Rabu, 20 Juni 2012

AJI Manado “Santroni” Markas Lantamal


    Pengurus  AJI Manado foto bersama Danlantamal VIII Manado

KASUS kekerasan terhadap sejumlah jurnalis yang dilakukan beberapa anggota marinir di Padang mengundang reaksi solidaritas dari kalangan wartawan di berbagai daerah, sekaligus mengecam tindakan tentara. Dari Manado, setelah Senin 04 Juni menggelar obrolan pagi dengan sejumlah kalangan yang membahas kasus itu, Rabu 13 Juni 2012 AJI Manado “menyantroni” Markas Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) VIII Manado untuk dialog tentang hal yang sama. 

Mobil yang dikemudikan Sekretaris AJI Manado, Ishak Kusrant perlahan memasuki halaman Markas Lantamal VIII. Kami berempat di dalam mobil itu. Selain Ishak dan saya, juga ada Koordinator Divisi Penguatan Organisasi AJI Manado, Muhamad  Irzal dan Bendahara AJI Manado, Yintzhe Lynvia Gunde.   Jam menunjukan Pukul 10.50 WITA. Penjaga markas memberi kode agar kita melapor ke pos penjagaan. “Dari AJI Manado Pak,” ujar saya setelah tiba di pos itu. Ada tiga orang anggota marinir di sana. Mereka meminta kartu identitas. Saya menyerahkan kartu Anggota AJI, kembali ke dalam mobil.
Tiba di parkiran, Budi Susilo, Koordinator Divisi Advokasi AJI Manado, sudah menunggu. Berempat kami turun dari mobil, disambut seorang marinir berpangkat Kapten. “Saya Agun, biasa disapa Gunawan. Pjs Kadispen Lantamal VIII,” ujar marinir tadi dengan ramah. “Saya yang selalu menghubungi Abang. Ini abang Yoseph kan,” ujar dia sambil mengulurkan tangannya. “Ya benar,” balas saya menyambut uluran tangannya.
Saya teringat, sejak Senin 11 Juni, Kapten Gunawan ini saya catat lebih dari sepuluh kali menghubungi saya. Hal ini terjadi menyusul surat resmi AJI Manado ke Danlantamal VIII yang isinya menyiapkan waktu untuk dialog bersama terkait kasus kekerasan terhadap jurnalis seperti yang terjadi di Padang, dan juga beberapa daerah di Indonesia. Pagi itu saya menerima telepon dari seorang wanita yang mengaku staf  administrasi Markas Lantamal VIII. Intinya, pihak Lantamal menyanggupi untuk berdialog dengan AJI Manado pada Rabu 13 Juni 2012, Pukul 11.00 WITA. “Kira-kira berapa wartawan yang akan ikut dialog pertemuan,” ujar dia. “Yah sekitar 20-30,” jawab saya. “Kalau gitu Pak, tolong di faks nama-nama wartawan dan juga dari media mana,” lanjut dia. “Ok, segera saya kirimkan nama-nama wartawan,” balas saya.
Sejak telepon pagi itu, Kapten Gunawan ini selalu mengubungi saya. “Terlalu banyak kalau 30 wartawan bang. Komandan minta  dua atau tiga orang saja. Kalau banyak nanti persoalannya melebar,” ujar Gunawan. Di kesempatan yang lain, dia juga minta untuk bisa rapat sama-sama dengan pengurus AJI untuk persiapan dialog nanti. “Nanti pembahasannya jangan yang berat-berat yah, kita silaturahmi saja,” ujar Gunawan di suatu ketika.    
Rapat singkat beberapa pengurus inti AJI Manado pada Senin 11 Juni akhirnya menyepakati lima orang untuk berdialog dengan pihak Lantamal VIII. Jadilah siang itu berlima kami “menyantroni” Markas Lantamal.
Oleh Kapten Gunawan kami dibawa masuk pintu utama. Di sana sudah menyambut Kolonel Laut Joko Indro, yang memperkenalkan diri sebagai Asisten Intel Lantamal. Setelah saya mengisi buku tamu, kami pun dipersilahkan masuk ke ruangan rapat. Di dalam sana sudah ada seorang Kapten yang menjabat sebagai Kadiskum. Beberapa saat kemudian masuk lagi seorang marinir berpangkat kolonel. Namanya I Ketut Suarya. Ternyata dia Wakil Danlantamal VIII Manado. Kami pun ngobrol sejenak sambil menunggu kedatangan Danlantamal. “Maaf  Pak, minum teh atau kopi,” ujar seorang marinir cantik berpangkat sersan satu sambil menawarkan minuman. “Saya teh saja,” ujar saya.    
Beberapa saat kemudian, Danlantamal VIII Manado, Laksamana Pertama Guguk Handayani masuk ke ruangan. Setelah memperkenalkan diri, Guguk lantas mengatakan, apa yang bisa dibahas sekaligus maksud kedatangan kawan-kawan jurnalis. Budi bertindak sebagai “moderator”, mengarahkan sekaligus mengatur ritme pembicaraan siang itu. Di samping Budi, ada Irzal, yang juga beberapa kali ikut menambahkan dan menegaskan maksud dialog sekaligus “pesan” yang ingin disampaikan AJI Manado.
Saya bersama Yinthze dan Ishak yang duduk di deretan kursi yang agak jauh dari posisi Danlantamal, untuk sementara mencermati apa yang disampaikan Budi dan Irzal. Setelah mendengar dengan seksama apa yang disampaikan keduanya, Guguk lantas menanggapinya. “Kita (tentara, red) harus dekat dengan jurnalis. Supaya informasi bisa sampai ke masyarakat. Jika ada kekerasan terhadap jurnalis, itu oknum. Yang pasti tentara dan jurnalis itu bermitra,” ujar Guguk.    
Guguk mengatakan, jika di daerah lain terjadi kekerasan oleh aparat terhadap jurnalis itu merupakan ulah oknum tertentu dan tidak bisa disimpulkan bahwa tentara itu bermusuhan dengan wartawan. “Itu kejadian di daerah lain, konteksnya berbeda dan dilakukan oleh oknum. Yang pasti di Manado ini dalam keadaan kondusif,” tandas dia lagi.
Dialog terus mengalir. Meski dalam situasi yang cukup rileks, namun pernyataan-pernyataan yang disampaikan Budi, Irzal dan Ishak, cukup memberikan warning agar ada semacam komitmen dari Lantamal VIII untuk tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya.
Saya memberikan isyarat kepada Ishak untuk menyerahkan beberapa lembar kertas yang berisi perjuangan AJI serta komposisi pengurus AJI Manado, termasuk beberapa sikap organisasi terhadap kekerasan pada jurnalis. Ishak pun memberikan kepada Guguk.  
Saya terdiam. Sejenak teringat maraknya kasus kekerasan yang dialami oleh para jurnalis di Indonesia yang terjadi dalam pekan-pekan terakhir seperti yang diposting dalam milis ajisaja. Beberapa hari terakhir memang saya coba berefleksi, apa yang salah dengan kerja jurnalis sampai mendapat tindakan kekerasan. Apakah dalam menjalankan tugasnya, para  jurnalis ini sudah mematuhi kode etik?  Dalam obrolan pagi pekan sebelumnya, sosiolog dari Unsrat Manado,  Mahyudin Damis sempat mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis salah satu penyebabnya adalah ulah para “wartawan bodrex” yang sudah sangat meresahkan, sehingga imbasnya diterima oleh para  jurnalis.  Hasil permenungan ini membuat saya ingin menggali seperti apa “image” wartawan di mata tentara. Saya rasa ini sebuah upaya bagi kalangan jurnalis untuk “berkaca” tentang dirinya sendiri.
 “Apa yang diharapkan dari para jurnalis, dan factor apa saja dalam kacamata tentara yang bisa menimbulkan insiden atau konflik di lapangan,” ujar saya.  
Guguk, lulusan AKABRI tahun 1983 ini mengatakan, bahasa dalam sebuah berita yang ditulis kalangan jurnalis seringkali bisa menimbulkan keresahan di masyarakat. “Contohnya waktu peristiwa di Gorontalo, ada berita yang diberi judul Tentara dan Polisi Perang. Hal ini tentu bisa menimbulkan keresahan di masyarakat,” papar mantan Asisten Deputi 5-IV Bidang Koodinasi Kekuatan Kemampuan dan Kerjasama Menkopolhukam yang menjabat Danlantamal VIII Manado sejak 28 Februari 2012 ini.
Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah lebih dari satu jam dialog itu berjalan. “Seribu teman itu sedikit. Satu musuh itu terlalu banyak. Tidak ada upaya tentara untuk bermusuhan dengan wartawan. Kita ini berteman, yang bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing,” ujar Guguk.
Ajudan datang melapor. “Masuk saja,” ujar Guguk. Tak lama kemudian seorang perwira bintang satu dari TNI AU masuk ke ruangan. Rupanya dia satu angkatan di AKABRI dengan Guguk. Pembicaraan kembali dilanjutkan hingga lewat tengah hari.
Setelah merasa semua pesan telah disampaikan, Budi kembali mengambil kendali dialog, untuk kemudian menutup pertemuan di siang itu. Setelah mengambil dokumentasi, berlima kami meninggalkan ruang pertemuan itu. “Ayo ikut saya dulu,” ujar  Joko Indro kepada Irzal. “Semua pak, atau Cuma saya,” tanya Irzal. “Semua saja. Kalian tidak buru-buru kan,” ujar Joko.
Kami dengan sedikit ragu naik ke lantai dua, menuju ruangan intel. “Ini kalau jaman orde baru, proses interogasi dan pelucutan namanya,” celutuk saya. Lebih dari setengah jam di dalam ruangan itu, berlima kami lebih banyak mendengar apa yang disampaikan Joko. Setelah keluar, kami saling bertanya. “Maksudnya apa yah. Mungkin dia mau prospek saham yah,” ujar Yintzhe.
Hmm kami juga tidak bisa menyimpulkan maksud apa dipanggil Asintel Danlantamal, yang ketika itu banyak bicara soal perekonomian yang mempengaruhi ketahanan bangsa Indonesia.
Kami berjalan menuju halaman parkir ditemani Kapten Gunawan. Saya kembali menuju pos penjagaan. Mengambil kartu anggota AJI. Masuk ke dalam mobil. Ishak siap di belakang stir. Yintzhe di sampingnya. Saya dan Irzal di bagian tengah. Budi segera menunggangi motornya. Jarum jam menunjukan Pukul 13.25 WITA. Kamipun meninggalkan Markas Lantamal VIII Manado.(***)      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar