ACEH adalah daerah rawan bencana. Bencana tidak dapat
ditiadakan. Penduduk Aceh hidup dalam ancaman pergolakan alam. Sebagai
bagian dari masyarakat, pers harus berperan dalam pengurangan risiko bencana, yang berdampak pada kerugian jiwa, harta benda, dan sumberdaya materil lainnya.
Dalam menjalankan
fungsinya, negara telah memberikan kebebasan pers dalam bingkai hak asasi manusia. Pers bertanggung jawab
terhadap pemenuhan informasi, pendidikan segala hal berkaitan dengan bencana,
sehingga membentuk budaya kesiapsiagaan, dan mengontrol pemangku kebijakan.
Berlandaskan pemenuhan
hak-hak warga negara, pers di Aceh menetapkan asas moral sebagai pedoman operasional dalam meningkatkan profesionalitas. Pers di Aceh berjanji menaati Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan berkomitmen menjalankan Kode Etik Forum
Jurnalis Aceh Peduli Bencana
Pasal 1
Jurnalis Aceh
berpegang teguh pada fakta.
Penafsiran:
a. Tidak
melebihkan atau mengurangi fakta.
b. Memberitakan
sesuai kondisi objektif dan tidak bias.
Pasal 2
Jurnalis Aceh tidak
menempatkan bencana sebagai informasi eksklusif.
Penafsiran:
a. Informasi
dan data bencana tidak dirahasiakan.
b. Informasi
tentang narasumber tidak dirahasiakan.
Pasal 3
Jurnalis Aceh
memprioritaskan kebutuhan kelompok rentan dan peka jender.
Penafsiran:
a. Kelompok
rentan meliputi lansia, difabel, anak-anak, dan perempuan hamil.
b. Peka
jender diartikan sebagai memperhatikan kesetaraan.
c. Kebutuhan
kelompok rentan dan peka jender meliputi informasi nutrisi, sandang, biologis,
psikologi, pendidikan, perlindungan dan sanitasi.
d. Memprioritaskan
pendapat kelompok rentan dan peka jender dalam menentukan kebijakan pengurangan
risiko bencana.
Pasal 4
Jurnalis Aceh
mengedepankan peliputan korban selamat untuk membangkitkan semangat, tidak menyebarkan rasa
haru berlebihan dan ketakutan.
Penafsiran:
a. Memprioritaskan
pemberitaan kondisi terakhir korban selamat.
b. Tidak
mengeksploitasi kesedihan korban secara berlebihan.
c. Tidak
mendalami kisah perjuangan korban menyelamatkan diri sehingga memperbesar
trauma.
d. Tidak
menggambarkan secara detail saat bencana merenggut nyawa.
e. Tidak
mempublikasikan foto atau video dirinya dan jurnalis lain dengan latar belakang
jenazah dan korban kritis untuk kepentingan mendapat pujian.
f. Tidak
menggambarkan, mempublikasikan foto dan video korban dalam kondisi tanpa
busana yang berdampak gangguan
kejiwaan.
Pasal 5
Jurnalis Aceh tidak
mewawancarai korban kritis yang membutuhkan pertolongan, kondisi kejiwaan
terguncang, dan pihak yang sedang memberikan pertolongan.
Penafsiran:
a. Kritis adalah kondisi korban dalam keadaan fisik
lemah dan dapat berakibat hilangnya nyawa.
b. Membutuhkan
pertolongan adalah kondisi korban tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri dan
membutuhkan bantuan orang lain.
c. Jiwa
terguncang adalah kondisi korban mengalami gangguan ingatan, trauma dan
kesedihan mendalam.
d. Memberikan
pertolongan adalah setiap orang atau kelompok yang berusaha menyelamatkan jiwa
korban.
Pasal 6
Jurnalis Aceh
mengedepankan sindikasi dalam peliputan.
Penafsiran:
a. Jurnalis
saling berbagi informasi, data, dan akses narasumber.
b. Sindikasi
tidak berarti mengambil karya jurnalistik media lain dengan mengatasnamakan
dirinya.
c. Pengambilan
karya jurnalistik media lain harus dilengkapi sumbernya.
Pasal 7
Jurnalis Aceh fokus
pada kesiapsiagaan, edukasi dan mitigasi.
Penafsiran:
a. Jurnalis
tidak memberitakan ramalan akan terjadinya bencana dari sumber tidak terpercaya
seperti peramal atau paranormal.
b. Jurnalis
tidak mengaitkan terjadinya bencana dengan hal-hal takhayul.
c. Jurnalis
senantiasa memberitakan temuan baru, perkiraan ilmuan, serta kiat
kesiapsiagaan.
d. Jurnalis
senantiasa memberitakan kebiasaan masyarakat dan kebijakan pemerintah yang
dapat mengurangi dampak bencana.
e. Jurnalis
Aceh akan terus-menerus memberitakan potensi bencana.
Pasal 8
Jurnalis Aceh
menghormati hak korban.
Penafsiran:
a. Jurnalis
tidak memaksa korban yang menolak diwawancarai.
b. Hak
korban adalah perlindungan, menjalankan ibadah, keamanan, kesehatan,
pendidikan, pelayanan kedaruratan, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta
pemberdayaan.
Pasal 9
Kasus-kasus yang
berkenaan dengan etik ini diselesaikan Dewan Etik.
Penafsiran:
Dewan Etik adalah
sejumlah pakar, praktisi, akademisi dan wakil organisasi masyarakat sipil yang
dipilih bersama dalam tenggat waktu tertentu dan bertugas memutuskan sanksi
atas pelanggaran kode etik ini.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar