Rabu, 06 Juni 2012

Obrolan Pagi AJI Manado



KESANNYA memang tidak formal. Sekadar ngobrol sambil ngopi. Tempatnya pun lebih santai. Cafe Lecci. Jalan Sam Ratulangi Nomor 178 Manado. Terletak di salah satu ruas jalan utama di ibukota Propinsi Sulut. Belasan jurnalis berkumpul. Banyak diantara mereka merokok. Sesekali bercanda. Dalam suasana yang rileks itu, AJI Manado sebenarnya membahas hal yang penting  tentang kekerasan dan perlindungan terhadap wartawan. Demikian tema sentral obrolan pada pagi itu, Senin 04 Juni 2012.
Pukul 09.55 WITA, saya tiba di cafe itu. Masih sepi. Banyak meja dan kursi yang belum ditempati. Di salah satu sisi cafe itu, ada tiga orang duduk di sana. “Ketua, ini dari Dispen Lantamal,” ujar Budi Susilo, Koordinator Divisi Advokasi AJI Manado. “Saya Yoseph,” ujar saya menyambut uluran tangan seorang pria dengan tubuh sedang. Dia mengenakan kemeja lengan panjang warna biru muda dipadu celana panjang kain warna biru tua. Bordiran dengan warna biru di kemeja pria tersebut bertuliskan, DISPEN  LANTAMAL. Dia duduk berhadapan dengan saya. Budi di sisi kanan, Aldrin Salendu anggota Divisi Perempuan AJI Manado di sisi kiri. Berempat kami duduk sambil menunggu kawan-kawan jurnalis, serta pembicara yang diundang. Tak lama berselang, Ishak Kusrant, Sekretaris AJI Manado bergabung bersama kami. Satu per satu peserta obrolan pagi berdatangan. Ishak dan Aldrin dengan cekatan menata kursi dan meja yang akan dipakai untuk acara itu. Tak lupa memasang panji AJI di bagian depan ruangan itu. Budi dan Dispen Lantamal itu ngobrol. Saya masih sibuk membuka laptop untuk menyiapkan materi yang bakal didiskusikan. “Kalau saya tak punya kapasitas untuk bicara tentang kekerasan di Padang itu. Kan lain wilayah. Lagipula yang bicara itu harus komandan,” ujar pria dari Dispen tadi. “Nah ini ada telpon dari Lantamal,” ujar dia sambil menyerahkan ponselnya pada Budi. Saya tidak tahu pasti siapa yang dimaksud. Tak lama berselang, Budi kembali bergabung. “Dia tidak bisa bergabung, karena ada acara,” ujar Budi. “Yah, kita di sini juga kan aman-aman,” ujar Dispen Lantamal. Saya mengalihkan perhatian dari laptop ke pembicaraan antara Budi dan pria tadi. “Yah..memang sampai saat ini situasi masih aman-aman. Namun bukan tidak mungkin, apa yang dialami oleh kawan-kawan jurnalis di Padang juga di daerah lain, bisa menimpa kami di Manado. Khususnya kekerasan yang dilakukan pihak aparat keamanan,” ujar saya. “Nah acara obrolan pagi ini sasarannya ingin menyampaikan pesan dan harapan agar hal itu tidak terjadi,” sambung saya.
Pria dari Dispen tadi sejenak terdiam. “Kalau begitu saya hadir saja, tapi tidak bisa bicara atas nama Lantamal,” ujar dia kemudian.
Budi dan Ishak sibuk menelpon. Sementara sudah belasan jurnalis berkumpul. Pesanan kopi, juice, serta makanan ringan mulai dinikmati kawan-kawan wartawan. “Nih, pembicaranya dari akademisi Unsrat sudah datang,” ujar Budi. Pembicara yang dimaksud adalah Mahyudin Damis, dosen Fisip Unsrat.  Mahyudin selanjutnya mengambil tempat di bagian depan. “Mexi juga sudah menuju ke sini. Sudah masuk  Tateli. Dia tadi dari Tanawangko,” ujar Ishak yang rupanya sejak tadi berkomunikasi salah satu pembicara yag bakal dihadirkan dalam obrolan pagi itu. “Torang mulai jo. Sambil jalan, sambil tunggu yang lain,” ujar saya.
Ishak segera berindak sebagai MC. “Selamat datang kawan-kawan jurnalis, juga dari Dispen Lantamal, dan akademisi Unsrat. Obrolan pagi ini akan dipandu Saudara Budi,” ujar Ishak.
Budi mempersilahkan saya dan Mahyudin tampil ke depan. Dispen Lantamal yang duduk tak jauh dari kami, diberikan kesempatan untuk bicara. “Kami sebagai pendengar saja. Nanti kita diskusi lagi di Lantamal. tinggal diatur waktunya,” ujarnya.
Para jurnalis memilih meja masing-masing sambil menikmasi hidangan yang ada. Mahyudin memberikan pemaparan lebih dulu. Dia mengatakan, kekerasan yang terjadi pada wartawan juga dipicu oleh ulah oknum-oknum yang selama ini mengaku sebagai wartawan yang tindak-tanduknya meresahkan masyarakat. Akibat ulah mereka, lanjut Mahyudin, dampaknya diterima oleh kawan-kawan yang memang berprofesi sebagai wartawan. “Tindakan kekerasan ini bisa jadi merupakan akumulasi dari ulah oknum tertentu yang mengaku wartawan yang selama ini meresahkan masyarakat. Untuk itu wartawan perlu untuk meningkatkan profesionalisme dan etika dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik,” papar Mahyudin.
Obrolan mulai memanas. “Berikutnya kami persilahkan Ketua AJI Manado, Bung Yoseph Ikanubun,” ujar Budi.  Dalam kesempatan itu, saya menegaskan kembali, pentingnya jurnalis menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dalam menjalankan tugas-tugasnya. “Kode etik ini sebagai perisai yang melindungi kerja jurnalis, sehingga patut dijunjung tinggi. Jika toh masih ada pengaduan dari pihak tertentu terkait produk jurnalistik, silahkan menempuh mekanisme sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40. Meski UU Pers ini masih memiliki kekurangan, namun cantolan hukum ini harus digunakan sebagai acuan dalam setiap sengketa yang melibatkan jurnalis,” ujar saya.
Budi lantas memberikan kesempatan kepada sejumlah jurnalis untuk menanggapinya. Ada Fendy (MNC Grup), Irzal (TVOne), Santos (Tribun Manado), Novi (Cybersulut.com), Icad (Beritamanado.com), dan beberapa kawan lainnya memberikan tanggapan. Rata-rata mereka bicara tentang pengalaman dalam liputan sehari-hari, termasuk potensi kekerasan yang bisa menimpa jurnalis. “Ok, sebelum ditanggapi oleh pembicara..selamat datang untuk Bung Maximus Watung SH. Praktisi hukum yang akan melihat sejauh mana ketentuan perundang-undangan ini melindungi wartawan dari tindak kekerasan,” ujar Budi.
Maximus ini sudah lama saya kenal. Sama-sama aktivis PMKRI, meski kami beda angkatan atau generasi. Dia mantan Ketua PMKRI Manado, saya juga mantan Ketua PMKRI Tondano. Terpaut sekitar 2-3 tahun di mana saya lebih dulu memegang jabatan sebagai Ketua di tahun 2002-2004. Saya ingat di tahun 2005, kita bersama-sama dengan beberapa DPC PMKRI di Sulut terlibat dalam dinamika kepengurusan PMKRI Komda Sulut saat saya “dipaksakan” untuk memegang kendali PMKRI Sulut dari tangan Eduard Mona.  
Pagi itu Maximus datang ke acara obrolan didampingi Kevrent, anggota baru AJI Manado. Pengacara muda ini langsung memaparkan beberapa pemikirannya. “Ada persoalan dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Ini perlu direvisi, karena tidak secara tegas mengatur tentang perlindungan terhadap wartawan,” ujar Watung.
Watung memaparkan, dalam Bab III Wartawan, Pasal 8 disebutkan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Selanjutnya dalam VIII Ketentuan Pidana Pasal 18 ayat (1) disebutkan orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. “Persoalannya dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) berbicara tentang pers nasional, dan bukan pribadi wartawan. Sehingga perlindungan terhadap wartawan dalam UU Nonor 40 ini tidak tegas. Pasal 8 saya sebut sebagai pasal banci,” tegas Watung.
Obrolan makin hangat ketika Budi mengingatkan bahwa waktu sudah selesai. Ada beberapa kesimpulan yang ditarik Budi sebagai moderator diantaranya perlu ada ketegasan dalam UU Pers terkait perlindungan terhadap wartawan. Juga menolak segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Acara foto bareng jadi sesi terakhir rangkaian kegiatan obrolan pagi itu. Beberapa saat kemudian, satu per satu pamit. Ada yang liputan, ada juga urusan yang lain. Dua pembicara pun mohon diri. “Nanti kita undang lagi dalam obrolan berikutnya,” ujar saya yang diiyakan Mahyudin dan Maximus.
Suasana cafe yang sebelumnya ramai, kini kembali ke suasana seperti biasanya. Beberapa pengunjung mulai berdatangan. Saya, Ishak, Budi, dan Dispen Lantamal masih bercakap-cakap sejenak. Kita sepakat untuk kembali melanjutkan obrolan pekan depan di Lantamal. “Yang lain kemana,” ujar saya pada Ishak dan Budi. “Itu, pada liputan demo PMII terkait militerisme AS. Saya mau ke sana,” ujar Budi. Jarum jam sudah menunjukan pukul 12.30 WITA. Kamipun meninggalkan Cafe Lecci.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar