ALIANSI Jurnalis
Independen (AJI) mengecam tindakan polisi menetapkan Pemimpin Redaksi Harian
The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, sebagai tersangka tindak pidana
penistaan agama. Menurut AJI, kasus pemuatan karikatur yang diduga menghina
agama tertentu itu telah diselesaikan di Dewan Pers.
Ketua Umum
AJI, Suwarjono, menyatakan, The Jakarta Post telah melaksanakan sanksi yang
diputuskan Dewan Pers yaitu koreksi dan meminta maaf. “Jakarta Post telah
meminta maaf dan menyatakan mencabut karikatur tersebut,” kata Jono, panggilan
akrab Suwarjono, di Jakarta, Jumat 12 Desember 2014.
Permintaan
maaf dalam dua bahasa yang dilakukan Jakarta Post itu, kata Jono, menunjukkan
itikad baik dari Jakarta Post, bahwa pemuatan karikatur tersebut tidak
bermaksud menghina atau menistakan satu agama tertentu. Bahkan justru, kata
Jono, itikad pemuatan karikatur tersebut adalah mengingatkan publik tentang
bahaya sebuah organisasi radikal yang bisa mengancam ketertiban sipil dan
bahkan kemerdekaan berpendapat di Indonesia.
AJI
mendesak, polisi menghentikan penyidikan dugaan pidana atas Meidyatama Suryodiningrat. Polisi
hendaknya mengutamakan penyelesaian kasus pers oleh Dewan Pers dan dalam hal
ini, Jakarta Post telah beritikad baik menjalankan proses di Dewan Pers. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Dewan
Pers memiliki kewenangan menyelesaikan pengaduan masyarakat atas kasus-kasus
yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
AJI juga
mengimbau publik untuk tidak mudah melakukan kriminalisasi atas media,
sebaiknya sampaikan keberatan atau keluhan ke Dewan Pers. Kebebasan pers yang
kita nikmati hari ini, menurut Jono, adalah bagian dari kebebasan berpendapat
rakyat. Kebebasan pers adalah kebebasan kita semua. "Sudah
ada MoU antara Dewan Pers dan Kepolisian RI yang ditandatangani Pak Bagir Manan
dan Jenderal Pol Timur Pradopo tahun 2012 lalu. Kasus ini jelas wewenang Dewan
Pers untuk menangani dan menyelesaikan. Langkah polisi melanjutkan kasus ini
sudah masuk kriminalisasi media yang dilakukan negara," kata Jono.
Apabila
kasus pemidanaan ini tetap berlanjut, akan menjadi mimpi buruk bagi
perkembangan kebabasan pers di Indonesia. Siapapun warga yang membuat laporan
ke kepolisian, terancam akan diberlakukan sama dan akan dikriminalisasikan.
Pembungkaman pers akan kembali terjadi. "Lalu apa manfaatnya UU Pers yang
lex specialis kalau semua masuk ranah pidana," kata dia.
Pemred
Jakarta Post diproses berdasarkan Laporan Polisi Nomor: 687/VII/2014 tertanggal
15 Juli 2014. Laporan dibuat Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh
Jakarta (KMJ) Edy Mulyadi yang menyatakan, harian The Jakarta Post edisi
terbitan 3 Juli 2014 memuat kartun yang mencantumkan karikatur dengan kalimat
bertulisan Arab La ilaha illallah yang berarti "Tidak ada Tuhan selain
Allah" pada sebuah gambar tengkorak khas bajak laut merupakan penghinaan
terhadap agama.
Menurut
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya,
Komisaris Besar Rikwanto di Jakarta, Kamis 11 Desember 2014, penetapan
tersangka atas Meidyatama setelah penyidik mendengar keterangan sejumlah saksi
ahli pidana, saksi ahli agama dan Dewan Pers.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar