Valen saat menyampaikan materi dalam kegiatan LKK PMKRI Cabang Tondano, Jumat 23 Maret 2012 di Pondok Emaus Tateli Pineleng.
DARI
sejumlah
materi dan pemateri yang dijadwalkan hadir dalam Latihan Kepemimpinan Kader
(LKK) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Tondano,
ada satu materi yang menarik perhatian saya, yakni Teologi Pembebasan.
Pematerinyapun tak kalah hebat, seorang doktor filsafat berusia 35 tahun
lulusan Universitas Katolik Leuven
Belgia.
Hari kedua pelaksanaan LKK, Jumat 23 Maret 2012. Sambil mengutak-atik notebook, saya memperhatikan jadwal kegiatan kaderisasi tersebut. Mata saya tertuju pada materi dengan judul Teologi Pembebasan. Pematerinya tertulis DR Valentino Lumowa. Dijadwalkan pada pukul 16.00 -18.00 WITA. Artinya masih ada sekitar empat jam lagi saya harus menunggu untuk bisa mendengarkan materi tersebut. “Sori terlambat. Ada masalah sedikit dengan motor pas waktu dari Tomohon menuju Manado,” ujar seorang pria muda berambut gondrong yang tiba-tiba muncul di tengah hiruk-pikuk para peserta LKK menyerbu snack sore. “Oh..nda apa-apa Kak,”jawab salah seorang panitia.
Pria berambut gondrong dan stylist ini bernama
lengkap Valentino Lumowa. Putra Tondano kelahiran Jakarta tahun 1976. Setelah
menyelesaikan studinya di seminari Pineleng Tahun 2000 dengan fokus kajian
Filsafat China, Valen sapaan akrabnya, selama tiga tahun selanjutnya menjadi staf
pengajar di Unika De La Salle Manado. Setelah itu melanjutkan studi S2 dan S3 di
Universitas Katolik Leuven Belgia, dengan kajian bidang filsafat. Tahun 2011
kembali ke Manado dan menjadi dosen di Unika De La Salle Manado.
Membawakan materi Teologi Pembebasan, Valen tampil
dengan gaya khas anak muda. Semangat, energik, berapi-api, namun padat berisi.
Valen memulai materi dengan memaparkan kondisi masa
kini dengan berbagai persoalan yang dialami oleh manusia, yang sebagiannya
adalah juga warga gereja. “Ada banyak persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan,
penindasan, dan lain sebagainya. Jika gereja bisa menjawab persoalan ini, bagaimana
pendekatannya. Ada kondisi patologi di masyarakat, gereja ada di posisi mana?,”
tandas Valen.
Pengertian gereja,
lanjut Valen, adalah persekutuan umat Allah. “Siapa gereja, apakah juga
termasuk orang-orang tadi yang problematis? Artinya gereja juga problematis?,”
tantang Valen dengan berbagai pertanyaan reflektif yang kritis.
Teologi pembebasan, menurut dia, mencoba untuk
mengaktualisasikan Injil ke kondisi ril yang terjadi di masyarakat. “Teologi
pembebasan menggerogoti pelan-pelan tatanan yang ada, melalui pemikiran yang
kritis. Yang digerogoti oleh teologi pembebasan adalah institusi Gereja
Katolik,” ujar Valen.
Doktor muda ini lantas memaparkan tentang sejarah
singkat lahirnya teologi pembebasan. Yang disebut sebagai pendiri teologi
pembebasan adalah Gustavo Guiteres, Teolog dari Peru. Teori ini, lanjut Valen,
dikembangkan di Eropa saat Gustavo kuliah di Universitas Leuven namun
berkembang di Amerika Latin di mana terjadi banyak penindasan. Konsep teologi
pembebasan sebenarnya ada dalam Ajaran Sosial Gereja atau ASG, namun tidak
diimplementasikan. Dalam pemahaman Gustavo, lanjut Valen, penindasan yang
terjadi harus dilawan. Gereja tidak bisa terus tinggal berkhotbah tentang
ajaran-ajaran Injil tapi menutup mata dengan kondisi ril masyarakat di mana
terjadi penindasan dan kemiskinan. “Kegiatan apa yang harus dilakukan untuk
mengubah penindasan, dan mengembangkan ekonomi? Jawabannya adalah berdayakan masyarakat. Bangkitkan secara ekonomi
masyarakat yang tertindas,” papar Valen.
Metode teologi pembebasan inilah yang kemudian
terkesan Marxisme karena mengajarkan perlawanan kaum buruh terjadap kalangan
pemilik modal. “Metodenya adalah melakukan perlawanan oleh kaum tertindas
terhadap pemerintah, buruh terhadap pemilik modal,” ujar Valen.
Karena terkesan Marxis, lanjut dia, teologi
pembebasan mendapat penolakan dari berbagai pihak terutama institusi Gereja Katolik
sendiri. “Tokoh-tokoh Teologi Pembebasan diekskomunikasi, dan dianggap bukan
teolog,” ujarnya.
Meskipun Gustavo sendiri tidak dikenai sanksi,
banyak teolog pembebasan lainnya mendapatkan sanksi kepausan. Karena hubungan antara
para pengikut teologi pembebasan dan kelompok-kelompok komunis seperti
Sandinista (umumnya karena orang-orang miskin dilihat sebagai calon potensial
pemberontak komunis) banyak imam yang berpikiran pembebasan dibunuh di
negara-negara Amerika Selatan pada tahun 1980-an, yang paling terkenal di
antaranya adalah Uskup Agung Oscar Romero.
Selain berkembang di Amerika latin, Dia menambahkan,
Teologi Pembebasan ini selain berkembang di Amerika Latin juga di negara-negara
ketiga, termasuk Asia Selatan dan Indonesia. “Hanya perbedaannya adalah Teologi
Pembebasan di Asia Selatan dan Indonesia memperhatikan aspek pluralisme dan
kultural, sedangkan di Amerika Latin tidak memperhatikan hal ini,” paparnya.
Meski secara institusi Teologi Pembebasan ini tidak
diakui Gereja Katolik, namun sejumlah rohaniwan Katolik termasuk di Indonesia
menjadi pengkonsep bahkan penggiat teologi pembebasan. “Pengkonsep antara lain
Romo JB Banawiratma, sedangkan penggiatnya adalah Romo YB Mangunwijaya yang
terkenal membela kaum miskin tertindas di Kali Code Yogyakarta. Salah satu
tokoh nasional yang juga penggiat teologi pembebasan adalah Gus Dur,” papar dia.
Materi selama lebih kurang satu jam itu, selanjutnya
diisi dengan berbagai pertanyaan oleh para peserta yang menggali lebih dalam
tentang teologi pembebasan, dalam konteks kekinian Indonesia dan PMKRI Tondano
dengan berbagai persoalan yang ada. Sejumlah persoalan yang disampaikan
peserta, ditanggapi dan dijelaskan secara detail oleh pemateri.
Rasanya tak cukup hanya beberapa jam membahas soal
teologi pembebasan. Terasa agak menggantung kesimpulan dari materi tersebut,
tapi mungkin ini sebuah trik dari pemateri untuk menantang peserta terus
menggali lebih jauh tentang teologi pembebasan.
Waktu untuk materi tersebut sudah habis. Namun sejumlah
peserta masih mengelilingi “filsuf muda” ini. Mungkin di lain kesempatan bisa
berdiskusi lebih mendalam lagi. “Saya minta ijin pamit lebih dulu. Soalnya naik
motor mau pulang Tondano,” ujar Valen, yang beberapa bulan lalu dilantik
sebagai Pembantu Rektor III Unika De La Salle Manado ini sambil bergegas
meninggalkan tempat kegiatan.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar