Selasa, 19 Juni 2012

Soegija



PENAYANGAN perdana film berjudul “Soegija” di Bioskop 21 Manado menyedot perhatian besar warga. Sejumlah pejabat di Sulawesi Utara pun ikut nonton. Entah karena ingin mengambil hikmah dan pesan yang disampaikan tokoh utama dalam film itu, atau sekadar cari muka pada gubernur yang  juga hadir, yang pasti dalam penayangan pukul 16.00 WITA, ruangan teater  1 penuh sesak. Puluhan penonton, termasuk saya, harus rela tidak mendapatkan tempat duduk. tangga di lorong tempat jalan para penonton, menjadi pilihan terbaik saya dan beberapa kawan  jurnalis. 

Saya tiba di lantai dua Manado Town Square (Mantos) ketika melihat ada sejumlah Polisi Pamong Praja berjaga-jaga di kawasan itu. Saya tak yakin kalau ada penertiban pedagang. Saya mendekat, ternyata sejumlah pejabat sedang ngobrol di salah satu sudut kawasan perbelanjaan dan hiburan itu. Hari itu, Kamis 07 Juni 2012. Gubernur Sulut, SH Sarundang, Wagub Djauhari Kansil, serta puluhan pejabat di daerah Sulawesi Utara juga ingin menyaksikan penayangan perdana film “Soegija” karya sutradara Garin Nugroho.
Diantara sekian banyak warga yang akan datang menonton, saya lihat ada Uskup Manado Mgr Josep Suwatan di tengah kerumunan pengunjung. Bersama beberapa rekan jurnalis, kami mewawancarai Suwatan. “Soegija itu kecil, tapi cekatan. Saya mengenal sosok beliau sebagai tokoh nasionalis, pejuang kemerdekaan,” ujar Suwatan.
Jam sudah menunjukan Pukul 16.30 WITA, saat penonton berdesak-desakan memasuki ruangan teater 1. Puluhan pemuda dengan pakaian hijau-hijau berdiri di bagian depan ruangan, tepat di bawah layar. Mereka dari Geralan Pemuda Ansor Sulawesi Utara, dibawah pimpinan Benny Ramdhani. “Yang sisi kiri untuk rekan-rekan wartawan. Yang tengah untuk para pejabat, juga yang sisi kanan,” ujar Benny mengatur tempat duduk. Meski sudah coba untuk diatur, namun nyatanya membludaknya penonton membuat sebagian besar tidak mendapatkan tempat duduk. Saya bersama sejumlah jurnalis termasuk diantara penonton yang tidak kebagian tempat duduk.
Benny lantas berbicara dengan pengeras suara.  Lugas, vokal. Maklum, dia seorang politisi PDIP. Semoga saja acara nonton bareng yang disponsori oleh GP Ansor ini tidak ada nuansa politisnya. Apalagi aspek komersilnya. Saya jadi teringat, beberapa menit sebelum acara nonton bareng dimulai, seorang rekan wartawan mengungkapkan kekesalannya ketika ada media lain yang  juga menggelar nonton bareng film Soegija. Ceritanya, media tempat rekan tadi bekerja menggandeng GP Ansor untuk menggelar nonton bareng di Pukul 16.30 WITA. Sedangkan media yang lain menggandeng Pemuda Katolik untuk acara nonton barena g film yang sama, di bioskop yang sama di Pukul 18.00 WITA. Mendengar informasi itu, saya menelpon Ketua Pemuda Katolik Komda Sulut dan menyatakan ketidaksetujuan saya jika organisasi Pemuda Katolik berada di wilayah “sengketa bisnis media” dengan label nonton bareng ini. Apalagi film yang ditonton ini Soegija. “Nanti pesan yang disampaikan Soegija malah terdistorsi dengan persaingan bisnis di balik acara nonton bareng ini,” gumam saya.
Setelah Benny bicara, giliran Suwatan menyampaikan pandangan dan penilaiannya tentang Soegija. Tak jauh beda dengan apa yang dikatakan saat kami mewawancarainya beberapa menit silam. Selanjutnya Gubernur Sulut diberikan kesempatan untuk memberikan sambutan.
Lampu dipadamkan. Filmpun dimulai.    
Film ini diproduksi dengan format film perjuangan yang mengambil cerita dari catatan harian tokoh Pahlawan Nasional Mgr. Soegijapranata, SJ dengan mengambil latar belakang Perang Kemerdekaan Indonesia dan pendirian Republik Indonesia Serikat pada periode tahun 1947 – 1949. Film ini disutradarai oleh sutradara kawakan Garin Nugroho dengan mengambil latar daerah Yogyakarta dan Semarang. Film ini juga menampilkan tokoh-tokoh nasional Indonesia lain, seperti Soekarno, Fatmawati, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Sri Paku Alam VIII, Jenderal Soedirman, Soeharto, dll. Untuk bisa menggambarkan pengalaman Soegija, film ini banyak menampilkan tokoh-tokoh nyata tapi difiksikan baik dari Indonesia, Jepang, Belanda, sipil maupun militer dalam peristiwa-peristiwa keseharian yang direkonstruksi dengan cukup detil. Para pemerannya pun akor dan aktris ternama seperti  Butet Kartaredjasa, Hengky Solaiman , Nirwan Dewanto, Annisa Hertami, Wouter Zweers, Wouter Braaf, Nobuyuki Suzuki, Olga Lydia, Margono, Butet Kartaredjasa, Hengky Solaiman, Andrea Reva, Rukman Rosadi, Eko Balung, Andriano Fidelis.  
Sambil menyaksikan flm ini, sesekali saya melirik jam di Ponsel. Deadline hampir di depan mata.  Lebih dari satu setengah penanyangan, sejumlah Sat Pol PP  tergesa-gesa meninggalkan ruangan teater. Ternyata Gubernur lebih dulu keluar sebelum film pun berakhir. Para pejabat satu per satu meninggalkan ruangan. “Hmmm, ternyata para pejabat ini nonton Soegija karena ingin dilihat gubernur yah. Menunjukkan loyalitas, atau cari muka nih.,” gumam saya.
Yah, gak masalah para pejabat itu keluar ruangan. Paling tidak, saya dan kawan-kawan wartawan serta pengunjung lainnya yang tidak kebagian tempat duduk, sekarang bisa merasakan empuknya kursi yang ditinggalkan para pejabat tadi. Beberapa menit kemudian film berakhir. Para pengunjungpun berdesak-desakan keluar ruangan. Di luar pintu teater 1, penontonpun sudah antri untuk masuk. Juga berdesak-desakan. Saya lihat ada beberapa rohaniwan katolik juga ikut antri. Para suster dari tarekat JMJ. Tiga orang pemuda dengan menggunakan baret merah marun menyapa saya sambil mengulurkan tangan. Mereka dari PMKRI Manado. “Pake baret kwa, pigi bademo, bukan nonton film,” ujar saya spontan pada mereka. Saya sedikit kesal karena mereka nonton film Soegija dengan membawa-bawa atribut organisasi, padahal Soegija sendiri menitipkan pesan tentang nilai dan nasionalisme lebih penting dari sekadar atribut kelompok.  
Sayapun meninggalkan kawasan Mantos, kembali ke kantor untuk mengejar deadline.(***)     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar