Seminar Nasional yang digelar di Hotel Aston Manado, Senin 30 Mei 2011 lalu
MENCUATNYA
keberadaan Negara Islam Indonesia (NII) serta makin santernya isu radikalisme
agama yang dinilai mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta
Pancasila direspons berbagai kalangan baik pemerintah, pemuka agama dan
kalangan masyarakat umum. Mulai dari kegiatan dialog, seminar dan lokakarya
bahkan aksi turun ke jalan serta munculnya forum-forum kerukunan kian marak.
Tema yang diusung pun tak jauh berbeda, bagaimana menangkal radikalisme agama,
membangun kerukunan hidup bersama serta komitmen pada Pancasila.
Dialog kaum Bapak Gereja se-Sulut yang diprakarsai Pria Kaum
Bapak (P/KB) Sinode GMIM, Sabtu 28 Mei 2011 lalu, menghadirkan Mentri PAN dan
Reformasi Birokrasi, EE Mangindaan, Ketua Sinode Am Gereja Suluttenggo, Pdt
Decky Lolowang MTh serta Pastor Prof Dr Yong Ohoitimur MSC. Dari sisi materi
dan kualitas pemateri, mungkin kita sepakat untuk tidak meragukan kualitas
ketiga narasumber yang dihadirkan.
Selang dua hari kemudian, Senin 30 Mei 2011, giliran Komisi
Pelayanan Pemuda Sinode GMIM dan GP Ansor bekerja sama dengan Dinas Pendidikan
Nasional Propinsi Sulut menggelar Seminar dan Lokakarya Nasional, dengan Tema
Negara Kebangsaan versus Radikalisme Agama. Sejumlah tokoh nasional pun
dihadirkan, Ketua Umum PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia), Pdt Dr AA
Yewangoe, Sekretaris Komisi Hubungan Antar Agama KWI (Konferensi Waligereja
Indonesia), Romo Benny Susetyo dan Ketua
PB NU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama), Yahya Staquf. Acara yang digelar di
Hotel Aston Manado ini juga melibatkan ratusan siswa SMA, selain kalangan
pemuda dan mahasiswa.
Dengan mengambil momentum hari hari lahir Pancasila, Rabu 01
Juni 2011, ribuan orang melakukan long march dari Lapangan KONI Sario menuju
Taman Kesatuan Bangsa Manado. Mulai dari anak sekolah, PNS hingga elemen
masyarakat lainnya. Komitmen bersama diusung yakni setia pada Pancasila serta
menghargai kemajemukan dalam membangun kehidupan berbangsa yang rukun.
Tercatat, sejumlah kegiatan lainnya juga pernah digelar dan
sedang digagas dengan tema yang sama yakni kerukunan umat beragama. Bahkan
sejumlah forum, baik yang terdiri dari para pemimpin agama, sampai pada pemuda
lintas agama juga tumbuh subur di daerah ini.
Namun apakah keberadaan berbagai forum tersebut, juga
hasil-hasil sejumlah kegiatan itu mampu untuk diimplementasikan dalam kehidupan
masyarakat yang plural? Ataukah hanya sekadar simbolis dan seremonial belaka.
Bahkan lebih memiriskan jika ternyata kampanye masalah kerukunan beragama ini
hanya menjadi sebuah proyek semata dari kelompok tertentu yang ingin menunjukan
keberadaannya serta kepentingannya. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena
motivasi untuk membangun kerukunan ternyata juga ditunggangi dengan kepentingan
lain. Sementara di sisi lain, upaya untuk menunjukan identitas golongan
tertentu tetap dinyalakan ketika berada dalam golongannya yang justru
menggerogoti paham universal.
Pernyataan Ketua Sinode Am Gereja Suluttenggo, Pdt Decky
Lolowang MTh menarik dan penting untuk
direfleksikan sekaligus diwujudnyatakan dalam kehidupan beragama.
Untuk kalangan Kristiani, dalam membangun kerukunan hidup
berdampingan dengan agama lain, Pdt Lolowang menyatakan perlunya reorientasi
dan reposisi bergereja. Pasalnya, penyebaran gereja yang mencolok dengan
berbagai atribut dan simbol-simbol serta kegiatan yang demonstrative telah
menimbulkan kecemburuan hidup beragama. Gereja bahkan telah terjebak menunjukan
diri secara simbolis dan seremonial. Dikatakan Lolowang, kekhususan suatu
kelompok yang ditunjukan lewat symbol-simbol secara mencolok menjadi biang kerok
kehancuran kerukunan. “Gereja jangan paksakan doktrin, tapi lewat sikap dan
perilaku yang baik,” tegas Pdt Lolowang.
Kembali ke persoalan bagaimana membangun kerukunan umat
beragama, tentu kita harapkan kegiatan seperti doa bersama, pendirian forum-forum
kerukunan tidak sekadar simbolis, seremonial dan formalitas belaka. Apalagi
diboncengi kepentingan tertentu. Kerukunan yang dibangun tak hanya di kalangan
elit tokoh agama, ataupun menjadi jargon dari pemerintah, tapi harus mampu
sampai pada tingkatan jemaat masing-masing golongan agama.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar