Rabu, 15 Juli 2015

AJI: Kebebasan Berpendapat dan Mendapatkan Informasi dalam Ancaman


ALIANSI Jurnalis Independen (AJI) menilai kebebasan berpendapat dan kebebasan mendapatkan informasi dalam ancaman serius. Beberapa orang yang mengeluarkan pendapat kritis dan beberapa pejabat negara yang mengeluarkan informasi untuk publik sedang menghadapi tuntutan hukum pidana karena pernyataannya. Kritik terhadap pejabat publik maupun calon pejabat negara melalui media dinilai sebagai upaya pencemaran nama baik, penghinaan, kemudian dilaporkan ke kepolisian.

AJI menyatakan, bila setiap sikap kritis dikriminalisasi, maka semakin lama bangsa Indonesia akan kembali terjerumus ke masa kegelapan tanpa kebebasan. Hak publik untuk mendapatkan informasi juga terbungkam. “Orang akan takut berpendapat, berbicara menyampaikan ekspresinya. Kebijakan pejabat yang tidak tepat, tidak adil, dibiarkan karena jika dikritik, mereka akan menggunakan hukum untuk membungkamnya,” kata Ketua Umum AJI, Suwarjono, dalam siaran persnya, Selasa 14 Juli 2015.
Suwarjono mencontohkan, dua kasus yang belakangan terjadi, tepat menjadi contoh. Penetapan dua komisioner Komisi Yudisial  Suparman Marzuki (Ketua) dan Taufiqurahman Sauri – menjadi tersangka dalam kasus pencemaran nama baik hakim tunggal yang memimpin sidang praperadilan yang sudah memenangkan Budi Gunawan di Pengadilan Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi. Kriminalisasi atas dua pejabat ini, menurut AJI, telah membungkam hak publik untuk mendapatkan informasi, sebuah hak yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.

Kasus kedua, yang melibatkan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho dan Adnan Topan Husodo, serta mantan penasihat KPK Said Zainal Abidin. Ketiganya dilaporkan Romli Atmasasmita, salah satu kandidat panitia seleksi (pansel) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Romli menyerahkan salinan media massa yang memuat komentar Emerson, Adnan dan Said yang menyatakan ketidaksetujuannya pada Romli. Polisi menindaklanjuti laporan itu dengan memanggil ketiganya sebagai saksi.
Kasus yang menjerat dua komisioner KY, Suparman Marzuki dan Taufiqurahman Sauri juga menjerat Feri Amsari dan Charles Simabura, dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Keduanya dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Barat, oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin. Keduanya dianggap melakukan penghinaan terhadap Hakim Sarpin, sebagai reaksi atas keputusan yang dibuatnya dalam kasus Praperadilan Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan. "Meski kabar terakhir menyebutkan laporan itu dicabut kembali, namun proses pencalonannya menjadi sinyal adanya upaya mengkriminalisasi pendapat seseorang," kata Suwarjono.
Yang tidak kalah penting adalah daftar panjang puluhan orang-orang yang juga dikriminalisasi melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Beberapa kasus mereka terus bergulir hingga kini.

Menurut Suwarjono, fakta-fakta itu kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. Bahkan, bisa menjadi lebih buruk dari kondisi di era Orde Baru, karena pada masa kini, kriminalisasi pihak-pihak atas ekspresinya didukung oleh hukum. "Terlebih lagi, bila polisi tidak memiliki mindset kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan terus mengusutnya," kata Suwarjono.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D. Nugroho menilai, di negara demokratis, perbedaan pendapat di media massa adalah hal biasa. Bila ada pihak-pihak yang merasa berkeberatan dengan pemberitaan, pihak yang bersangkutan seharusnya bisa menempuh prosedur Hak Jawab atau Somasi kepada media bersangkutan. Jika tidak puas, barulah membawa persoalan itu ke Dewan Pers, bukan ke polisi. "Itu adalah mekanisme legal yang diatur UU Pers, dan hendaknya ditaati," kata Iman. Dan tentu saja, media massa akan dengan fair memberikan ruang yang sama kepada pelapor, dengan memberi ruang "debat" yang adil pula.
Dan polisi, Iman mengingatkan, pun sudah memiliki MoU dengan Dewan Pers untuk itu  "berbagi kasus". Bila kasusnya menyangkut media, maka polisi akan mengarahkan kasus itu untuk ditangani Dewan Pers. "Polisi hendaknya menghormati MoU itu, dan memberikan kasus pers kepada Dewan Pers," kata Iman.

Kepada media massa, Iman juga mengingatkan, tanggung jawab pemberitaan berada di tangan Pemimpin Redaksi atau Penanggung Jawab Redaksi. Jika ada pemanggilan oleh polisi terkait pemberitaan kepada penulis atau reporter yang melaporkan berita, maka tanggung jawab tersebut ada pada Pemimpin Redaksi bersangkutan. “Dan jurnalis dalam bersaksi nanti bisa menyampaikan kesaksian mereka sebatas yang mereka tulis di media,” kata Iman.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar