Senin, 30 April 2012

Manado Jakarta Depok



PERJALANAN panjang harus saya tempuh  untuk “mengejar” kesempatan menjadi peserta Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Wisma Hijau, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Seorang diri. Mulai dari naik angkot, bus, pesawat terbang, kereta api, hingga ojek. Hmm seru juga. 
 
Pesawat Batavia Air yang seharusnya berangkat Pukul 13.30 WITA dari Manado dengan tujuan Jakarta akhirnya harus delay selama 1,5 jam. Selama menunggu, saya menghubungi beberapa kawan untuk menanyakan rute yang paling cepat dan nyaman dari Jakarta ke Depok. “Dari Bandara Soekarno-Hatta, nae DAMRI Jurusan Kampung Rambutan. Dari situ nae angkot warna merah nomor 04,” jawab sahabat saya yang sementara kuliah di Jakarta via SMS.
Masih agak ragu dengan rute itu, saya coba hubungi staf sekretariat AJI Indonesia dengan harapan bisa sama-sama dengan mereka menuju Depok. “Langsung saja mas. Kita sudah di sini,” balas staf AJI Indonesia.
Saya teringat satu teman yang namanya juga termasuk dalam peserta UKJ. Namanya Rinjani, perempuan yang bicaranya begitu lembut. Sekalem pembawaannya. Dia Ketua AJI Semarang. “Kita sudah di Wisma Hijau Bang...sampai ketemu di sini yah,” jawab Rei, sapaan akrab wanita cantik ini.
Setelah menunggu, akhirnya giliran penerbangan pun tiba. Setelah lebih kurang 180 menit mengudara, Pesawat Batavia Airlines pun mendarat mulus di Bandara Soekarno Hatta.
Saya teringat saat masih di Manado sempat menghubungi salah seorang dosen yang berada di Jakarta. “Kalau sudah di Jakarta, telpon neh. Nanti bakudapa di sana,” ujar dosen itu saat saya menuju Bandara Sam Ratulangi Manado.
Pilihan saya dua, langsung naik bus ke Kampung Rambutan lanjut ke Depok, atau bertemu dengan dosen tadi, baru lanjut ke Depok. “Ngana di mana sekarang. Torang bakudapa jo di Senayan. Atau naik jo Damri jurusan Blok M,” ujar dia. "Kita nda terlalu paham di Blok M. Gambir saja yah,” jawab saya. “Boleh, tapi di dalam tempat minum kopi, soalnya gelap di Gambir,” balasnya.
Setelah berebut dengan penumpang lain, akhirnya saya berhasil naik bus Damri jurusan Gambir. Tiba-tiba ponsel saya berdering. “So di mana..?,” tanya dosen itu. “Di mana stow ini,” balas saya. “Coba liat di samping kiri kanan. Atau kira-kira sudah berapa jam dari bandara,” tanya dia lagi. “Sudah sekitar satu jam,” jawab saya. “Ok,” singkatnya.  
Bus merayap pelan menembus kemacetan kota Jakarta. Sore jelang malam. Jumat 27 April 2012. Setelah hampir satu jam lagi perjalanan dilakukan, akhirnya saya pun tiba di kawasan Monas. “So maso Gambir,” tulis saya melalui pesan singkat. “Ok. Qta so menuju,” balas dosen tadi.
Saya pun bergegas turun dari bus. Perut terasa lapar. Saya pun menuju sebuah rumah makan sederhana dengan menu khas Padang. Saya ingat beberapa bulan lalu saya juga sempat mampir ke rumah makan ini. Tak lebih dari 10 menit saya menyelesaikan “sesi” makan malam itu. Saya pun keluar mencermati kondisi dan aktivitas warga di kawasan Gambir. Tak lama kemudian dosen tadi menelpon, bahwa dia sudah berada di dalam kawasan Gambir. “Mo ke Depok naik apa?,” tanya dia. “Rencana sih mau naik bus ke kampung Rambutan baru lanjut ke Depok pake angkot,” jawab saya. “Oooo repot itu. Naik kereta saja. Lebih murah, dan cepat,” jawab dosen yang lain. Belakangan saya tahu dia lulusan IPB Bogor. “Nanti cari jurusan Bogor. Terus turun di Depok Baru. Jaga perhatikan itu stasiun-stasiun sebelum Depok Baru. Supaya nyanda salah turun,” wanti-wanti pria separuh baya ini.
Harga tiketnya relatif murah. Rp6 ribu. Beberapa dosen tadi lantas meninggalkan saya di Stasiun Gambir. Bergegas saya naik ke lantai tiga. Bingung juga. Baru kali ini lagi naik kereta api setelah terakhir tahun 1999 lalu ke Bogor. “Nanti diumumkan jika keretanya tiba, dan di jalur lantai berapa,” ujar seorang satpam saat saya menanyakan jalur kereta yang ke Depok. Lima langkah satpam tadi melangkah, dia kembali menolah ke arah saya. “Tuh..dengar pengumumannya. Di jalur tiga,” ujar satpam setelah ada pengumuman oleh petugas stasiun.
Cepat saya naik ke lantai tiga. Sebuah kereta sudah “menanti”. Dalam hitungan detik pintu kereta terbuka. Saya meloncat masuk. Pintu tertutup kembali. Kereta pun perlahan mulai meninggalkan stasiun Gambir. Tak berapa lama kereta berhenti. Pintu terbuka. Sejumlah penumpang naik. Tak ada yang turun. Beberapa menit kemudian, hal yang sama terjadi. Saya mulai menyadari bahwa tidak ada pengumuman saat naik turun penumpang, atau paling tidak pemberitahuan sudah sampai di stasiun mana.
Setelah sudah berlangsung beberapa kali, saya mulai berpikir keras. Bagaimana saya bisa tahu kalau sudah sampai di Depok Baru sehingga saya bisa turun? Sebenarnya sih tidak sukar, jika saya mau bertanya pada penumpang lain. Namun selain terkesan acuh tak acuh antar sesama penumpang, saya juga ingin melatih kemampuan untuk tanggap dalam situasi seperti ini. Saya mulai mencermati sekeliling dinding kereta. Ada jalur-jalur dan rute  stasiun yang dilewati. Ada jalur Gambir-Gondangdia-Cikini, terus selanjutnya sampai Bogor. Persoalannya adalah tiap sampai di stasiun, kebanyakan tak ada tulisan yang menerangkan stasiun apa?
Beruntung ketika untuk sekian kalinya pintu kereta terbuka, saya sempat membaca “Pasar Minggu”. Aha...pekerjaan selanjutnya terasa lebih mudah. Dengan memperhatikan peta rute kereta di dinding, saya tinggal menghitung berapa kali lagi kereta harus singgah di stasiun yang dilewati sebelum sampai di Depok Baru. Setelah kampung China, saya pun turun di Stasiun Depok Baru. Kereta pun lanjut ke Depok.
Setelah menunggu beberapa lama, angkot warna merah dengan nomor 04 tidak juga lewat di kawasan terminal Depok Baru. Saya baru menyadari, bahwa angkot yang dimaksud kawan saya itu adalah ketika rute yang kita ambil adalah Kampung Rambutan- Cimanggis.
Seorang calo penuh dengan tato di hampir sekujur tubuhnya terlihat sibuk mengatur jalur angkot yang cukup padat. Meski lampu remang-remang, saya masih bisa melihat dengan jelas tato yang menghiasi pria berambut gondrong ini. “Bang kalo mo ke Cimanggis, naik angkot yang mana..?,” tanya saya pada pria tadi. “Ohh..nanti dua kali naik angkot. Naik dulu yang nomor 11, nanti lanjut lagi di prampatan,” ujar dia ramah. “Nanti saya carikan angkotnya,” sambungnya.
Hmmm mungkin ini pelajaran bagi kita untuk tidak menilai orang dari luarnya saja. Pria ini ramah meski berpenampilan sangar dengan penuh tato. “Makasih bang, ”kata saya. “Yoo wess,” jawab dia. Sesaat kemudian angkot yang saya tumpangi melaju. Tiba di perampatan, saya pun ganti angkot lagi untuk menuju ke Cimanggis.
Ternyata sopir angkot tidak begitu paham dengan lokasi yang saya tuju. “Di mana yah, itu Wisma Hijau,” tanya sopir pada saya. “Yah..yang saya tahu sih di Cimanggis. Mekarsari atau apa yah..,” balas saya.
Meski Februari lalu saya pernah ke Wisma Hijau, namun ketika itu bersama rombongan jadi tidak paham ketika harus naik angkutan umum. Sendiri lagi. ”Turunnya di sini saja. Kalau masih ada angkot, yah alhamdulilah. Tapi kalau gak ada, naik ojek saja mas,” ujar sopir angkot setelah sebelumnya memastikan alamat yang saya tuju dengan bertanya di pangkalan ojek setempat.
Lima menit kemudian, saya sudah memasuki Wisma Hijau Mekarsari Cimanggis Depok, setelah saya membayar ongkos ojek sebesar Rp3 ribu.
Suasana sepi. Saya langsung menuju ruang makan. “Malam Rei,” ujar saya ketika melihat Rinjani berada di sana. “Hei, malam bang Yoseph. Sama siapa? Sendiri yah..,” tanya Rei. “Iya sendiri,” jawab saya. “kenalkan ini Rofiq, sekretaris AJI Malang,” ujar Rei sambil memperkenalkan kawan dari Malang tersebut.
Bertiga kami ngobrol tentang pelaksaaan acara UKJ tersebut. “Saya ke kamar dulu yah. Mau simpan tas. Nanti kita ngobrol lagi,” pamit saya pada Rei dan Rofiq.
Setelah singgah mengambil kunci di receptionis, saya pun melangkah ke lantai dua. Kamar Lili Nomor 5. Ruangannya sederhana. Ada dua ranjang di sana. Dilapisi sprei putih. AC-nya bagus. Kamar mandi juga bersih. Ah..saya pun langsung merebahkan badan untuk beristirahat. Saya lupa ada janjian dengan Rei untuk melanjutkan obrolan.
Beberapa jam berada di kamar itu,  saya terkejut ketika seorang pria datang mengetuk pintu. “Saya Frino. AJI Bandung. Kita sekamar,” ujar pria tadi. “Kamu Yoseph kan. AJI Manado,” sambung dia. “Ya..silahkan masuk,” balas saya.
Malam beranjak kian larut. Belum lepas tengah malam, sayapun tertidur pulas. Menyiapkan energi untuk mengikuti UKJ selama dua hari.(***)    



  


2 komentar:

  1. Ralat dikit ya pak, bukan stasiun kampung cina pak,, tapi stasiun pondok cina :)

    BalasHapus