Kamis, 08 Januari 2015

AJI Desak Jokowi Menjaga Kebebasan Pers

Di akhir tahun 2014, dunia pers dikejutkan dengan penetapan tersangka penistaan agama atas Pemimpin Redaksi the Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat karena aktivitas jurnalisme yang dilakukan harian berbahasa Inggris ini.

Tindakan polisi ini menafikan putusan Dewan Pers yang sudah ‘menghukum’ The Jakarta Post untuk meminta maaf dan melakukan koreksi. Dan harian ini sudah melakukan prosedur yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini, sebagai bentuk itikad baiknya.
Aksi polisi menafikan UU Pers ini menambah panjang barisan perlakuan buruk kepada jurnalis atau pun media yang dilakukan lembaga yang berada langsung di bawah Presiden ini. Sepanjang tahun 2014 ini, AJI mencatat, ada enam kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis.
Kasus tersebut terjadi di Surabaya, Jayapura, Medan, Makassar dan Jakarta [Baca Lampiran]. Dan seperti kasus-kasus kekerasan yang dilakukan polisi sebelumnya terhadap jurnalis, tidak ada penyelesaian yang menurut hukum yaitu ke jalur pengadilan.
Total ada 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2014 ini. Angka kekerasan boleh jadi stagnan dibanding tahun lalu, namun kualitas makin meningkat. Intimidasi, ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor hingga perampasan kamera masih terus terjadi.
Kasus yang paling menonjol terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 13 November 2014, ketika terjadi demonstrasi penolakan kenaikan BBM di Universitas Negeri Makassar. Sejumlah jurnalis yang melakukan peliputan penyerangan polisi pada mahasiswa justru membuat polisi marah dan mengalihkan serangan pada jurnalis.  Setidaknya ada 10 (sepuluh) jurnalis yang mengalami luka akibat penganiayaan itu. Empat diantaranya melaporkan kasusnya pada polisi, dan sampai saat ini berjuang untuk menuntaskan kasusnya.
Selain polisi, pelaku lainnya adalah warga sipil, politisi, PNS, Satpol PP dan TNI. Terlihat ada tren kekerasan menjadi cara untuk menyelesaikan kasus pemberitaan media.
Tahun 2014 adalah tahun kelabu untuk pengungkapan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Upaya mengungkap kasus pembunuhan jurnalis harian Bernas Yogyakarta, Muhammad Fuad Syafrudin alias Udin yang masuk kadaluwarsa tak mendapat respons kepolisian. Padahal kasus ini diharapkan menjadi pintu masuk mengungkap tujuh pembunuhan jurnalis lainnnya.
Ketujuh jurnalis itu adalah Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010). Namun sejauh ini, polisi abai, negara pun abai, membiarkan pelaku kekerasan melenggang bebas.
Ancaman terhadap kebebasan pers bukan hanya dengan cara kekerasan. Tahun 2014 ini juga jadi saksi ancaman terhadap kebebasan pers muncul dari penanggung jawab media itu sendiri. Tahun Pemilu membuat pemilik atau penanggung jawab media terlibat dalam pertarungan dalam pemilihan presiden.
Tahun 2014 ini, AJI memutuskan Musuh Kebebasan Pers adalah penanggung jawab berita di stasiun televisi MNC Group, tvOne dan MetroTV. Menurut AJI, para penanggung jawab redaksi itu telah menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan partai dan kelompok. AJI menemukan, praktik oligopoli media massa membuat opini masyarakat juga dikontrol oleh sekelompok kecil pemilik atau penanggung jawab media.
Kondisi buruk atas profesi jurnalis juga termasuk soal kesejahteraan jurnalis. Ribuan jurnalis saat ini berstatus kontributor atau koresponden, tanpa hubungan kontraktual dengan media yang mempublikasikan karyanya. Mereka tak memiliki jaminan sosial, jaminan kesehatan dan jaminan hari tua. Sebagian besar dari mereka juga tak diikutkan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional dan BPJS yang merupakan kewajiban setiap perusahaan yang mempekerjakan mereka.
AJI juga menyoroti kebebasan pers yang buruk di Papua. Sejak 1969 hingga kini, jurnalis asing tidak bisa bebas meliput di Papua. Terakhir, dua jurnalis Prancis, Dandois dan Bourrat, ditahan karena melakukan aktivitas jurnalisme di Papua. Tekanan yang berat juga dialami jurnalis lokal, sepanjang tahun 2014, ada dua peristiwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi di Jayapura.
Saat kebebasan pers dalam tekanan, kebebasan berekspresi dan berpendapat juga mengalami tekanan serius. Selain Peraturan Menteri Kominfo tentang konten negative, belakangan, marak pemidanaan terhadap kasus-kasus pencemaran nama yang terjadi di ranah Internet atau digital.
Sejak Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik berlaku di tahun 2008, sampai tahun 2014, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, terdapat 74 kasus kriminalisasi kebebasan berpendapat berdasarkan UU ini. Pasal 27 dan 28  UU ITE menjadi pasal karet yang bisa menjerat siapapun atas laporan warga.
Selain persoalan-persoalan di atas, AJI juga mencatat sejumlah problem etika jurnalistik. Masih banyak media yang mengumbar berita kekerasan terhadap anak dan perempuan sebagai komoditas, mengabaikan etika jurnalistik atau pedoman-pedoman pemberitaan.
Harus diakui, sejumlah kekerasan terjadi karena produk jurnalistiknya tidak memenuhi standar. Oleh karena itu AJI mendorong media untuk menerapkan pemberitaan yang berimbang, independen dan memenuhi kode etik. Otokritik ini harus diakui, agar pemberitaan ke depan makin maju.
AJI juga mencatat, diskriminasi atas pekerja perempuan juga terjadi di kantor-kantor media, dengan tidak dipenuhinya sejumlah hak pekerja perempuan. Seperti hak cuti haid, hak cuti melahirkan dan hak melakukan laktasi dengan memfasilitasi ruangan yang layak untuk itu.
AJI yang baru saja menggelar kongres pada 28-30 November 2014 lalu di Bukittinggi berusaha menjawab sejumlah persoalan di atas. Untuk menjawab soal etik, AJI bertekad akan terus melakukan uji kompetensi jurnalis yang sebelumnya diikuti dengan workshop-workshop soal etika jurnalistik dan peningkatan keterampilan.
AJI memperkuat lembaga Majelis Etik yang ke depan bisa melakukan penindakan terhadap anggota AJI yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik atau aturan organisasi. Majelis Etik Nasional AJI untuk tiga tahun ke depan adalah Syofiardi Bachyul, Ahmad Taufik, Masduki, Nursyawal dan Willy Pramudya.
Keputusan penting yang dibuat dalam Kongres AJI yang mendudukkan Suwarjono sebagai Ketua Umum dan Arfi Bambani Amri sebagai Sekretaris Jenderal adalah membuka keanggotaan AJI untuk jurnalis warga (citizen journalist). AJI memandang, penguatan posisi jurnalis warga adalah strategis untuk penguatan publik dan memberikan alternatif atas oligopoli media yang terjadi saat ini.
Oleh karena itu, AJI menyatakan sebagai berikut:
1.      Mendesak Presiden Joko Widodo menunjukkan komitmen menjaga kebebasan pers dengan memerintahkan polisi dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut tuntas kasus-kasus pembunuhan terhadap jurnalis;
2.      Menuntut Presiden Joko Widodo membuka selebar-lebarnya akses peliputan jurnalis baik dalam maupun luar negeri ke Papua serta menghapus lembaga Clearing House untuk setiap jurnalis asing yang ingin meliput ke sana;
3.      Mendesak Kepolisian mengikuti Memorandum of Understanding dengan Dewan Pers untuk menggunakan mekanisme penyelesaian perselisihan pemberitaan pers dengan menggunakan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
4.      Meminta kepolisian mengusut setiap pelaku kekerasan terhadap jurnalis ke ranah hukum termasuk yang dilakukan oleh oknum kepolisian;
5.      Menuntut Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik khususnya Pasal 27 yang menjadi pintu masuk kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di Internet;
6.      Mendesak perusahaan media untuk membuat kontrak kerja yang jelas, mematuhi UU Ketenagakerjaan, UU SJSN serta BPJS yang sudah diberlakukan untuk melindungi jurnalis dalam hal kesejahteraan, kecelakaan kerja, kesehatan serta hari tua. Kepersertaan jurnalis dalam program BPJS adalah wajib dan sudah harus didaftarkan oleh perusahaan media pada 1 Januari 2015.

7.      Meminta penanggung jawab media untuk menjaga independensi, keberimbangan, etika dan prinsip jurnalistik dalam pemberitaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar