KESANNYA
memang
tidak formal. Sekadar ngobrol sambil ngopi. Tempatnya pun lebih santai. Cafe
Lecci. Jalan Sam Ratulangi Nomor 178 Manado. Terletak di salah satu ruas jalan
utama di ibukota Propinsi Sulut. Belasan jurnalis berkumpul. Banyak diantara
mereka merokok. Sesekali bercanda. Dalam suasana yang rileks itu, AJI Manado
sebenarnya membahas hal yang penting
tentang kekerasan dan perlindungan terhadap wartawan. Demikian tema sentral
obrolan pada pagi itu, Senin 04 Juni 2012.
Pukul 09.55 WITA, saya tiba di cafe itu. Masih sepi.
Banyak meja dan kursi yang belum ditempati. Di salah satu sisi cafe itu, ada tiga
orang duduk di sana. “Ketua, ini dari Dispen Lantamal,” ujar Budi Susilo,
Koordinator Divisi Advokasi AJI Manado. “Saya Yoseph,” ujar saya menyambut
uluran tangan seorang pria dengan tubuh sedang. Dia mengenakan kemeja lengan
panjang warna biru muda dipadu celana panjang kain warna biru tua. Bordiran dengan
warna biru di kemeja pria tersebut bertuliskan, DISPEN LANTAMAL. Dia duduk berhadapan dengan saya. Budi
di sisi kanan, Aldrin Salendu anggota Divisi Perempuan AJI Manado di sisi kiri.
Berempat kami duduk sambil menunggu kawan-kawan jurnalis, serta pembicara yang
diundang. Tak lama berselang, Ishak Kusrant, Sekretaris AJI Manado bergabung
bersama kami. Satu per satu peserta obrolan pagi berdatangan. Ishak dan Aldrin
dengan cekatan menata kursi dan meja yang akan dipakai untuk acara itu. Tak lupa
memasang panji AJI di bagian depan ruangan itu. Budi dan Dispen Lantamal itu
ngobrol. Saya masih sibuk membuka laptop untuk menyiapkan materi yang bakal
didiskusikan. “Kalau saya tak punya kapasitas untuk bicara tentang kekerasan di
Padang itu. Kan lain wilayah. Lagipula yang bicara itu harus komandan,” ujar
pria dari Dispen tadi. “Nah ini ada telpon dari Lantamal,” ujar dia sambil
menyerahkan ponselnya pada Budi. Saya tidak tahu pasti siapa yang dimaksud. Tak
lama berselang, Budi kembali bergabung. “Dia tidak bisa bergabung, karena ada
acara,” ujar Budi. “Yah, kita di sini juga kan aman-aman,” ujar Dispen
Lantamal. Saya mengalihkan perhatian dari laptop ke pembicaraan antara Budi dan
pria tadi. “Yah..memang sampai saat ini situasi masih aman-aman. Namun bukan
tidak mungkin, apa yang dialami oleh kawan-kawan jurnalis di Padang juga di
daerah lain, bisa menimpa kami di Manado. Khususnya kekerasan yang dilakukan
pihak aparat keamanan,” ujar saya. “Nah acara obrolan pagi ini sasarannya ingin
menyampaikan pesan dan harapan agar hal itu tidak terjadi,” sambung saya.
Pria dari Dispen tadi sejenak terdiam. “Kalau begitu
saya hadir saja, tapi tidak bisa bicara atas nama Lantamal,” ujar dia kemudian.
Budi dan Ishak sibuk menelpon. Sementara sudah
belasan jurnalis berkumpul. Pesanan kopi, juice, serta makanan ringan mulai
dinikmati kawan-kawan wartawan. “Nih, pembicaranya dari akademisi Unsrat sudah
datang,” ujar Budi. Pembicara yang dimaksud adalah Mahyudin Damis, dosen Fisip
Unsrat. Mahyudin selanjutnya mengambil
tempat di bagian depan. “Mexi juga sudah menuju ke sini. Sudah masuk Tateli. Dia tadi dari Tanawangko,” ujar Ishak
yang rupanya sejak tadi berkomunikasi salah satu pembicara yag bakal dihadirkan
dalam obrolan pagi itu. “Torang mulai jo. Sambil jalan, sambil tunggu yang
lain,” ujar saya.
Ishak segera berindak sebagai MC. “Selamat datang
kawan-kawan jurnalis, juga dari Dispen Lantamal, dan akademisi Unsrat. Obrolan pagi
ini akan dipandu Saudara Budi,” ujar Ishak.
Budi mempersilahkan saya dan Mahyudin tampil ke
depan. Dispen Lantamal yang duduk tak jauh dari kami, diberikan kesempatan
untuk bicara. “Kami sebagai pendengar saja. Nanti kita diskusi lagi di
Lantamal. tinggal diatur waktunya,” ujarnya.
Para jurnalis memilih meja masing-masing sambil
menikmasi hidangan yang ada. Mahyudin memberikan pemaparan lebih dulu. Dia mengatakan,
kekerasan yang terjadi pada wartawan juga dipicu oleh ulah oknum-oknum yang
selama ini mengaku sebagai wartawan yang tindak-tanduknya meresahkan
masyarakat. Akibat ulah mereka, lanjut Mahyudin, dampaknya diterima oleh
kawan-kawan yang memang berprofesi sebagai wartawan. “Tindakan kekerasan ini
bisa jadi merupakan akumulasi dari ulah oknum tertentu yang mengaku wartawan
yang selama ini meresahkan masyarakat. Untuk itu wartawan perlu untuk
meningkatkan profesionalisme dan etika dalam menjalankan tugas-tugas
jurnalistik,” papar Mahyudin.
Obrolan mulai memanas. “Berikutnya kami persilahkan
Ketua AJI Manado, Bung Yoseph Ikanubun,” ujar Budi. Dalam kesempatan itu, saya menegaskan kembali,
pentingnya jurnalis menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dalam menjalankan
tugas-tugasnya. “Kode etik ini sebagai perisai yang melindungi kerja jurnalis,
sehingga patut dijunjung tinggi. Jika toh masih ada pengaduan dari pihak
tertentu terkait produk jurnalistik, silahkan menempuh mekanisme sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 40. Meski UU Pers ini masih memiliki kekurangan, namun
cantolan hukum ini harus digunakan sebagai acuan dalam setiap sengketa yang
melibatkan jurnalis,” ujar saya.
Budi lantas memberikan kesempatan kepada sejumlah
jurnalis untuk menanggapinya. Ada Fendy (MNC Grup), Irzal (TVOne), Santos
(Tribun Manado), Novi (Cybersulut.com), Icad (Beritamanado.com), dan beberapa
kawan lainnya memberikan tanggapan. Rata-rata mereka bicara tentang pengalaman
dalam liputan sehari-hari, termasuk potensi kekerasan yang bisa menimpa
jurnalis. “Ok, sebelum ditanggapi oleh pembicara..selamat datang untuk Bung
Maximus Watung SH. Praktisi hukum yang akan melihat sejauh mana ketentuan
perundang-undangan ini melindungi wartawan dari tindak kekerasan,” ujar Budi.
Maximus ini sudah lama saya kenal. Sama-sama aktivis
PMKRI, meski kami beda angkatan atau generasi. Dia mantan Ketua PMKRI Manado,
saya juga mantan Ketua PMKRI Tondano. Terpaut sekitar 2-3 tahun di mana saya
lebih dulu memegang jabatan sebagai Ketua di tahun 2002-2004. Saya ingat di
tahun 2005, kita bersama-sama dengan beberapa DPC PMKRI di Sulut terlibat dalam
dinamika kepengurusan PMKRI Komda Sulut saat saya “dipaksakan” untuk memegang
kendali PMKRI Sulut dari tangan Eduard Mona.
Pagi itu Maximus datang ke acara obrolan didampingi
Kevrent, anggota baru AJI Manado. Pengacara muda ini langsung memaparkan
beberapa pemikirannya. “Ada persoalan dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang
Pers. Ini perlu direvisi, karena tidak secara tegas mengatur tentang
perlindungan terhadap wartawan,” ujar Watung.
Watung memaparkan, dalam Bab III Wartawan, Pasal 8
disebutkan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Selanjutnya dalam VIII Ketentuan Pidana Pasal 18 ayat (1) disebutkan orang yang
secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat
menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp 500 juta. “Persoalannya dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) berbicara
tentang pers nasional, dan bukan pribadi wartawan. Sehingga perlindungan terhadap
wartawan dalam UU Nonor 40 ini tidak tegas. Pasal 8 saya sebut sebagai pasal
banci,” tegas Watung.
Obrolan makin hangat ketika Budi mengingatkan bahwa
waktu sudah selesai. Ada beberapa kesimpulan yang ditarik Budi sebagai
moderator diantaranya perlu ada ketegasan dalam UU Pers terkait perlindungan
terhadap wartawan. Juga menolak segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Acara
foto bareng jadi sesi terakhir rangkaian kegiatan obrolan pagi itu. Beberapa saat
kemudian, satu per satu pamit. Ada yang liputan, ada juga urusan yang lain. Dua
pembicara pun mohon diri. “Nanti kita undang lagi dalam obrolan berikutnya,”
ujar saya yang diiyakan Mahyudin dan Maximus.
Suasana cafe yang sebelumnya ramai, kini kembali ke
suasana seperti biasanya. Beberapa pengunjung mulai berdatangan. Saya, Ishak, Budi,
dan Dispen Lantamal masih bercakap-cakap sejenak. Kita sepakat untuk kembali
melanjutkan obrolan pekan depan di Lantamal. “Yang lain kemana,” ujar saya pada
Ishak dan Budi. “Itu, pada liputan demo PMII terkait militerisme AS. Saya mau
ke sana,” ujar Budi. Jarum jam sudah menunjukan pukul 12.30 WITA. Kamipun meninggalkan
Cafe Lecci.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar