Wagub Sulut, DR Djauhari kansil MPd
WAKIL Gubernur
(Wagub) Sulut, DR Djauhari Kansil MPd jadi bulan-bulanan komentar ratusan
pembaca yang menanggapi pemberitaan di sebuah media siber di Manado. Dalam pemberitaan
media tersebut, Kansil disebutkan
memberikan pernyataan larangan bagi dokter Puskesmas untuk membuka praktek
umum. Kansil mengklarifikasi bahwa dia tak pernah memberikan pernyataan seperti
itu. Dia juga menyesalkan pengelola media online yang memuat sejumlah
komentar yang mengkritik, memojokkan, bahkan menghina dia.
Wawancara dengan sejumlah wartawan sudah selesai. Kansil yang
didampingi Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Propinsi Sulut, Drs JSJ
Wowor MSi akan segera meninggalkan lokasi SMP Kristen Eben Haeser Manado. Hari itu,
Senin 23 April 2012. Wagub baru saja membuka naskah Ujian Nasional (UN) tingkat
SMP sederajat. “Ada lagi yang kita mo klarifikasi, terkait dokter puskesmas
yang buka praktek,” ujar Kansil kepada sejumlah wartawan yang tadi sudah
mewawancarainya. “Oh..Pak Wagub, itu sudah dimuat beritanya,” jawab salah
seorang wartawan yang sehari-harinya meliput di kantor Gubernur Sulut. “Ya..tapi
pemberitaannya tidak seperti itu. Saya tidak katakan bahwa dokter Puskesmas
dilarang buka praktek,” sambung mantan Kepala Dinas Diknas Propinsi Sulut ini.
Mendengar hal ini saya cukup bingung, namun coba dengan cepat
menangkap inti persoalan. “Akibat pernyataan itu, saya dikritik. Bahkan dihujat.
Ada yang bilang doktor mar bogo-bogo. Ada yang bilang Cuma lulus SPG jadi
maklum,” ujar Kansil. “Saya ini ada raih gelar doktor dengan susah payah,”
tandas dia.
Sementara saya masih tenggelam dalam kebingungan, Kansil
memaparkan, dokter yang ditugaskan di Puskesmas
untuk fokus pada tugas utamanya melayani masyarakat di Puskesmas. Kansil
mengatakan, bukannya dokter puskesmas tak boleh praktek, tapi jangan sampai
lantaran sibuk praktek maka pelayanan masyarakat jadi terbengkalai. “Jadi bapak gubernur dan saya
bukan melarang dokter Puskesmas untuk praktek, tapi mengutamakan
fungsi tugasnya sebagai dokter di Puskesmas. Jangan saat masyarakat butuhkan,
ada di mana dokter. Jangan pagi-pagi pasien so antri, di mana dokter? Mungkin dia
masih sibuk buka praktek. Silahkan dia buka praktek, tapi tidak mengganggu
pelayanan kepada masyarakat,” papar Kansil. Beberapa saat kemudian, pejabat
yang memulai karirnya sebagai seorang guru ini pergi meninggalkan lokasi
tersebut.
“Ada persoalan apa sebenarnya,” tanya saya kepada beberapa
rekan wartawan. “Ada tu pemberitaan di media online. Wagub larang dokter
Puskesmas buka praktek,” jawab seorang teman wartawan. “Tidak Cuma di media
online, tapi juga di berbagai media cetak,” timpal kawan yang lain. “Ya..tapi
yang jadi persoalan adalah komentar-komentar pembaca di media online tersebut,”
timpal seorang jurnalis media cetak yang lain.
Akhirnya kami pun membahas tentang persoalan itu. Saya katakan,
ada beberapa kemungkinan apakah wagub yang keliru menyampaikan pernyataan, atau
kawan-kawan wartawan yang salah menangkap pernyataan Wagub. “Kalau wartawan
yang salah mendengar, kenapa di hampir semua media diberitakan bahwa Wagub
larang dokter Puskesmas buka praktek,” celutuk wartawan yang lain. “Tapi yang
kita tau wagub nda bilang begitu,” balas yang lain.
Perbincangan, diskusi atau perdebatan itu sejenak terhenti
karena kami harus melanjutkan liputan ke SMPN 7 Manado. Sambil menunggu waktu
untuk wawancara dengan kepsek, pembicaraan tentang polemik pernyataan wagub
kembali dibuka. “Tapi memang dokter Puskesmas nda boleh praktek. Dorang kan
dokter PNS, so diangkat untuk melayani masyarakat. Atau suka maso PNS supaya Cuma
harap dpaat pensiun, sementara tidak melayani masyarakat di Puskesmas dan Cuma buka
praktek,” ujar cewek bertubuh bongsor, wartawan sebuah koran lokal. “Dokter PNS
boleh praktek. Ada kwa depe aturan. Coba baca di Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
praktik dokter,” sela pria yang mengenakan kemeja warna kuning hitam, wartawan
senior di salah satu media cetak di Manado. “Ya..tapi yang dipersoalkan di sini
adalah etika dalam pemberitaan media online. Masa komentar yang menyudutkan
Wagub seperti itu dimuat. Kita pernah ikut seminar yang membahas tentang
masalah ini,” tandas yang lain.
Pembicaraan kembali terhenti. Kami harus menuju SMPN 14, dan
SMPN 13 Manado untuk memantau pelaksanaan UN. Setelah kegiatan liputan selesai,
sore harinya saya pun beranjak kembali ke kost di tengah gerimis hujan. Penasaran
dengan persoalan tadi, saya pun segera membuka media online tersebut untuk
menyimak berita terkait pernyataan wagub tersebut. Berita itu dirilis 11 April
2012.
Wakil
Gubernur (Wagub), Dr Djouhari Kansil MPd kembali mengingatkan mengenai peran
dokter yang bertugas di puskesmas yakni harus full melayani pasien. “Kalau
ditugaskan di puskesmas, berarti harus full melayani pasien di puskesmas dan
jangan melakukan praktik umum,” tegasnya.
Menurut
Wagub, hal itu dimaksudkan agar dokter puskesmas harus fokus dengan tugas-tugas
pokok yang diembannya yaitu melayani masyarakat selama 24 jam setiap hari.
Ada pun
pernyataan Kansil ini merupakan tindak lanjut dari penegasan Gubernur, Dr Sinyo
Harry Sarundajang. “Jika kedapatan ada dokter puskesmas yang melakukan praktik,
maka kepada yang bersangkutan akan diberikan sanksi tegas oleh pimpinan,”
tandasnya mengakhiri.
Masih terkait dengan berita tersebut juga dimuat tanggapan
dari anggota DPRD Provinsi Sulut, Dr Ivone Bentelu.
Pernyataan
Wagub Sulut DR Djouhari Kansil bahwa dokter yang bertugas di Puskesmas dilarang
melakukan praktik umum mendapat tanggapan dari anggota DPRD Sulut, dr Ivone
Bentelu. Sebagai seorang dokter, Bentelu berpendapat tidaklah salah jika ada
dokter yang membuka praktik umum asalkan tetap melaksanakan tugasnya sebagai
dokter di Puskesmas sesuai tugas pokok. “Selama dokter yang melayanani di
Puskesmas melaksanakan tugasnya sesuai tupoksi maka dokter yang melaksanakan
praktik umum juga tidak melanggar undang-undang,” tukas Bentelu kepada
beritamanado, malam ini.
Legislator
PDI-Perjuangan ini bahkan menjelaskan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
praktik dokter/dokter gigi yaitu salah-satunya menjelaskan bahwa seorang dokter
dapat membuka praktik umum maksimal di tiga tempat yang berbeda sesuai ijin
praktik. “Jadi aturannya memang ada, namun saya setuju jika semua dokter yang
bertugas di Puskesmas untuk meningkatkan kinerja dan pelayanannya untuk
kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.
Selanjutnya saya lantas membuka komentar para pembaca terkait
pernyataan wagub tersebut. Hingga Senin 23 April 2012 pukul 15.00 WITA, tak
kurang dari 110 tanggapan disampaikan pembaca. Sebagian besar mengkritik
pernyataan Wagub. Tak hanya mengkritik, tapi juga menghujat, bahkan bisa
dikatakan sebagai penghinaan. Simak tanggapan-tanggapan berikut.
“Pak
wagub, aturan dimana yang mengatakan Dokter puskesmas tak bisa buka praktek??
emang udah berpa banyak insentif Pemprov untuk para dokter di puskesmas? ” Pernyataan
disampaikan penanggap yang menggunakan nama dokter. Yang lainnya menulis, “Ini wagub tapi kalo ngomong nyanda pake
otak, memang susah kalu cuma lulus spg ..asal malontok ngana ungke.”
Yang lainnya menulis, “katanya
nih Wagub Sulut Jebolan S3 di salah satu PT Jatim ta? lha kok….??? bemanaaaaeeee……????
Hahahahahahaa.”
Sebagian besar menghujat Wagub. Tapi ada pernyataan yang
terkesan membela wagub. “Makanya JANGAN
JADI DOKTER PUSKESMAS kalau ingin ingin kaya. Namanya sudah menjadi PNS berarti
harus taat kepada aturan pegawai.”
Satu dua komentar memberikan solusi. Ada komentar yang lebih solutif. “Mudah2an pak wagub punya waktu untuk
klarifikasi hal ini pada KadinkesProv Sulut dan Kemenkes, tdk kalah pentingnya
IDI Sulut, saya cuma prihatin aja, kok bisa keluar pernyataan begini….saya berharap
bapak juga rela menjelaskan hasil klarifikasi, kami tunggu…”
Sebenarnya saya ingin membaca dan mendalami UU Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktek Dokter dan Dokter Gigi. Tapi saya teringat pernyataan
sahabat saya, seorang advokad muda. “Jika ada satu dua orang hukum bertemu,
maka akan muncul banyak penafsiran terhadap sebuah aturan.” Maka saya memilih
untuk tidak melibatkan diri dalam menafsir UU tersebut. Apalagi belum bisa
dipastikan apakah memang Wagub menyampaikan pernyataan seperti itu yang lantas
mengundang reaksi yang berlebihan dari penghuni dunia maya, ataukah wartawan
yang salah menulis.
Wagub lantas memberikan klarifikasi tentang pernyataannya itu
yang sebenarnya bukan melarang dokter Puskesmas melakukan praktek, tepai harus
lebih fokus pada tugas di Puskesmas dalam melayani masyarakat.
Namun persoalan belum selesai sampai di sini. Masih ada sisi
etika jurnalistik yang perlu dipahami bersama. Bagaimana dengan
tanggapan-tanggapan penghuni dunia maya yang telah menyudutkan bahkan menghina Wagub?
Siapa yang harus bertanggungjawab dengan munculnya postingan ini? Apakah dibiarkan
saja, atau disengaja oleh pengelola agar media online tersebut agar “naik daun”
dengan komentar-komentar pembacanya yang menyerang dan menghina pihak lain?
Dewan Pers telah mengeluarkan aturan tentang Pedoman
Pemberitaan Media Siber atau yang disingkat PPMS. Pada bagian ketiga dijelaskan
tentang isi buatan pengguna atau user generated content.
a. Media
siber wajib mencantumkan syarat dan ketentuan mengenai Isi Buatan Pengguna yang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode
Etik Jurnalistik, yang ditempatkan secara terang dan jelas.
b. Media
siber mewajibkan setiap pengguna untuk melakukan registrasi keanggotaan dan
melakukan proses log-in terlebih dahulu untuk dapat mempublikasikan semua
bentuk Isi Buatan Pengguna. Ketentuan mengenai log-in akan diatur lebih lanjut.
c. Dalam
registrasi tersebut, media siber mewajibkan pengguna memberi persetujuan
tertulis bahwa Isi Buatan Pengguna yang dipublikasikan:
1) Tidak
memuat isi bohong, fitnah, sadis dan cabul;
2) Tidak
memuat isi yang mengandung prasangka dan kebencian terkait dengan suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan;
3) Tidak
memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin
dan
bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin,
sakit,
cacat jiwa, atau cacat jasmani.
d. Media
siber memiliki kewenangan mutlak untuk mengedit atau menghapus Isi Buatan
Pengguna yang bertentangan dengan butir (c).
e. Media
siber wajib menyediakan mekanisme pengaduan Isi Buatan
Pengguna
yang dinilai melanggar ketentuan pada butir (c). Mekanisme
tersebut
harus disediakan di tempat yang dengan mudah dapat diakses pengguna.
f. Media
siber wajib menyunting, menghapus, dan melakukan tindakan
koreksi
setiap Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan dan melanggar
ketentuan
butir (c), sesegera mungkin secara proporsional
selambat-lambatnya
2 x 24 jam setelah pengaduan diterima.
g. Media
siber yang telah memenuhi ketentuan pada butir (a), (b),
(c), dan
(f) tidak dibebani tanggung jawab atas masalah yang ditimbulkan akibat pemuatan
isi yang melanggar ketentuan pada butir (c).
h. Media
siber bertanggung jawab atas Isi Buatan Pengguna yang
dilaporkan
bila tidak mengambil tindakan koreksi setelah batas waktu
sebagaimana
tersebut pada butir (f).
Membaca aturan di atas, bisa kita simpulkan bahwa tumbuhnya
media siber bak jamur di musim hujan ternyata belum dibarengi dengan pemahaman akan aturan main, terlebih
tanggungjawab sosial media untuk ikut mencerdaskan masyarakat. Sehingga hal-hal
seperti komentar yang bernuansa SARA serta menyerang pribadi tertentu bisa
diminimalisir.
Tulisan ini hampir rampung, Senin 23 April 2012 Pukul 23.10
WITA ketika tayangan di stasiun televisi
lokal menyiarkan wawancara dengan Wagub terkait masalah ini. Saya kembali
memeriksa beberapa kalimat untuk menyesuaikan dengan pernyataan langsung Wagub di
televisi.
Malam makin larut. Di luar sana terdengar butiran air hujan
yang jatuh di atas atap rumah. Rasa ngantuk pun mulai menyerang. Ah..akhirnya
tulisan ini rampung juga. Semoga menjadi pembelajaran bagi semua pihak,
termasuk para pekerja pers. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar