Kamis, 26 Januari 2012

Dialog Kebudayaan dan Peradaban



                                        Paus Bendictus XVI



DI  penghujung tahun 2011 lalu, Lembaga Sosial dan Keagamaan, The Wahid Institute melansir laporan tentang praktek kebebasan beragama dan toleransi di Indonesia sepanjang tahun 2011.
Dalam penelusurannya, The Wahid Institut menemukan bahwa telah terjadi peningkatan pelanggaran dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan selama tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010 lalu. Jika tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18 persen menjadi 92 kasus di tahun 2011.

Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang paling tinggi adalah pelanggaran atau pembatasan aktivitas keagamaan atau kegiatan ibadah kelompok tertentu dengan 49 kasus atau 48 persen. Kemudian berturut-turut adalah tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20 persen, pembiaran kekerasan 11 kasus (11 persen), kekerasan dan pemaksaan keyakinan 9 kasus (9 persen), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9 persen), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan 4 kasus (4 persen).
Sementara, Jawa Barat adalah daerah paling tinggi tingkat pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yakni 55 kasus atau 58 persen. Diikuti Banten 9 kasus atau 10 persen, NAD 5 kasus (6 persen), Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulsel masing-masing 4 kasus, dan daerah-daerah lainnya antara 1-2 kasus.
Dari 92 kasus pelanggaran itu selama 2011, Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak dengan 46 kasus (50 persen), kemudian Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor 13 kasus (14 persen), jemaat gereja lainnya 12 kasus (13 persen), kelompok terduga sesat 8 kasus (9 persen), Millah Abraham (4 kasus), kelompok Syiah dan aliran AKI (2 kasus), aliran Nurul Amal, aliran Bedatuan, aliran Islam Suci, Padepokan Padange Ati dan jemaah Masjid di NTT, masing-masing 1 kasus.
Dari data kekerasan, sebaran wilayah tersebut, dan kategori korban tersebut, Wahid Institute mencatat aparat kepolisian adalah pihak yang paling banyak melakukan pelanggaran dalam kategori pelaku institusi negara. Selain itu adalah kepala daerah atau pejabat berwenang lainnya. Aparat kepolisian terbanyak dengan 32 kali melakukan pelanggaran (26 persen), bupati, walikota atau oknum-oknum pejabat di lingkungan kabupaten/kota 28 kali (23 persen), tentara 16 kali (13 persen), Satpol PP (10 kali), Pemerintah Provinsi (8 kali), Kantor Kemenag atau KUA (8 kali).
Persoalan kerukunan antar umat beragama tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya.
Pada tahun 1990-an, India banyak mengalami kekacauan di dalam negeri akibat konflik agama, antarsuku, dan kasta, yang biasanya juga dikaitkan dengan politik.
Konflik Hindu-Islam, merupakan konflik keagamaan yang menyebabkan jatuhnya PM Singh pada tahun 1990 berpangkal dari keinginan untuk membangun kuil di Ayodhya, tepat di lokasi berdirinya Masjid Babri yang dibangun pada abad ke-16. Warga Hindu mempercayai tempat itu sebagai tempat kelahiran Rama (dewa Hindu) dan bertekad untuk membangun kuil di lokasi masjid tersebut. Untuk mencegah membesarnya konflik, pemerintah mencoba mengadakan pertemuan antara penganut Hindu dan Islam. tetapi usaha ini gagal. Pada tanggal 20 Oktober 1990, pemerintah mengusulkan agar kuil dibangun bersebelahan dengan masjid yang sudah ada lebih dulu. Tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh kedua belah pihak, bahkan pihak Hindu kemudian mengumumkan akan mulai membangun kuil tersebut pada tanggal 30 Oktober 1990.
Masalah Masjid Babri sempat menghilang sebentar karena perhatian beralih kepada masalah pergantian pemerintahan dan terbunuhnya Rajiv Gandhi pada tanggal 21 Mei 1991.
Pada tanggal 30 Oktober 1991 terjadi lagi kerusuhan pada perayaan setahun peletakan batu pertama pembangunan kuil tersebut. Sehari sebelumya mantan perdana menteri V.P. Singh dan kelompoknya ditahan.
Peristiwa perusakan Masjid Babri menyulut kerusuhan yang lebih besar antara Hindu dan Islam di Bombay pada bulan Januari 1993 dan mengakibatkan ratusan korban jiwa. Benih konflik tersebut, hingga kini masih “terpelihara” dan sewaktu-waktu bisa kembali menimbulkan masalah meski mungkin penyebabnya berbeda.
Berbeda dengan di India, konflik yang terjadi di Irlandia Utara adalah antara sesama Kristen, yakni penganut Katolik dan Protestan.
Irlandia Utara selama beberapa tahun menjadi tempat kekerasan dan konflik etnik-politik yang getir yang disebabkan oleh pemisahan antara kaum nasionalis, yang dominan Katolik Roma, dan kaum unionis, yang dominan Protestan, yang pernah menjadi keyakinan yang lazim. Kaum unionis ingin agar Irlandia Utara tetap menjadi bagian dari Britania Raya,  sementara kaum nasionalis ingin agar Irlandia Utara bersatu dengan bagian lain Pulau Irlandia di dalam Irlandia yang utuh secara geopolitik, terbebas dari kekuasaan Britania. Sejak ditandatanganinya "Persetujuan Jumat Agung" pada tahun 1998, sebagian besar kelompok paramiliter yang terlibat dalam konflik etnik-politik telah menghentikan kampanye militer mereka.
Memiliki sejarah sendiri yang unik, isu simbolisme, nama dan penjelasan tentang Irlandia Utara adalah kompleks, seperti halnya isu kewarganegaraan dan identitas. Secara umum, kaum unionis memandang diri sebagai orang Britania, sedangkan kaum nasionalis memandang diri sebagai orang Irlandia, meskipun kedua-dua identitas ini tidak selalu saling eksklusif. Selain itu, banyak orang dari kedua belah komunitas memandang mereka sebagai Orang Irlandia Utara.
Ketika Irlandia (Selatan) memerdekakan diri dari Britania Raya pada tahun 1920, penduduk Irlandia Utara yang sebagian besar beragama Protestan dan masih setia terhadap Kerajaan Britania Raya memilih tetap menjadi bagian negara kesatuan Britania Raya. Mereka disebut kaum Unionis sedangkan orang dari Irlandia Selatan disebut kaum Nasionalis. Tetapi permasalahan tidak berhenti di sini tetapi berlanjut terus, sebab orang-orang yang beragama Katolik di Irlandia Utara merasa didiskriminasi. Kerusuhan yang dinamai "The Troubles" mulai dari tahun 1969 dan baru berakhir di akhir dekade 1990-an, meskipun kekerasan sporadis masih terjadi hingga sekarang.
Publik dunia terhentak ketika kalangan Katolik dan Islam sempat bersitegang menyusul kuliah umum Paus Benediktus XVI bertajuk  “Iman, Pikiran, dan Universitas, Kenangan dan Refleksi” di Universitas Regensburg, Jerman, 12 September 2006.
Pada kuliah umum itu, Paus mengatakan, di tengah-tengah dunia yang sangat skeptis ini, kita tetap perlu untuk menggunakan pikiran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Allah, asalkan kita selalu berpegang pada tradisi iman Kristiani. Kemudian Paus mengutip sebuah teks kuno abad XIV yang diedit Profesor Theodore Khoury, ahli Islam asal Libanon.
Teks itu menceritakan sebuah diskusi mengenai hubungan antara agama dan kekerasan, antara Kaisar Bysantium, Manuel II Paleologus dengan seorang cendekiawan Persia. Di situ Kaisar Paleologus mengucapkan kata-kata lugas dan keras mengenai peran Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan iman dengan pedang.
Tentu saja, para pemimpin negara-negara Arab para ulama, ahli agama, ilmuan dan cendekiawan Muslim dunia memprotes keras kuliah umum tersebut. Mereka tidak rela kalau apa yang diungkapkan kaisar Paleologus itu dipakai untuk menggambarkan agama Islam sebagai agama pedang. Apalagi yang menyampaikan hal ini adalah seorang Paus.
Situasi ini terus memanas, sampai Kardinal Jean Louis Tauran diangkat menjadi Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama, 25 Juni 2007. Banyak negara Arab memberinya selamat. Beberapa koran arab secara khusus menulis mengenai Kardinal asal Prancis tersebut. “Saya sadar bahwa saya hadir di tengah  suasana dialog yang sulit antara Kristen dan Islam. Kuliah Regensburg menunjukan, dialog antaragama dan antarbudaya antara umat Kristen dan umat Islam tidak dapat dijadikan hanya sebuah pilihan belaka. Dialog tersebut harus menjadi sebuah kebutuhan hidup, yang menentukan masa depan umat manusia,” papar Tauran yang bergerak cepat mengadakan banyak kontak dan komunikasi dengan tokoh Muslim Dunia.    
Menurut Tauran,  dialog yang benar adalah dialog saling pengertian, yang memiliki bahasa yang sama, dengan kejujuran dan keinginan untuk memahami pandangan masing-masing. Dialog yang benar adalah dialog sebagai saudara, sebagai sebuah keluarga besar kemanusiaan. Dalam dialog semacam ini, hubungan yang paling tepat adalah cinta kasih, bukan toleransi. Karena toleransi itu baru sampai batas minimum saja, sedangkan cinta kasih tidak terbatas. 
Ada berbagai cara bagaimana agama-agama bertemu dan hidup berdampingan secara damai. Paus Benediktus XVI memiliki keyakinan dan langkah tersendiri. Bukan lewat dialog teologi agama-agama, bukan dialog kehidupan melalui kerjasama konkrit, melainkan- lewat cara yang sangat intelektual, dialog kebudayaan dan peradaban.
Langkah ini dianggap taktis, karena dua topik ini menyentuh falsafah hidup manusia yang melampaui ideologi dan agama.
Itu yang dilakukan Paus terhadap Islam. Dengan cara ini, dua pulau terlewati. Terhadap Islam, Ia mengundang dialog yang didasarkan pada kebudayaan, HAM dan problem kekerasan. Tetapi dia juga menyasar pulau lain, mengkritik dan sekaligus mengundang Barat untuk kembali pada kodrat manusia yang tidak mengesampingkan dimensi religius.
Pemikiran Paus ini bisa ditelusuri ke belakang, yaitu ketika beliau masih sebagai Kardinal. Dalam buku “Garam Dunia”, Paus menyampaikan beberapa pandangannya tentang Islam. Ia mengawali pendapatnya mengenai entitas yang disebut Islam. Tidak ada dialog dengan Islam, yang ada adalah dialog dengan suatu komunitas Islam tertentu. Menurut Paus, Islam tidak mengenal ortodoksi, tidak memiliki doktrin yang menjadi pegangan bersama dan satu. Inilah yang membuat Paus yakin bahwa dialog teologi dengan Islam menjadi sulit dan tidak memiliki standar universal.
Konsep pewahyuan dalam Islam pun unik. Al quran itu diturunkan pada Nabi Muhammad SAW, bukan diinspirasikan. Seorang Muslim merasa tidak punya otoritas untuk menginterpretasikan teks suci ini. Teks kitab suci yang diturunkan pada abad ke-7 di Arab masih benar dan terus benar di manapun. Lagi-lagi, ini membuat dialog menjadi upaya yang tidak mudah.
Jangankan antara Islam dan Kristen, antara sesama Kristen pun perdebatan mengenai, doktrin, simbol-simbol, tradisi, liturgi, sering menjadi penyulut konflik antar golongan Kristen.  
Di sinilah Paus berpendapat, dialog kebudayaan akan lebih banyak memberikan harapan dari pada dialog teologi agama-agama. Dia memberi contoh kecil, bahwa dirinya yakin umat Muslim dengan tegas menolak dan mengecam terorisme. Paus berpandangan bahwa Kristen maupun Islam memiliki keprihatinan yang sama.
Paus secara inklusif menyampaikan bahwa perjuangan seluruh umat manusia dan umat beriman adalah membersihkan perasaan benci dalam hati, melawan segala kekerasan, menjauhi fanatisme. Semua karakter yang dilawan ini membahayakan kehidupan. Dan memperjuangkan hal ini memang sulit tapi bukannya mustahil.
Bagi Paus, dialog harus dipusatkan dalam diri manusia. Ini berarti melampaui perbedaan-perbedaan ideologi. Dan dengan mengesampingkan ideologi, agama-agama justru mampu menyingkapkan dirinya secara nyata. Dengan berpusat pada manusia, perbincangan diajak  masuk ke dalam suara hati manusia. Suara hati menjadi pijakan bersama untuk berdialog.
Banyak pertemuan yang diawal diberi judul dialog antar agama. Namun diskusi ini kemudian berkembang menjadi pencarian akar-akar persoalan kultural. Misalnya memikirkan akar-akar kebudayaan dari konflik negara-negara, India, Irlandia Utara,  Palestina, Israel, Irak, atau Afganistan. Di sinilah pertemuan interdisipliner dan interkultural seperti politik, ekonomi, sejarah, ada  jauh lebih penting dibanding dialog teologis. 
Harapan membangun dialog antarumat beragama secara lebih bermartabat ini tentu menjadi harapan setiap manusia, di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia dan Sulawesi Utara.
Sayangnya, berbagai upaya tersebut belum memberikan hasil yang signifikan. Kehadiran berbagai lembaga atau forum kerukunan umat beragama, serta sejumlah kelompok lainnya masih lebih banyak bicara pada level formalitas, elitis. Tidak menyentuh kalangan basis. Apalagi dengan sokongan dana dari pemerintah, lebih terkesan sebagai sebuah proyek atas nama kerukunan umat beragama.
Ke depan, tentu kita berharap upaya membangun dialog ini tidak sekadar formalitas, kumpulan para elit tokoh agama dengan kepentingan terselubung, bukan dialog teologis yang memperdebatkan doktrin tiap agama di mana masing-masing pihak merasa diri paling benar, tapi dialog yang benar-benar mampu untuk menyentuh aspek yang paling mendasar yakni kemanusiaan. Di titik inilah semua umat manusia setara, karena sama-sama ciptaan Tuhan.(***)  

Sumber-sumber:       - www.okezone.com 
                               -wikipedia
                                - Majalah Mingguan Umat Beriman "HIDUP" No.01 Tahun ke-64.    
                                          3 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar