Paus Bendictus XVI
DI penghujung tahun 2011 lalu, Lembaga Sosial
dan Keagamaan, The Wahid Institute melansir laporan tentang praktek kebebasan
beragama dan toleransi di Indonesia sepanjang tahun 2011.
Dalam penelusurannya, The Wahid Institut menemukan bahwa telah
terjadi peningkatan pelanggaran dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan
selama tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010 lalu. Jika tahun sebelumnya
hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18 persen menjadi 92 kasus di tahun
2011.
Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang paling tinggi
adalah pelanggaran atau pembatasan aktivitas keagamaan atau kegiatan ibadah
kelompok tertentu dengan 49 kasus atau 48 persen. Kemudian berturut-turut
adalah tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus
atau 20 persen, pembiaran kekerasan 11 kasus (11 persen), kekerasan dan
pemaksaan keyakinan 9 kasus (9 persen), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah
9 kasus (9 persen), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan 4 kasus (4
persen).
Sementara, Jawa Barat adalah daerah paling tinggi tingkat
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yakni 55 kasus atau 58 persen.
Diikuti Banten 9 kasus atau 10 persen, NAD 5 kasus (6 persen), Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Sulsel masing-masing 4 kasus, dan daerah-daerah lainnya antara 1-2
kasus.
Dari 92 kasus pelanggaran itu selama 2011, Jemaat Ahmadiyah
adalah korban terbanyak dengan 46 kasus (50 persen), kemudian Jemaat GKI Taman
Yasmin Bogor 13 kasus (14 persen), jemaat gereja lainnya 12 kasus (13 persen),
kelompok terduga sesat 8 kasus (9 persen), Millah Abraham (4 kasus), kelompok
Syiah dan aliran AKI (2 kasus), aliran Nurul Amal, aliran Bedatuan, aliran
Islam Suci, Padepokan Padange Ati dan jemaah Masjid di NTT, masing-masing 1
kasus.
Dari data kekerasan, sebaran wilayah tersebut, dan kategori
korban tersebut, Wahid Institute mencatat aparat kepolisian adalah pihak yang
paling banyak melakukan pelanggaran dalam kategori pelaku institusi negara.
Selain itu adalah kepala daerah atau pejabat berwenang lainnya. Aparat
kepolisian terbanyak dengan 32 kali melakukan pelanggaran (26 persen), bupati,
walikota atau oknum-oknum pejabat di lingkungan kabupaten/kota 28 kali (23
persen), tentara 16 kali (13 persen), Satpol PP (10 kali), Pemerintah Provinsi
(8 kali), Kantor Kemenag atau KUA (8 kali).
Persoalan kerukunan antar umat beragama tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya.
Pada tahun 1990-an, India banyak mengalami kekacauan di dalam
negeri akibat konflik agama, antarsuku, dan kasta, yang biasanya juga dikaitkan
dengan politik.
Konflik Hindu-Islam, merupakan konflik keagamaan yang
menyebabkan jatuhnya PM Singh pada tahun 1990 berpangkal dari keinginan untuk
membangun kuil di Ayodhya, tepat di lokasi berdirinya Masjid Babri yang
dibangun pada abad ke-16. Warga Hindu mempercayai tempat itu sebagai tempat
kelahiran Rama (dewa Hindu) dan bertekad untuk membangun kuil di lokasi masjid
tersebut. Untuk mencegah membesarnya konflik, pemerintah mencoba mengadakan
pertemuan antara penganut Hindu dan Islam. tetapi usaha ini gagal. Pada tanggal
20 Oktober 1990, pemerintah mengusulkan agar kuil dibangun bersebelahan dengan
masjid yang sudah ada lebih dulu. Tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh kedua
belah pihak, bahkan pihak Hindu kemudian mengumumkan akan mulai membangun kuil
tersebut pada tanggal 30 Oktober 1990.
Masalah Masjid Babri sempat menghilang sebentar karena
perhatian beralih kepada masalah pergantian pemerintahan dan terbunuhnya Rajiv
Gandhi pada tanggal 21 Mei 1991.
Pada tanggal 30 Oktober 1991 terjadi lagi kerusuhan pada
perayaan setahun peletakan batu pertama pembangunan kuil tersebut. Sehari
sebelumya mantan perdana menteri V.P. Singh dan kelompoknya ditahan.
Peristiwa perusakan Masjid Babri menyulut kerusuhan yang lebih
besar antara Hindu dan Islam di Bombay pada bulan Januari 1993 dan
mengakibatkan ratusan korban jiwa. Benih konflik tersebut, hingga kini masih
“terpelihara” dan sewaktu-waktu bisa kembali menimbulkan masalah meski mungkin
penyebabnya berbeda.
Berbeda dengan di India, konflik yang terjadi di Irlandia
Utara adalah antara sesama Kristen, yakni penganut Katolik dan Protestan.
Irlandia Utara selama beberapa tahun menjadi tempat kekerasan
dan konflik etnik-politik yang getir yang disebabkan oleh pemisahan antara kaum
nasionalis, yang dominan Katolik Roma, dan kaum unionis, yang dominan
Protestan, yang pernah menjadi keyakinan yang lazim. Kaum unionis ingin agar Irlandia
Utara tetap menjadi bagian dari Britania Raya, sementara kaum nasionalis ingin agar Irlandia
Utara bersatu dengan bagian lain Pulau Irlandia di dalam Irlandia yang utuh
secara geopolitik, terbebas dari kekuasaan Britania. Sejak ditandatanganinya
"Persetujuan Jumat Agung" pada tahun 1998, sebagian besar kelompok
paramiliter yang terlibat dalam konflik etnik-politik telah menghentikan
kampanye militer mereka.
Memiliki sejarah sendiri yang unik, isu simbolisme, nama dan
penjelasan tentang Irlandia Utara adalah kompleks, seperti halnya isu
kewarganegaraan dan identitas. Secara umum, kaum unionis memandang diri sebagai
orang Britania, sedangkan kaum nasionalis memandang diri sebagai orang
Irlandia, meskipun kedua-dua identitas ini tidak selalu saling eksklusif.
Selain itu, banyak orang dari kedua belah komunitas memandang mereka sebagai
Orang Irlandia Utara.
Ketika Irlandia (Selatan) memerdekakan diri dari Britania Raya
pada tahun 1920, penduduk Irlandia Utara yang sebagian besar beragama Protestan
dan masih setia terhadap Kerajaan Britania Raya memilih tetap menjadi bagian
negara kesatuan Britania Raya. Mereka disebut kaum Unionis sedangkan orang dari
Irlandia Selatan disebut kaum Nasionalis. Tetapi permasalahan tidak berhenti di
sini tetapi berlanjut terus, sebab orang-orang yang beragama Katolik di
Irlandia Utara merasa didiskriminasi. Kerusuhan yang dinamai "The
Troubles" mulai dari tahun 1969 dan baru berakhir di akhir dekade 1990-an,
meskipun kekerasan sporadis masih terjadi hingga sekarang.
Publik dunia terhentak ketika kalangan Katolik dan Islam
sempat bersitegang menyusul kuliah umum Paus Benediktus XVI bertajuk “Iman, Pikiran, dan Universitas, Kenangan dan
Refleksi” di Universitas Regensburg, Jerman, 12 September 2006.
Pada kuliah umum itu, Paus mengatakan, di tengah-tengah dunia
yang sangat skeptis ini, kita tetap perlu untuk menggunakan pikiran untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Allah, asalkan kita selalu berpegang
pada tradisi iman Kristiani. Kemudian Paus mengutip sebuah teks kuno abad XIV
yang diedit Profesor Theodore Khoury, ahli Islam asal Libanon.
Teks itu menceritakan sebuah diskusi mengenai hubungan antara
agama dan kekerasan, antara Kaisar Bysantium, Manuel II Paleologus dengan
seorang cendekiawan Persia. Di situ Kaisar Paleologus mengucapkan kata-kata
lugas dan keras mengenai peran Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan iman dengan
pedang.
Tentu saja, para pemimpin negara-negara Arab para ulama, ahli
agama, ilmuan dan cendekiawan Muslim dunia memprotes keras kuliah umum tersebut.
Mereka tidak rela kalau apa yang diungkapkan kaisar Paleologus itu dipakai
untuk menggambarkan agama Islam sebagai agama pedang. Apalagi yang menyampaikan
hal ini adalah seorang Paus.
Situasi ini terus memanas, sampai Kardinal Jean Louis Tauran
diangkat menjadi Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama, 25
Juni 2007. Banyak negara Arab memberinya selamat. Beberapa koran arab secara
khusus menulis mengenai Kardinal asal Prancis tersebut. “Saya sadar bahwa saya
hadir di tengah suasana dialog yang
sulit antara Kristen dan Islam. Kuliah Regensburg menunjukan, dialog antaragama
dan antarbudaya antara umat Kristen dan umat Islam tidak dapat dijadikan hanya
sebuah pilihan belaka. Dialog tersebut harus menjadi sebuah kebutuhan hidup,
yang menentukan masa depan umat manusia,” papar Tauran yang bergerak cepat
mengadakan banyak kontak dan komunikasi dengan tokoh Muslim Dunia.
Menurut Tauran, dialog
yang benar adalah dialog saling pengertian, yang memiliki bahasa yang sama,
dengan kejujuran dan keinginan untuk memahami pandangan masing-masing. Dialog
yang benar adalah dialog sebagai saudara, sebagai sebuah keluarga besar
kemanusiaan. Dalam dialog semacam ini, hubungan yang paling tepat adalah cinta
kasih, bukan toleransi. Karena toleransi itu baru sampai batas minimum saja,
sedangkan cinta kasih tidak terbatas.
Ada berbagai cara bagaimana agama-agama bertemu dan hidup
berdampingan secara damai. Paus Benediktus XVI memiliki keyakinan dan langkah
tersendiri. Bukan lewat dialog teologi agama-agama, bukan dialog kehidupan
melalui kerjasama konkrit, melainkan- lewat cara yang sangat intelektual,
dialog kebudayaan dan peradaban.
Langkah ini dianggap taktis, karena dua topik ini menyentuh
falsafah hidup manusia yang melampaui ideologi dan agama.
Itu yang dilakukan Paus terhadap Islam. Dengan cara ini, dua
pulau terlewati. Terhadap Islam, Ia mengundang dialog yang didasarkan pada
kebudayaan, HAM dan problem kekerasan. Tetapi dia juga menyasar pulau lain,
mengkritik dan sekaligus mengundang Barat untuk kembali pada kodrat manusia
yang tidak mengesampingkan dimensi religius.
Pemikiran Paus ini bisa ditelusuri ke belakang, yaitu ketika
beliau masih sebagai Kardinal. Dalam buku “Garam Dunia”, Paus menyampaikan
beberapa pandangannya tentang Islam. Ia mengawali pendapatnya mengenai entitas
yang disebut Islam. Tidak ada dialog dengan Islam, yang ada adalah dialog
dengan suatu komunitas Islam tertentu. Menurut Paus, Islam tidak mengenal
ortodoksi, tidak memiliki doktrin yang menjadi pegangan bersama dan satu. Inilah
yang membuat Paus yakin bahwa dialog teologi dengan Islam menjadi sulit dan
tidak memiliki standar universal.
Konsep pewahyuan dalam Islam pun unik. Al quran itu diturunkan
pada Nabi Muhammad SAW, bukan diinspirasikan. Seorang Muslim merasa tidak punya
otoritas untuk menginterpretasikan teks suci ini. Teks kitab suci yang
diturunkan pada abad ke-7 di Arab masih benar dan terus benar di manapun.
Lagi-lagi, ini membuat dialog menjadi upaya yang tidak mudah.
Jangankan antara Islam dan Kristen, antara sesama Kristen pun
perdebatan mengenai, doktrin, simbol-simbol, tradisi, liturgi, sering menjadi
penyulut konflik antar golongan Kristen.
Di sinilah Paus berpendapat, dialog kebudayaan akan lebih
banyak memberikan harapan dari pada dialog teologi agama-agama. Dia memberi
contoh kecil, bahwa dirinya yakin umat Muslim dengan tegas menolak dan mengecam
terorisme. Paus berpandangan bahwa Kristen maupun Islam memiliki keprihatinan
yang sama.
Paus secara inklusif menyampaikan bahwa perjuangan seluruh
umat manusia dan umat beriman adalah membersihkan perasaan benci dalam hati,
melawan segala kekerasan, menjauhi fanatisme. Semua karakter yang dilawan ini
membahayakan kehidupan. Dan memperjuangkan hal ini memang sulit tapi bukannya
mustahil.
Bagi Paus, dialog harus dipusatkan dalam diri manusia. Ini
berarti melampaui perbedaan-perbedaan ideologi. Dan dengan mengesampingkan
ideologi, agama-agama justru mampu menyingkapkan dirinya secara nyata. Dengan
berpusat pada manusia, perbincangan diajak
masuk ke dalam suara hati manusia. Suara hati menjadi pijakan bersama
untuk berdialog.
Banyak pertemuan yang diawal diberi judul dialog antar agama.
Namun diskusi ini kemudian berkembang menjadi pencarian akar-akar persoalan
kultural. Misalnya memikirkan akar-akar kebudayaan dari konflik negara-negara,
India, Irlandia Utara, Palestina,
Israel, Irak, atau Afganistan. Di sinilah pertemuan interdisipliner dan
interkultural seperti politik, ekonomi, sejarah, ada jauh lebih penting dibanding dialog
teologis.
Harapan membangun dialog antarumat beragama secara lebih
bermartabat ini tentu menjadi harapan setiap manusia, di berbagai belahan
dunia, termasuk di Indonesia dan Sulawesi Utara.
Sayangnya, berbagai upaya tersebut belum memberikan hasil yang
signifikan. Kehadiran berbagai lembaga atau forum kerukunan umat beragama,
serta sejumlah kelompok lainnya masih lebih banyak bicara pada level
formalitas, elitis. Tidak menyentuh kalangan basis. Apalagi dengan sokongan
dana dari pemerintah, lebih terkesan sebagai sebuah proyek atas nama kerukunan
umat beragama.
Ke depan, tentu kita berharap upaya membangun dialog ini tidak
sekadar formalitas, kumpulan para elit tokoh agama dengan kepentingan
terselubung, bukan dialog teologis yang memperdebatkan doktrin tiap agama di
mana masing-masing pihak merasa diri paling benar, tapi dialog yang benar-benar
mampu untuk menyentuh aspek yang paling mendasar yakni kemanusiaan. Di titik
inilah semua umat manusia setara, karena sama-sama ciptaan Tuhan.(***)
Sumber-sumber: - www.okezone.com
-wikipedia
- Majalah Mingguan Umat Beriman "HIDUP" No.01 Tahun ke-64.
Sumber-sumber: - www.okezone.com
-wikipedia
- Majalah Mingguan Umat Beriman "HIDUP" No.01 Tahun ke-64.
3 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar