SD Nasional Kahuku |
PULAU Bangka masuk dalam wilayah Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Suluwesi Utara. Pulau seluas 4 ribu hektar dan memiliki empat desa masing-masing Libas, Kahuku, Ehe, dan Lihunu ini belakangan jadi perhatian publik, saat PT Mikgro Metal Perdana (MMP) mulai beroperasi melakukan eksplorasi dan eksploitasi bijih besi.
Pro kontra, hingga konflik horisontal antara warga di dua dari empat desa
di pulau itu. Tak hanya sesama warga, kontak fisik dengan aparat kepolisian
juga terjadi. Darah penduduk membasahi pulau dengan pantai yang eksotis
itu. Selain kekerasan fisik, persoalan
psikologis juga dialami anak-anak di dua desa itu. Sejumlah siswa diduga
mengalami perlakukan diskriminatif dari pihak sekolah, karena konflik orang tua
mereka. Sekolah di luar pulau Bangka menjadi pilihan terbaik, ketika ancaman
putus sekolah di depan mata. Apalagi lima sekolah di desa itu bakal digusur
untuk dijadikan areal pertambangan.
Hari menjelang malam, Jumat 12 September 2014. Matahari sudah beberapa
menit lalu masuk ke peraduannya. Perahu motor “Imanuel” yang kami tumpangi
perlahan merapat ke sebuah dermaga. Setelah lebih dari satu jam melintasi
perairan di selat Bangka. Dari dalam perahu motor, kami bisa melihat dengan
jelas di atas dermaga sepanjang lebih kurang 30 meter itu.
Belasan warga asing berdiri di sana. Mata sipit, berkulit kuning langsat.
Beberapa anak terlihat bertegur sapa dengan mereka. Yang mencolok kemudian
adalah; seorang pria bertubuh kekar, mengenakan kaos tanpa lengan sehingga
memperlihatkan tato di lengannya.
Begitu mencolok karena laki-laki yang mengenakan sepatu kets itu memegang
senjata berlaras pendek. Dia tampak mengawal belasan warga asing itu saat akan
naik perahu dari dermaga itu. Saya hanya
diam. Begitu juga tiga kawan jurnalis yang lain. Kami tak saling bicara,
apalagi bertanya pada sesama penumpang di perahu itu. Mencoba mengindera
situasi yang terasa cukup membuat was-was.
Dari perbincangan beberapa warga yang masih berada dalam perahu itu
dermaga yang kami singgahi adalah Desa
Ehe, desa di mana mayoritas warganya selama ini mendukung beroperasinya
perusahaan tambang di Pulau Bangka.
Malam itu kami memilih untuk tinggal di Desa Kahuku, sekitar lima menit
naik perahu dari dermaga Desa Ehe. Warga di desa ini diketahui sering
berhadap-hadapan dengan aparat kepolisian, bahkan terlibat konflik dengan
penduduk Desa Ehe, karena menolak tambang.
Desa Kahuku memiliki 129 Kepala Keluarga. Di desa ini terdapat dua
Sekolah Dasar (SD) masing-masing SD Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)
Kahuku, dan SD Nasional Kahuku. Selain
itu ada juga satu Taman Kanak-kanak (TK) GMIM.
Vera Sambolowe, guru SD GMIM Kahuku saat ditemui di sekolah itu, Sabtu
(13/09) mengungkapkan, ada 56 anak yang bersekolah di situ. Mereka berasal dari
Desa Kahuku, maupun Desa Ehe. “Karena di
Desa Kahuku tak ada SMP, maka setelah lulus para siswa harus melanjutkan
sekolah ke SMP Nasional yang ada di Desa Ehe,” ujar Vera mewakili Kepala
Sekolah, Alfrest Togelang yang hari itu sedang berada di Likupang untuk
keperluan urusan dinas.
Hanya beberapa meter dari sekolah itu, terdapat SD Nasional Kahuku yang
dikelola yayasan keagamaan dari Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM).
Karlina Takasiliang menghentikan kegiatan mengajarnya untuk puluhan siswa, saat
melihat kami tiba di sekolah itu. Beberapa menit ke depan, Karlina terlihat
sedikit bingung antara melayani pertanyaan-pertanyaan kami atau mengurus anak
didiknya di dalam kelas. Untunglah bel tanda pulang sekolah dibunyikan. Hari
itu Karlina hanya sendirian berada di sekolah. Murid-muridnyapun digabung dalam
satu kelas. “Anak-anak tetap bersekolah seperti biasa. Meski memang kondisi desa kurang kondusif.
Jumlah murid sebanyak 54 orang. Berasal dari dua desa, Kahuku dan Ehe yang
perbandingannya hampir sama banyak,” ujar Karlina.
Tepat di belakang SD Nasional Kahuku ini, terdapat alat pengeboran milik
PT MMP.
Sama seperti tetangganya SD GMIM Kahuku, murid-murid di sekolah yang
dipimpin Jacob Tangkiang ini jika lulus nanti harus melanjutkan ke SMP Nasional
Ehe.
Nah, saat harus melanjutkan ke SMP
Nasional Ehe inilah, persoalan selanjutnya terjadi. Diduga ada perlakuan diskriminatif oleh
guru-guru SMP Nasional Ehe terhadap siswa dari SD Kahuku. Bahkan untuk
menghindari perbedaan perlakuan itu, sejumlah orang tua di Desa Kahuku terpaksa
menyekolahkan anaknya di daratan yakni di Likupang.
Kepala SD GMIM Kahuku, Alfrets Togelang saat dikonfirmasi mengaku, sejumlah
siswanya setelah lulus memang memilih untuk sekolah di luar Pulau Bangka.
“Orang tuua murid membuat pilihanj untuk menyekolahkan anak mereka di luar
Pulau Bangka,” ujar Togelang.
Hal senada disampaikan Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Kahuku, Piterson
Andaria. “Kalau untuk sekolah, dulu pernah ada intimidasi untuk anak-anak
Kahuku yang sekolah di SMP Nasional Ehe. Masalahnya sederhana, namanya juga
anak-anak. Ketika ada ramai, atau ribut-ribut mereka ingin cari tahu. Waktu ada
aksi penolakan alat pengeboran, beberapa anak pergi dan ikut menyaksikan.
Ternyata oleh guru, mereka dikenakan sangsi,” papar Andaria saat
berbincang-bincang di belakang rumahnya yang berada di pinggir pantai.
Lanjut Andaria selain sangsi yang diberikan oleh pihak sekolah, dalam
beberapa hal seperti pemberian beasiswa diduga juga terjadi diskriminasi
terhadap siswa dari Desa Kahuku. “Apa itu namanya, Bantuan Siswa Miskin atau
BSM. Anak-anak di sini tidak menerimanya. Ini perlakuan yang diskriminatif,”
ujar Andaria.
Setelah berjalan kaki selama lebih kurang setengah jam dari Desa Kahuku,
melewati pemukiman warga Desa Ehe yang menatap kami dengan penuh tanya, kamipun
tiba di sebuah sekolah yang berada dalam kondisi cukup memprihatinkan. Beberapa
ruangan tampak tidak terurus. Atap bocor. Dinding di salah satu ruangan sudah
terbelah. Sementara di ruangan sebelahnya, tampak puluhan siswa mengenakan
seragam Pramuka tengah beribadah. Itulah kondisi SMP Nasional Kahuku, yang
berada di Desa Ehe. “Ada perlu apa,” ujar seorang ibu guru sambil menghampiri
kami. “Oh iya, bisa tunggu sedikit.
Kepala sekolahnya ada di rumah. Nanti saya suruh beberapa siswa memanggil
kepala sekolah,” ujar guru itu.
Setelah menunggu hampir setengah jam, seorang lelaki dengan mengendarai
sepeda motor masuk ke halaman sekolah. Dia menghampiri kami. “Ini bapak kepala
SMP Nasional Kahuku,” ujar Martina Sikome, guru honorer di sekolah itu.
Kepala sekolah membawa kami masuk ke salah satu ruangannya. “Ini ruangan
kelas, merangkap perpusatakaan, merangkap Laboratorium IPA,” ujar Lansus
Ruitang, Kepala SMP Nasional Kahuku.
Sejumlah peralatan Lab IPA yang masih berada dalam beberapa dos tampak
berserakan di atas lantai sekolah yang mulai bocor. Perbincangan dengan Lansus
berlangsung cukup lama, dengan berbagai topik. Lansus ternyata tidak hanya
menjelaskan tentang persoalan pendidikan di sekolah itu, dan di dua desa yang
sementara bermasalah, melainkan juga menyentuh bidang lingkungan, hukum, sampai
pemerintahan. “Tidak ada diskriminasi atau perbedaan perlakuan pada siswa yang
berasal dari dua desa ini. Karena secara garis keturunan kami sebenarnya semua
bersaudara. Memang ada perbedaan pendapat, tapi kami cari solusi terbaik,” ujar
Lansus.
Meski demikian, menurut dia, konflik warga di dua desa itu memang membawa
dampak baik langsung maupun tidak langsung kepada siswa. “Situasi memang sangat
peka, sensitif. Karena memang ada gesekan antara orang tua yang menerima
tambang dan menolak tambang. Jika guru menegur atau memberi sangsi bagi siswa
yang kebetulan asal Desa Kahuku, maka kami dinilai pilih kasih. Padahal dalam
mendidik anak-anak, kami tidak pernah melihat latar belakang sikap orang tua
mereka terhadap persoalan tambang,” papar Lansus sekaligus membantah informasi
tentang pemberian BSM yang pilih kasih.
Dari kepala sekolah ini, kami mendapat banyak informasi diantaranya bakal
digusurnya sekolah-sekolah yang ada di dua desa itu, termasuk SMP Nasional
Kahuku. “Memang ada rencana untuk merelokasi sekolah-sekolah yang ada. Termasuk
SMPN Nasional. Kalau memang nantinya semua masyarakat ingin relokasi, berarti
desa ini (Ehe) akan pindah. Tentu sekolah ini juga akan ikut pindah,” jelas
kepala sekolah yang mengaku orang asli Pulau Bangka ini.
Terkait polemik pro dan kontra adanya pertambangan di Pulau Bangka,
menurut dia, pihaknya juga memberikan pemahaman kepada peserta didik. “Bahkan
saya jelaskan tentang putusan Mahkamah Agung, termasuk UU Lingkungan Hidup. Ini
agar ada pemahaman dari anak didik terkait persoalan yang ada di desa mereka.
Bahwa kehadiran pertambangan itu membawa dampak positip bagi masyarakat,” papar
Lansus yang kemudian terdiam sejenak saat ditanyakan bagaimana dengan dampak
kerusakan lingkungan yang bisa terjadi akibat kegiatan pertambangan.
Lanjut pria yang sudah 13 tahun mengabdi di sekolah yang berdiri sejak
tahun 1963 ini, jika memang nantinya harus dilakukan relokasi maka yang akan
dilakukan adalah rapat Dewan Guru, Yayasan, serta Komite Sekolah. “Jika
nantinya keputusan akhir kita harus menerima relokasi, maka gedung sekolah ini
akan digusur. Kita pindah ke lokasi yang baru, yang sudah disiapkan pihak
perusahaan,” ujar Lansus yang menurut informasi yang berkembang ia dalam
manajemen PT MMP.
Kami berjalan kaki dari kompleks SMP Nasional Kahuku di Desa Ehe, kembali
ke arah Desa Kahuku. Kami berhenti di sebuah rumah permanen, yang berada satu
halaman dengan sebuah bangunan yang sementara dibangun. Di dalam halaman itu,
tertera papan “Kantor Desa Ehe”. Dari
papan nama di rumah itu tertulis, Keluarga Sigandong-Bogar. Ini adalah rumah
dari Spener Sigandong, Hukum Tua Desa Ehe. Awalnya, situasi sangat kaku. Spener
bahkan enggan menjawab beberapa pertanyaan yang kami diajukan. Tak lama
kemudian datang seorang pria. Belakangan diketahui namanya Welly Takumansang,
dia Ketua Badan Perwakilan Desa Ehe.
Dari Spener kami mendapat informasi bahwa, 162 Kepala Keluarga (KK) di
desa itu sudah menyetujui kegiatan pertambangan. “95 persen bahkan sudah
menjual rumah dan tanahnya kepada perusahaan. Artinya jika nantinya semua sudah
terjual, desa ini akan direlokasi ke daerah Sipi. Dua sekolah yang ada juga
akan dipindahkan,” ujar Spener.
Meski bakal terjadi penggusuran sekolah, namun Spener memastikan semua
anak usia sekolah harus tetap sekolah. “Di Sipi juga sudah mulai dibangun
sekolah. Yang pasti anak-anak usia sekolah harus tetap sekolah,” ujar dia.
Terkait persoalan pendidikan khususnya yang menerpa puluhan siswa di Desa
kahuku dan Desa Ehe, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Provinsi
Sulut, Dra Jul Takaliuang angkat bicara. “Ada banyak dampak dari kehadiran
pertambangan bagi penduduk desa, termasuk anak-anak,” ujar Jul saat ditemui
secara terpisah di Manado.
Menurut Jul, anak-anak sebenarnya mengalami kekerasan psikologis akibat
dari konflik yang terjadi antar warga. “Selain mendapat perlakukan yang tidak
adil dari pihak sekolah yakni SMP Nasional Kahuku, mereka juga sebenarnya
mengalami tekanan di lingkungan sosial akibat konflik itu,” papar Jul.
Lanjut dia, menurut laporan yang diterima pihaknya, saat ini orang tua
cenderung untuk menyekolahkan anak mereka di luar Pulau Bangka. Yang jadi
persoalan kemudian, lanjut Jul, adalah anak-anak harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial masyarakat yang berbeda dengan di kampungnya. “Menyekolahkan anak keluar Pulau Bangka tidak semata-mata terkait
konsekuensi biaya. Tapi persoalan sosial, adaptasi dengan lingkungan sekitar.
Karena anak-anak, di usia yang masih sangat belia, terpaksa harus keluar dari lingkungan masyarakat
yang selama ini mereka tumbuh dan berkembang,” papar Jul.
Menariknya, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Minahasa Utara, Drs Max Tatapada saat dikonfirmasi melalui Kabid Pendidikan
Dasar, Jenny Rumagit saat dikonfirmasi terkait rencana penggusuran sekolah dan
persoalan yang menimpa anak-anak ini mengaku tidak mengetahuinya.“Saya belum tahu soal rencana relokasi sekolah-sekolah yang ada di Pulau
Bangka. Demikian juga dengan persoalan yang menimpa anak-anak sekolah di sana,”
ujar dia.
Meski pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Minut mengaku
tidak tahu soal rencana relokasi sekolah itu, namun hasil reportase di lapangan
menunjukan bahwa pihak perusahaan mulai membangun sekolah di wilayah pemukiman
baru.
Persoalan eksploitasi Pulau Bangka juga dikeluhkan sejumlah pengusaha
resort yang bahkan mengeluhkan kondisi itu kepada Komite III DPD RI, Dr Maya
Rumantir, Senin (10/11/2014). Pasalnya, setelah pemerintah memberikan ijin
untuk resort, ternyata saat ini juga dikeluarkan ijin untuk pertambangan yang
membuat usaha resort mereka terancam surut.(***)
salam kenal!
BalasHapusSamua tagate2
BalasHapus