Senin, 23 April 2012

Wagub, Praktek Dokter dan Media Siber


          Wagub Sulut, DR Djauhari kansil MPd


WAKIL Gubernur (Wagub) Sulut, DR Djauhari Kansil MPd jadi bulan-bulanan komentar ratusan pembaca yang menanggapi pemberitaan di sebuah media siber di Manado. Dalam pemberitaan media tersebut, Kansil  disebutkan memberikan pernyataan larangan bagi dokter Puskesmas untuk membuka praktek umum. Kansil mengklarifikasi bahwa dia tak pernah memberikan pernyataan seperti itu. Dia juga menyesalkan pengelola media online yang memuat sejumlah komentar yang mengkritik, memojokkan, bahkan menghina dia. 

Wawancara dengan sejumlah wartawan sudah selesai. Kansil yang didampingi Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Propinsi Sulut, Drs JSJ Wowor MSi akan segera meninggalkan lokasi SMP Kristen Eben Haeser Manado. Hari itu, Senin 23 April 2012. Wagub baru saja membuka naskah Ujian Nasional (UN) tingkat SMP sederajat. “Ada lagi yang kita mo klarifikasi, terkait dokter puskesmas yang buka praktek,” ujar Kansil kepada sejumlah wartawan yang tadi sudah mewawancarainya. “Oh..Pak Wagub, itu sudah dimuat beritanya,” jawab salah seorang wartawan yang sehari-harinya meliput di kantor Gubernur Sulut. “Ya..tapi pemberitaannya tidak seperti itu. Saya tidak katakan bahwa dokter Puskesmas dilarang buka praktek,” sambung mantan Kepala Dinas Diknas Propinsi Sulut ini.
Mendengar hal ini saya cukup bingung, namun coba dengan cepat menangkap inti persoalan. “Akibat pernyataan itu, saya dikritik. Bahkan dihujat. Ada yang bilang doktor mar bogo-bogo. Ada yang bilang Cuma lulus SPG jadi maklum,” ujar Kansil. “Saya ini ada raih gelar doktor dengan susah payah,” tandas dia.
Sementara saya masih tenggelam dalam kebingungan, Kansil memaparkan, dokter yang ditugaskan di Puskesmas untuk fokus pada tugas utamanya melayani masyarakat di Puskesmas. Kansil mengatakan, bukannya dokter puskesmas tak boleh praktek, tapi jangan sampai lantaran sibuk praktek maka pelayanan masyarakat  jadi terbengkalai. “Jadi bapak gubernur dan saya bukan melarang dokter Puskesmas untuk praktek, tapi mengutamakan fungsi tugasnya sebagai dokter di Puskesmas. Jangan saat masyarakat butuhkan, ada di mana dokter. Jangan pagi-pagi pasien so antri, di mana dokter? Mungkin dia masih sibuk buka praktek. Silahkan dia buka praktek, tapi tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat,” papar Kansil. Beberapa saat kemudian, pejabat yang memulai karirnya sebagai seorang guru ini pergi meninggalkan lokasi tersebut.
“Ada persoalan apa sebenarnya,” tanya saya kepada beberapa rekan wartawan. “Ada tu pemberitaan di media online. Wagub larang dokter Puskesmas buka praktek,” jawab seorang teman wartawan. “Tidak Cuma di media online, tapi juga di berbagai media cetak,” timpal kawan yang lain. “Ya..tapi yang jadi persoalan adalah komentar-komentar pembaca di media online tersebut,” timpal seorang jurnalis media cetak yang lain.
Akhirnya kami pun membahas tentang persoalan itu. Saya katakan, ada beberapa kemungkinan apakah wagub yang keliru menyampaikan pernyataan, atau kawan-kawan wartawan yang salah menangkap pernyataan Wagub. “Kalau wartawan yang salah mendengar, kenapa di hampir semua media diberitakan bahwa Wagub larang dokter Puskesmas buka praktek,” celutuk wartawan yang lain. “Tapi yang kita tau wagub nda bilang begitu,” balas yang lain.
Perbincangan, diskusi atau perdebatan itu sejenak terhenti karena kami harus melanjutkan liputan ke SMPN 7 Manado. Sambil menunggu waktu untuk wawancara dengan kepsek, pembicaraan tentang polemik pernyataan wagub kembali dibuka. “Tapi memang dokter Puskesmas nda boleh praktek. Dorang kan dokter PNS, so diangkat untuk melayani masyarakat. Atau suka maso PNS supaya Cuma harap dpaat pensiun, sementara tidak melayani masyarakat di Puskesmas dan Cuma buka praktek,” ujar cewek bertubuh bongsor, wartawan sebuah koran lokal. “Dokter PNS boleh praktek. Ada kwa depe aturan. Coba baca di  Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik dokter,” sela pria yang mengenakan kemeja warna kuning hitam, wartawan senior di salah satu media cetak di Manado. “Ya..tapi yang dipersoalkan di sini adalah etika dalam pemberitaan media online. Masa komentar yang menyudutkan Wagub seperti itu dimuat. Kita pernah ikut seminar yang membahas tentang masalah ini,” tandas yang lain.
Pembicaraan kembali terhenti. Kami harus menuju SMPN 14, dan SMPN 13 Manado untuk memantau pelaksanaan UN. Setelah kegiatan liputan selesai, sore harinya saya pun beranjak kembali ke kost di tengah gerimis hujan. Penasaran dengan persoalan tadi, saya pun segera membuka media online tersebut untuk menyimak berita terkait pernyataan wagub tersebut. Berita itu dirilis 11 April 2012.
Wakil Gubernur (Wagub), Dr Djouhari Kansil MPd kembali mengingatkan mengenai peran dokter yang bertugas di puskesmas yakni harus full melayani pasien. “Kalau ditugaskan di puskesmas, berarti harus full melayani pasien di puskesmas dan jangan melakukan praktik umum,” tegasnya.
Menurut Wagub, hal itu dimaksudkan agar dokter puskesmas harus fokus dengan tugas-tugas pokok yang diembannya yaitu melayani masyarakat selama 24 jam setiap hari.
Ada pun pernyataan Kansil ini merupakan tindak lanjut dari penegasan Gubernur, Dr Sinyo Harry Sarundajang. “Jika kedapatan ada dokter puskesmas yang melakukan praktik, maka kepada yang bersangkutan akan diberikan sanksi tegas oleh pimpinan,” tandasnya mengakhiri.
Masih terkait dengan berita tersebut juga dimuat tanggapan dari anggota DPRD Provinsi Sulut, Dr Ivone Bentelu.
Pernyataan Wagub Sulut DR Djouhari Kansil bahwa dokter yang bertugas di Puskesmas dilarang melakukan praktik umum mendapat tanggapan dari anggota DPRD Sulut, dr Ivone Bentelu. Sebagai seorang dokter, Bentelu berpendapat tidaklah salah jika ada dokter yang membuka praktik umum asalkan tetap melaksanakan tugasnya sebagai dokter di Puskesmas sesuai tugas pokok. “Selama dokter yang melayanani di Puskesmas melaksanakan tugasnya sesuai tupoksi maka dokter yang melaksanakan praktik umum juga tidak melanggar undang-undang,” tukas Bentelu kepada beritamanado, malam ini.
Legislator PDI-Perjuangan ini bahkan menjelaskan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik dokter/dokter gigi yaitu salah-satunya menjelaskan bahwa seorang dokter dapat membuka praktik umum maksimal di tiga tempat yang berbeda sesuai ijin praktik. “Jadi aturannya memang ada, namun saya setuju jika semua dokter yang bertugas di Puskesmas untuk meningkatkan kinerja dan pelayanannya untuk kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.
Selanjutnya saya lantas membuka komentar para pembaca terkait pernyataan wagub tersebut. Hingga Senin 23 April 2012 pukul 15.00 WITA, tak kurang dari 110 tanggapan disampaikan pembaca. Sebagian besar mengkritik pernyataan Wagub. Tak hanya mengkritik, tapi juga menghujat, bahkan bisa dikatakan sebagai penghinaan. Simak tanggapan-tanggapan berikut.

“Pak wagub, aturan dimana yang mengatakan Dokter puskesmas tak bisa buka praktek?? emang udah berpa banyak insentif Pemprov untuk para dokter di puskesmas? ” Pernyataan disampaikan penanggap yang menggunakan nama dokter. Yang lainnya menulis, “Ini wagub tapi kalo ngomong nyanda pake otak, memang susah kalu cuma lulus spg ..asal malontok ngana ungke.”
Yang lainnya menulis, “katanya nih Wagub Sulut Jebolan S3 di salah satu PT Jatim ta? lha kok….??? bemanaaaaeeee……???? Hahahahahahaa.”
Sebagian besar menghujat Wagub. Tapi ada pernyataan yang terkesan membela wagub. “Makanya JANGAN JADI DOKTER PUSKESMAS kalau ingin ingin kaya. Namanya sudah menjadi PNS berarti harus taat kepada aturan pegawai.”
Satu dua komentar memberikan solusi.  Ada komentar yang lebih solutif. “Mudah2an pak wagub punya waktu untuk klarifikasi hal ini pada KadinkesProv Sulut dan Kemenkes, tdk kalah pentingnya IDI Sulut, saya cuma prihatin aja, kok bisa keluar pernyataan begini….saya berharap bapak juga rela menjelaskan hasil klarifikasi, kami tunggu…”
Sebenarnya saya ingin membaca dan mendalami UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Dokter dan Dokter Gigi. Tapi saya teringat pernyataan sahabat saya, seorang advokad muda. “Jika ada satu dua orang hukum bertemu, maka akan muncul banyak penafsiran terhadap sebuah aturan.” Maka saya memilih untuk tidak melibatkan diri dalam menafsir UU tersebut. Apalagi belum bisa dipastikan apakah memang Wagub menyampaikan pernyataan seperti itu yang lantas mengundang reaksi yang berlebihan dari penghuni dunia maya, ataukah wartawan yang salah menulis.
Wagub lantas memberikan klarifikasi tentang pernyataannya itu yang sebenarnya bukan melarang dokter Puskesmas melakukan praktek, tepai harus lebih fokus pada tugas di Puskesmas dalam melayani masyarakat.
Namun persoalan belum selesai sampai di sini. Masih ada sisi etika jurnalistik yang perlu dipahami bersama. Bagaimana dengan tanggapan-tanggapan penghuni dunia maya yang telah menyudutkan bahkan menghina Wagub? Siapa yang harus bertanggungjawab dengan munculnya postingan ini? Apakah dibiarkan saja, atau disengaja oleh pengelola agar media online tersebut agar “naik daun” dengan komentar-komentar pembacanya yang menyerang dan menghina pihak lain?
Dewan Pers telah mengeluarkan aturan tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber atau yang disingkat PPMS. Pada bagian ketiga dijelaskan tentang isi buatan pengguna atau user generated content.
a. Media siber wajib mencantumkan syarat dan ketentuan mengenai Isi Buatan Pengguna yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yang ditempatkan secara terang dan jelas.
b. Media siber mewajibkan setiap pengguna untuk melakukan registrasi keanggotaan dan melakukan proses log-in terlebih dahulu untuk dapat mempublikasikan semua bentuk Isi Buatan Pengguna. Ketentuan mengenai log-in akan diatur lebih lanjut.
c. Dalam registrasi tersebut, media siber mewajibkan pengguna memberi persetujuan tertulis bahwa Isi Buatan Pengguna yang dipublikasikan:
1) Tidak memuat isi bohong, fitnah, sadis dan cabul;
2) Tidak memuat isi yang mengandung prasangka dan kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan;
3) Tidak memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin
dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin,
sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.
d. Media siber memiliki kewenangan mutlak untuk mengedit atau menghapus Isi Buatan Pengguna yang bertentangan dengan butir (c).
e. Media siber wajib menyediakan mekanisme pengaduan Isi Buatan
Pengguna yang dinilai melanggar ketentuan pada butir (c). Mekanisme
tersebut harus disediakan di tempat yang dengan mudah dapat diakses pengguna.
f. Media siber wajib menyunting, menghapus, dan melakukan tindakan
koreksi setiap Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan dan melanggar
ketentuan butir (c), sesegera mungkin secara proporsional
selambat-lambatnya 2 x 24 jam setelah pengaduan diterima.
g. Media siber yang telah memenuhi ketentuan pada butir (a), (b),
(c), dan (f) tidak dibebani tanggung jawab atas masalah yang ditimbulkan akibat pemuatan isi yang melanggar ketentuan pada butir (c).
h. Media siber bertanggung jawab atas Isi Buatan Pengguna yang
dilaporkan bila tidak mengambil tindakan koreksi setelah batas waktu
sebagaimana tersebut pada butir (f).
Membaca aturan di atas, bisa kita simpulkan bahwa tumbuhnya media siber bak jamur di musim hujan ternyata belum dibarengi dengan  pemahaman akan aturan main, terlebih tanggungjawab sosial media untuk ikut mencerdaskan masyarakat. Sehingga hal-hal seperti komentar yang bernuansa SARA serta menyerang pribadi tertentu bisa diminimalisir.
Tulisan ini hampir rampung, Senin 23 April 2012 Pukul 23.10 WITA  ketika tayangan di stasiun televisi lokal menyiarkan wawancara dengan Wagub terkait masalah ini. Saya kembali memeriksa beberapa kalimat untuk menyesuaikan dengan pernyataan langsung Wagub di televisi.
Malam makin larut. Di luar sana terdengar butiran air hujan yang jatuh di atas atap rumah. Rasa ngantuk pun mulai menyerang. Ah..akhirnya tulisan ini rampung juga. Semoga menjadi pembelajaran bagi semua  pihak, termasuk para pekerja pers. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar