya.
Yah, gak masalah para pejabat itu keluar ruangan. Paling
tidak, saya dan kawan-kawan wartawan serta pengunjung lainnya yang tidak
kebagian tempat duduk, sekarang bisa merasakan empuknya kursi yang ditinggalkan
para pejabat tadi. Beberapa menit kemudian film berakhir. Para pengunjungpun
berdesak-desakan keluar ruangan. Di luar pintu teater 1, penontonpun sudah
antri untuk masuk. Juga berdesak-desakan. Saya lihat ada beberapa rohaniwan
katolik juga ikut antri. Para suster dari tarekat JMJ. Tiga orang pemuda dengan
menggunakan baret merah marun menyapa saya sambil mengulurkan tangan. Mereka dari
PMKRI Manado. “Pake baret kwa, pigi bademo, bukan nonton film,” ujar saya
spontan pada mereka. Saya sedikit kesal karena mereka nonton film Soegija
dengan membawa-bawa atribut organisasi, padahal Soegija sendiri menitipkan
pesan tentang nilai dan nasionalisme lebih penting dari sekadar atribut
kelompok.
Sayapun meninggalkan kawasan Mantos, kembali ke
kantor untuk mengejar deadline.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar