Jumat, 27 Januari 2012

Kerukunan Simbolis




Seminar Nasional yang digelar di Hotel Aston Manado, Senin 30 Mei 2011 lalu



MENCUATNYA keberadaan Negara Islam Indonesia (NII) serta makin santernya isu radikalisme agama yang dinilai mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta Pancasila direspons berbagai kalangan baik pemerintah, pemuka agama dan kalangan masyarakat umum. Mulai dari kegiatan dialog, seminar dan lokakarya bahkan aksi turun ke jalan serta munculnya forum-forum kerukunan kian marak. Tema yang diusung pun tak jauh berbeda, bagaimana menangkal radikalisme agama, membangun kerukunan hidup bersama serta komitmen pada Pancasila. 



Dialog kaum Bapak Gereja se-Sulut yang diprakarsai Pria Kaum Bapak (P/KB) Sinode GMIM, Sabtu 28 Mei 2011 lalu, menghadirkan Mentri PAN dan Reformasi Birokrasi, EE Mangindaan, Ketua Sinode Am Gereja Suluttenggo, Pdt Decky Lolowang MTh serta Pastor Prof Dr Yong Ohoitimur MSC. Dari sisi materi dan kualitas pemateri, mungkin kita sepakat untuk tidak meragukan kualitas ketiga narasumber yang dihadirkan.
Selang dua hari kemudian, Senin 30 Mei 2011, giliran Komisi Pelayanan Pemuda Sinode GMIM dan GP Ansor bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Sulut menggelar Seminar dan Lokakarya Nasional, dengan Tema Negara Kebangsaan versus Radikalisme Agama. Sejumlah tokoh nasional pun dihadirkan, Ketua Umum PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia), Pdt Dr AA Yewangoe, Sekretaris Komisi Hubungan Antar Agama KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), Romo Benny Susetyo  dan Ketua PB NU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama), Yahya Staquf. Acara yang digelar di Hotel Aston Manado ini juga melibatkan ratusan siswa SMA, selain kalangan pemuda dan mahasiswa.
Dengan mengambil momentum hari hari lahir Pancasila, Rabu 01 Juni 2011, ribuan orang melakukan long march dari Lapangan KONI Sario menuju Taman Kesatuan Bangsa Manado. Mulai dari anak sekolah, PNS hingga elemen masyarakat lainnya. Komitmen bersama diusung yakni setia pada Pancasila serta menghargai kemajemukan dalam membangun kehidupan berbangsa yang rukun.
Tercatat, sejumlah kegiatan lainnya juga pernah digelar dan sedang digagas dengan tema yang sama yakni kerukunan umat beragama. Bahkan sejumlah forum, baik yang terdiri dari para pemimpin agama, sampai pada pemuda lintas agama juga tumbuh subur di daerah ini.
Namun apakah keberadaan berbagai forum tersebut, juga hasil-hasil sejumlah kegiatan itu mampu untuk diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat yang plural? Ataukah hanya sekadar simbolis dan seremonial belaka. Bahkan lebih memiriskan jika ternyata kampanye masalah kerukunan beragama ini hanya menjadi sebuah proyek semata dari kelompok tertentu yang ingin menunjukan keberadaannya serta kepentingannya. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena motivasi untuk membangun kerukunan ternyata juga ditunggangi dengan kepentingan lain. Sementara di sisi lain, upaya untuk menunjukan identitas golongan tertentu tetap dinyalakan ketika berada dalam golongannya yang justru menggerogoti paham universal.
Pernyataan Ketua Sinode Am Gereja Suluttenggo, Pdt Decky Lolowang MTh  menarik dan penting untuk direfleksikan sekaligus diwujudnyatakan dalam kehidupan beragama.  
Untuk kalangan Kristiani, dalam membangun kerukunan hidup berdampingan dengan agama lain, Pdt Lolowang menyatakan perlunya reorientasi dan reposisi bergereja. Pasalnya, penyebaran gereja yang mencolok dengan berbagai atribut dan simbol-simbol serta kegiatan yang demonstrative telah menimbulkan kecemburuan hidup beragama. Gereja bahkan telah terjebak menunjukan diri secara simbolis dan seremonial. Dikatakan Lolowang, kekhususan suatu kelompok yang ditunjukan lewat symbol-simbol secara mencolok menjadi biang kerok kehancuran kerukunan. “Gereja jangan paksakan doktrin, tapi lewat sikap dan perilaku yang baik,” tegas Pdt Lolowang.
Kembali ke persoalan bagaimana membangun kerukunan umat beragama, tentu kita harapkan kegiatan seperti doa bersama, pendirian forum-forum kerukunan tidak sekadar simbolis, seremonial dan formalitas belaka. Apalagi diboncengi kepentingan tertentu. Kerukunan yang dibangun tak hanya di kalangan elit tokoh agama, ataupun menjadi jargon dari pemerintah, tapi harus mampu sampai pada tingkatan jemaat masing-masing golongan agama.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar