Pengurus AJI Manado foto bersama Danlantamal VIII Manado
KASUS
kekerasan
terhadap sejumlah jurnalis yang dilakukan beberapa anggota marinir di Padang
mengundang reaksi solidaritas dari kalangan wartawan di berbagai daerah,
sekaligus mengecam tindakan tentara. Dari Manado, setelah Senin 04 Juni
menggelar obrolan pagi dengan sejumlah kalangan yang membahas kasus itu, Rabu
13 Juni 2012 AJI Manado “menyantroni” Markas Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut
(Lantamal) VIII Manado untuk dialog tentang hal yang sama.
Mobil yang dikemudikan Sekretaris AJI Manado, Ishak
Kusrant perlahan memasuki halaman Markas Lantamal VIII. Kami berempat di dalam
mobil itu. Selain Ishak dan saya, juga ada Koordinator Divisi Penguatan
Organisasi AJI Manado, Muhamad Irzal dan
Bendahara AJI Manado, Yintzhe Lynvia Gunde.
Jam menunjukan Pukul 10.50 WITA. Penjaga markas memberi kode agar kita
melapor ke pos penjagaan. “Dari AJI Manado Pak,” ujar saya setelah tiba di pos
itu. Ada tiga orang anggota marinir di sana. Mereka meminta kartu identitas.
Saya menyerahkan kartu Anggota AJI, kembali ke dalam mobil.
Tiba di parkiran, Budi Susilo, Koordinator Divisi
Advokasi AJI Manado, sudah menunggu. Berempat kami turun dari mobil, disambut
seorang marinir berpangkat Kapten. “Saya Agun, biasa disapa Gunawan. Pjs
Kadispen Lantamal VIII,” ujar marinir tadi dengan ramah. “Saya yang selalu
menghubungi Abang. Ini abang Yoseph kan,” ujar dia sambil mengulurkan
tangannya. “Ya benar,” balas saya menyambut uluran tangannya.
Saya teringat, sejak Senin 11 Juni, Kapten Gunawan
ini saya catat lebih dari sepuluh kali menghubungi saya. Hal ini terjadi
menyusul surat resmi AJI Manado ke Danlantamal VIII yang isinya menyiapkan
waktu untuk dialog bersama terkait kasus kekerasan terhadap jurnalis seperti
yang terjadi di Padang, dan juga beberapa daerah di Indonesia. Pagi itu saya
menerima telepon dari seorang wanita yang mengaku staf administrasi Markas Lantamal VIII. Intinya,
pihak Lantamal menyanggupi untuk berdialog dengan AJI Manado pada Rabu 13 Juni
2012, Pukul 11.00 WITA. “Kira-kira berapa wartawan yang akan ikut dialog
pertemuan,” ujar dia. “Yah sekitar 20-30,” jawab saya. “Kalau gitu Pak, tolong
di faks nama-nama wartawan dan juga dari media mana,” lanjut dia. “Ok, segera
saya kirimkan nama-nama wartawan,” balas saya.
Sejak telepon pagi itu, Kapten Gunawan ini selalu
mengubungi saya. “Terlalu banyak kalau 30 wartawan bang. Komandan minta dua atau tiga orang saja. Kalau banyak nanti
persoalannya melebar,” ujar Gunawan. Di kesempatan yang lain, dia juga minta
untuk bisa rapat sama-sama dengan pengurus AJI untuk persiapan dialog nanti. “Nanti
pembahasannya jangan yang berat-berat yah, kita silaturahmi saja,” ujar Gunawan
di suatu ketika.
Rapat singkat beberapa pengurus inti AJI Manado pada
Senin 11 Juni akhirnya menyepakati lima orang untuk berdialog dengan pihak
Lantamal VIII. Jadilah siang itu berlima kami “menyantroni” Markas Lantamal.
Oleh Kapten Gunawan kami dibawa masuk pintu utama.
Di sana sudah menyambut Kolonel Laut Joko Indro, yang memperkenalkan diri
sebagai Asisten Intel Lantamal. Setelah saya mengisi buku tamu, kami pun
dipersilahkan masuk ke ruangan rapat. Di dalam sana sudah ada seorang Kapten
yang menjabat sebagai Kadiskum. Beberapa saat kemudian masuk lagi seorang
marinir berpangkat kolonel. Namanya I Ketut Suarya. Ternyata dia Wakil
Danlantamal VIII Manado. Kami pun ngobrol sejenak sambil menunggu kedatangan
Danlantamal. “Maaf Pak, minum teh atau
kopi,” ujar seorang marinir cantik berpangkat sersan satu sambil menawarkan
minuman. “Saya teh saja,” ujar saya.
Beberapa saat kemudian, Danlantamal VIII Manado,
Laksamana Pertama Guguk Handayani masuk ke ruangan. Setelah memperkenalkan
diri, Guguk lantas mengatakan, apa yang bisa dibahas sekaligus maksud
kedatangan kawan-kawan jurnalis. Budi bertindak sebagai “moderator”,
mengarahkan sekaligus mengatur ritme pembicaraan siang itu. Di samping Budi,
ada Irzal, yang juga beberapa kali ikut menambahkan dan menegaskan maksud
dialog sekaligus “pesan” yang ingin disampaikan AJI Manado.
Saya bersama Yinthze dan Ishak yang duduk di deretan
kursi yang agak jauh dari posisi Danlantamal, untuk sementara mencermati apa
yang disampaikan Budi dan Irzal. Setelah mendengar dengan seksama apa yang
disampaikan keduanya, Guguk lantas menanggapinya. “Kita (tentara, red) harus
dekat dengan jurnalis. Supaya informasi bisa sampai ke masyarakat. Jika ada
kekerasan terhadap jurnalis, itu oknum. Yang pasti tentara dan jurnalis itu
bermitra,” ujar Guguk.
Guguk mengatakan, jika di daerah lain terjadi
kekerasan oleh aparat terhadap jurnalis itu merupakan ulah oknum tertentu dan
tidak bisa disimpulkan bahwa tentara itu bermusuhan dengan wartawan. “Itu
kejadian di daerah lain, konteksnya berbeda dan dilakukan oleh oknum. Yang
pasti di Manado ini dalam keadaan kondusif,” tandas dia lagi.
Dialog terus mengalir. Meski dalam situasi yang
cukup rileks, namun pernyataan-pernyataan yang disampaikan Budi, Irzal dan
Ishak, cukup memberikan warning agar ada semacam komitmen dari Lantamal VIII
untuk tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya.
Saya memberikan isyarat kepada Ishak untuk
menyerahkan beberapa lembar kertas yang berisi perjuangan AJI serta komposisi
pengurus AJI Manado, termasuk beberapa sikap organisasi terhadap kekerasan pada
jurnalis. Ishak pun memberikan kepada Guguk.
Saya terdiam. Sejenak teringat maraknya kasus
kekerasan yang dialami oleh para jurnalis di Indonesia yang terjadi dalam pekan-pekan
terakhir seperti yang diposting dalam milis ajisaja. Beberapa hari terakhir
memang saya coba berefleksi, apa yang salah dengan kerja jurnalis sampai
mendapat tindakan kekerasan. Apakah dalam menjalankan tugasnya, para jurnalis ini sudah mematuhi kode etik? Dalam obrolan pagi pekan sebelumnya, sosiolog
dari Unsrat Manado, Mahyudin Damis
sempat mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis salah satu penyebabnya
adalah ulah para “wartawan bodrex” yang sudah sangat meresahkan, sehingga
imbasnya diterima oleh para jurnalis. Hasil permenungan ini membuat saya ingin
menggali seperti apa “image” wartawan di mata tentara. Saya rasa ini sebuah
upaya bagi kalangan jurnalis untuk “berkaca” tentang dirinya sendiri.
“Apa yang
diharapkan dari para jurnalis, dan factor apa saja dalam kacamata tentara yang
bisa menimbulkan insiden atau konflik di lapangan,” ujar saya.
Guguk, lulusan AKABRI tahun 1983 ini mengatakan,
bahasa dalam sebuah berita yang ditulis kalangan jurnalis seringkali bisa
menimbulkan keresahan di masyarakat. “Contohnya waktu peristiwa di Gorontalo,
ada berita yang diberi judul Tentara dan Polisi Perang. Hal ini tentu bisa
menimbulkan keresahan di masyarakat,” papar mantan Asisten Deputi 5-IV Bidang
Koodinasi Kekuatan Kemampuan dan Kerjasama Menkopolhukam yang menjabat
Danlantamal VIII Manado sejak 28 Februari 2012 ini.
Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah lebih dari
satu jam dialog itu berjalan. “Seribu teman itu sedikit. Satu musuh itu terlalu
banyak. Tidak ada upaya tentara untuk bermusuhan dengan wartawan. Kita ini
berteman, yang bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing,” ujar Guguk.
Ajudan datang melapor. “Masuk saja,” ujar Guguk. Tak
lama kemudian seorang perwira bintang satu dari TNI AU masuk ke ruangan.
Rupanya dia satu angkatan di AKABRI dengan Guguk. Pembicaraan kembali
dilanjutkan hingga lewat tengah hari.
Setelah merasa semua pesan telah disampaikan, Budi
kembali mengambil kendali dialog, untuk kemudian menutup pertemuan di siang
itu. Setelah mengambil dokumentasi, berlima kami meninggalkan ruang pertemuan
itu. “Ayo ikut saya dulu,” ujar Joko
Indro kepada Irzal. “Semua pak, atau Cuma saya,” tanya Irzal. “Semua saja.
Kalian tidak buru-buru kan,” ujar Joko.
Kami dengan sedikit ragu naik ke lantai dua, menuju
ruangan intel. “Ini kalau jaman orde baru, proses interogasi dan pelucutan
namanya,” celutuk saya. Lebih dari setengah jam di dalam ruangan itu, berlima
kami lebih banyak mendengar apa yang disampaikan Joko. Setelah keluar, kami
saling bertanya. “Maksudnya apa yah. Mungkin dia mau prospek saham yah,” ujar
Yintzhe.
Hmm kami juga tidak bisa menyimpulkan maksud apa
dipanggil Asintel Danlantamal, yang ketika itu banyak bicara soal perekonomian
yang mempengaruhi ketahanan bangsa Indonesia.
Kami berjalan menuju halaman parkir ditemani Kapten
Gunawan. Saya kembali menuju pos penjagaan. Mengambil kartu anggota AJI. Masuk
ke dalam mobil. Ishak siap di belakang stir. Yintzhe di sampingnya. Saya dan
Irzal di bagian tengah. Budi segera menunggangi motornya. Jarum jam menunjukan
Pukul 13.25 WITA. Kamipun meninggalkan Markas Lantamal VIII Manado.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar