PEMODAL
menjadi tantangan besar yang dihadapi pelaku industri pers dalam upaya mencapai
kemerdekaan, profesionalisme, mutu, dan
dan kesejahteraan pelaku industri itu.
Ketua Dewan
Pers, Bagir Manan menilai ada banyak tantangan yang dihadapi insan pers di era
semakin berkembangnya teknologi informasi. “Saya berpendapat, tantangan di
industri pers telah disadari oleh kita bersama secara mendalam. Saya akan
bedakan tantangan dari internal dan unsur luar,” katanya dalam Seminar Nasional
Kewirausahaan Bidang Media Bagi Jurnalis di Balai Sidang Bung Hatta,
Bukittinggi, Kamis (27/11/2014).
Dia
mengatakan dari internal, tantangan yang dihadapi pelaku media adalah
konvergensi pers. Konsekuensi dari kemajuan teknologi itu, monipoli oleh
kelompok pemodal rentan terjadi. Persoalannya terletak peraturan, mesti ada
rule of the game yang memberi manfaat atas perkembangan tersebut.
Kemudian,
tantangan memaksimalkan peran asosiasi pers agar lebih member manfaat terhadap
komunitas pers dan peningkatan mutu.
Tantangan
lainnya, kata Bagir, berkembangnya media sosial yang harus diikuti dengan
pemahaman terhadap etika, aturan dan undang-undang, sehingga kehadiran media
sosial ikut menguatkan fungsi pers.
“Tantangan
berikutnya, pers sebagai sarana meningkatkan suatu peradaban, bukan
sebaliknya,” ujar mantan Ketua MA itu.
Dia
menyebutkan dari unsur eksternal tantangan yang dihadapi industri media adalah
dominasi pemilik modal, yang berpusat apa upaya memperoleh keuntungan semata,
dan politisasi pers oleh pemodal. “Akhirnya, baik atas dasar pertimbangan
ekonomi maupun politik terjadilah pembobolan fire wall yang memisahkan fungsi
jurnalistik dan bisnis,” sebutnya.
Sementara
itu, anggota Dewan Pers, Yoseph Adi Prasetyo menyatakan hal menarik. Menurut
Stanley, sapaan akrabnya, di tengah serangan media digital, keberadaan media
cetak bisa diibaratkan sebagai dinosaurus generasi yang terakhir. Yang artinya,
sementara menuju pada kepunahan. “Meski Serikat Penerbitan Pers masih tetap
otpimis dengan eksistensi media cetak, namun satu kenyataan ketika memang era
cetak sudah berganti digital,” papar Stanley.
Seminar yang
digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam rangkaian Kongres IX
AJI itu menekankan upaya peningkatan kesejahteraan jurnalis dan pelaku industri
media untuk memanfaatkan peluang di era teknologi.
Ketua Umum
AJI Eko Maryadi mengatakan lembaganya mendorong jurnalis membangun perusahaan
pers di daerah, sehingga monopoli informasi tidak hanya terpusat oleh pemodal
media besar. “Salah satu cara AJI adalah mendorong semkin berkembangnya media
baru di daerah, dan peluang-peluang usaha di bidang media yang bisa
dimanfaatkan oleh jurnalis,” katanya.
Item,
panggilan akrab Eko menuturkan AJI memfasilitasi anggota melalui pelatihan dan
peningkatan kapasitas serta penguatan penerapan etik, sehingga profesionalitas
jurnalis terjamin.
Sebelum
pelaksanaan seminar, Kamis (27/11) kemarin, rangkaian kegiatan AJI diawali
dengan welcome dinner yang mengambil tempat di Istana Bung Hatta, Bukittinggi.
Sedangkan
hingga, tadi malam, agenda kongres sudah dimulai dan dipimpin tiga pimpinan
siding tetap yakni Jufry Asmaradhana, Sofiardy, dan Aryo Wisanggeni.
Agenda Jumat
(28/11) hari ini, dipastikan bakal memanas dengan pembahasan laporan
pertanggungjawaban serta memasuki tahapan pencalonan Ketua Umum dan Sekjen AJI
Indonesia Periode 2014 – 2017.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar