Sejumlah mahasiswa mengajukan pertanyaan ke AJI Manado. Sesi tanya jawab ini dipandu moderator Mira Wongkar.
HARI
terakhir pelaksanaan Masa Perkenalan Kampus (Maperkam) di Universitas Katolik
(Unika) De La Salle Manado. Rabu 15 Agustus 2012. Pada penghujung sesi, Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Manado tampil membawakan materi Pengantar Jurnalistik.
Sejumlah pertanyaan, masukan, serta kritikan, mengalir dalam sesi tanya jawab.
Termasuk meminta jurnalis untuk lebih memperhatikan etika.
Jarum jam tepat menunjukan pukul 14.00 WITA, ketika
mobil terrios hitam yang kami kendarai tiba di Kampus Unika De La Salle Manado.
Saya bersama dua anggota AJI Manado, Novie Suwu dan Nolfie Tamod, segera turun
dari mobil. “Kita ganti kemeja dulu ketua. Panas,” ujar Sekretaris AJI Manado,
Ishak Kusrant yang berperan sebagai driver pada siang itu.
Agak kebingungan kami mencari tempat berlangsungnya
kegiatan Maperkam. Humas Unika De La Salle Teddy Tandaju dan Pembantu Rektor
III, Valentino Lumowa tak berhasil saya hubungi via ponsel mereka. “kegiatannya
di bawah sana,” ujar Novie sambil menunjuk sebuah bangunan baru yang letaknya
sekitar 100 meter dari tempat kami memarkir mobil. Sebelumnya, Novie sempat
bertanya pada beberapa mahasiswa yang kebetulan berada di sekitar situ. “Tau
begini, tu oto bawa trus jo kamari. Jauh ini mo bajalan,” balas Nolfie.
Berempat, di tengah teriknya matahari yang menyengat
Kota manado di siang menjelang sore itu, kami berjalan perlahan menuju sebuah
bangunan yang berada di dataran rendah di sisi kiri kampus tersebut. Kami tiba
di aula tersebut. Sambil menengok ke dalam, ratusan mahasiswa baru peserta
Maperkam sedang menikmati makan siang. Sementara sejumlah senior membacakan
surat-surat cinta. “Yessi mo kemari,” ujar Ishak memecah kebingungan kami di
tengah lautan mahasiswa. Yessi, cewek berdarah Tionghoa ini mahasiswa semester
VII Fakultas Hukum Unika De La Salle Manado. Dia salah satu mahasiswa yang
masuk dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Manado, bentukan AJI. Gadis berkacamata
ini datang menghampiri kami, selanjutnya berbincang-bincang dengan Ishak. Novie
dan Nolfie sibuk mengutak-atik ponsel mereka. Saya menengok kembali ke dalam
ruangan. “Hy Mner. Datang baliput,” ujar seorang mahasiswa yang mengenakan
seragam panitia Maperkam. “Hai Jein, ya mo datang liputan di sini,” balas saya.
Jein kuliah di Fakultas Keperawatan. Nama lengkapnya Jein Karundeng. Dia dulu
siswa di Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Gunung Maria Tomohon, di mana saya
pernah jadi staf pengajar di sana sekitar tahun 2001-2003. “Kita coba hubungi
Sir Teddy dan Sir Vallen, tapi tidak diangkat telponnya,” ujar saya. “Kalo Sir Valen
ada urusan dengan orang tua mahasiswa. Sir Teddy kemungkinan ada rapat
pimpinan,” jelas Jein.
“Eh Kak, sori kita nda lia. Soalnya ada sibuk-sibuk
dengan kegiatan,” sapa Yesica, mahasiswi Fakultas Hukum yang juga masih
personil LBH Pers Manado. “Ok nda apa-apa,” jawab Ishak yang selanjutnya
ngobrol dengan Yesica.
Saya melirik jam di ponsel. Pukul 14.30 WITA. “Kita
mo kase materi tentang jurnalistik di kegiatan ini,” ujar saya. Jein
selanjutnya mengambil jadwal kegiatan. “Oh iyo Mner. Jadwalnya jam 14.45 WITA. Habis
ini (makan siang), lanjut materi Jurnalistik,” jelas Jein.
Jein bergegas ke dalam ruangan. Tak lama kemudian
dia kembali bersama seorang mahasiswi. Namanya Mira Wongkar. Mahasiswi Fakultas
Keperawatan ini termasuk panitia Maperkam, seksi acara. “Kita panggil kak saja
neh,” ujar Mira yang langsung diiyakan Ishak. Mira kemudian menulis nama saya
dan Ishak sebagai pemateri. “Kak, so boleh masuk. Materi so mo mulai,” ujar
Mira lagi. “Sek, masuk jo lebe dulu,” kata saya kepada Ishak.
Mira, Ishak dan saya masuk ke dalam aula yang
dipenuhi sebagian besar mahasiswa baru, serta beberapa orang panitia. Mira memberikan
pengantar, sekaligus memperkenalkan saya dan Ishak. Sementara Novie dan Nolfie
mengambil peran sebagai fotografer.
Di hadapan tak kurang dari 520 mahasiswa baru yang
terdiri dari lima fakultas di kampus biru tersebut, saya mulai mamaparkan materi selama lebih kurang 20
menit. Saya lebih banyak menggambarkan tentang pengetahuan dasar jurnalistik,
mekanisme kerja jurnalis, etika, hingga tantangan dan peluang konvergensi
media.
Dipandu Mira selaku moderator, sesi pertama tanya
jawab langsung dimanfaatkan oleh sejumlah mahasiswa untuk menanggapi materi
yang telah disampaikan. “Bagaimana menjadi jurnalis yang profesional, bagaimana
nasib media cetak di tengah derasnya hantaman new media atau media online,”
ujar sejumlah mahasiswa.
Mira, gadis cantik dengan apik memandu jalannya sesi
tanya jawab sehingga membuat suasana menjadi lebih hidup. Setelah satu per satu
pertanyaan dijawab oleh narasumber, Mira kembali membuka sesi kedua. Tak kurang
dari tujuh mahasiswa tampil ke depan menyampaikan tanggapannya. Sejumlah
pertanyaan dan kritikan kembali diajukan, antara lain, bagaimana dengan
wartawan yang membuat berita yang tidak sebenarnya atau fiktif, mengejar
narasumber sampai melewati batas-batas privasi seseorang, strategi membuat
berita yang menarik. Selain itu, mahasiswa lainnya juga bertanya tentang sejauh
mana seorang jurnalis taat pada kode etik, serta melemahnya peranan pers
sebagai media edukasi yang terus tergerus dengan sisi entertainment yang penuh
dengan desas-desus dan gosip.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya mengatakan,
membangun profesionalisme jurnalis dimulai dari proses rekrutmen calon jurnalis
dengan pola yang benar serta standar pendidikan yang jelas. Setelah itu, lanjut
dia, proses trainning atau pendidikan dan latihan (diklat) untuk calon wartawan
harus benar-benar diperhatikan oleh perusahaan media atau redaksi yang
bersangkutan. “Selain mekanisme internal dalam ruang redaksi atau perusahaan
media saat rekrutment dan diklat, saat ini juga seorang jurnalis diharuskan
mengikuti Uji Kompetensi Jurnalis sehingga diharapkan menjadi jurnalis yang
profesional,” papar saya yang kemudian ditambahkan oleh Ishak.
Sedangkan terkait prilaku jurnalis serta penulisan
berita, saya mengatakan, semua wartawan harus tunduk pada kode etik jurnalistik
serta apa yang diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. “Kode etik
jurnalistik ini ibarat kitab suci bagi wartawan yang harus dijunjung, dipahami,
serta diimplementasikan dalam tugas-tugas jurnalistik. Dengan patuh pada kode
etik pada gesekan-gesekan di lapangan sebisa mungkin diminimalisir,” ujar saya
menjelaskan. Sementara terkait “nasib” media cetak terkait derasnya hantaman
media online, saya mengatakan, ke depannya media cetak harus mampu mengandalkan
kedalaman berita, analisa yang tajam, serta ketuntasan semua isu. “Karena saat
ini orang yang ingin mendapatkan informasi aktual lebih cenderung lewat media
online, sehingga untuk tetap bisa bertahan maka media cetak harus mengandalkan
kedalaman, ketajaman serta ketuntasan dalam mengulas sebuah isu atau peristiwa.
Kegiatan Maperkam ini bisa saja sudah ditulis oleh saudari Novie dan Kevrent
Sidabutar yang bekerja untuk media online yang mengandalkan kecepatan,” papar
saya mencontohkan, setelah sebelumnya melihat Kevrent ikut bergabung bersama
Novie dan Nolfie.
Mahasiswa baru masih begitu antusias menanggapi
materi yang diberikan, ketika Mira dengan tenang menyatakan, sesi untuk topik
Pengantar Jurnalistik telah selesai.
Suasana rungan terasa panas. “Kak minum dulu airnya,”
ujar Mira pada saya yang sementara sibuk membereskan lap top yang saya gunakan
tadi. Ishak dan Otnie masih sibuk mengambil gambar. Sementara saya,
berbincang-bincang dengan Mira. “Ayo torang so mo pigi,” ujar saya. “Makasih
neh Kak,” ujar Mira.
Akhirnya kami berlimapun pergi meninggalkan aula. “Torang
singgah pa Dekan Hukum dulu,” ujar Ishak. Kamipun melangkah menuju ruangan
Dekan Fakultas Hukum. Namun karena masih banyak tamu, akmi menunggu di luar. Tiba-tiba
Vallen keluar dari ruangannya, yang bersebelahan dengan ruangan Dekan Fakultas Hukum.
“Eh, sori Sep tadi kita ada urusan dengan orang tua mahasiswa baru. Tapi acaranya
lancar toh. Trimakasih untuk AJI. Tapi inikan baru langkah awal, berikut ada
lagi kegiatan jurnalitik di kampus ini,” ujar Vallen. “Ok Sir. Nanti kita susun
konsepnya, baru kita bahas lebih detail,” ujar saya. “Ya sudah, percayakan saja
pada AJI yang susun formatnya,” balas Vallen sambil mohon diri untuk ikut misa.
“Sek, kayaknya Dekan sibuk. Nanti lain kali saja kita ketemu Dekan,” ujar saya.
Akhirnya kami berlima pun meninggalkan ruangan Dekan, menuju ke halaman
parkiran.
“Tunggu ketua, Jefry deng Kenny kata so di sini,”
ujar Ishak. Jefry dan Kenny, dua wartawan televisi lokal yang juga anggota AJI
Manado ternyata menyusul kami. “Sori ketua terlambat ini. Ada ke acara duka,”
ujar Jefry. “Nda apa Je. So klar kwa se materi tadi,’ balas saya. “Eh, ini
pegawai pegadaian atau apa nih,” ujar Kevrent mengolok-olok Jefry dan Kenny yang
sore itu mengenakan seragam kantor mereka yang berwarna hijau. Keduanya hanya tertawa
membalas olok-olokan Kevrent.
Hari makin sore. Pukul 16 lebih sedikit ketika kami
pergi meninggalkan kawasan kampus Unika De La Salle Manado.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar