Senin, 26 Maret 2012

Teologi Pembebasan, Antara ASG atau Marxisme


Valen saat menyampaikan materi dalam kegiatan LKK PMKRI Cabang Tondano, Jumat 23 Maret 2012 di Pondok Emaus Tateli Pineleng.


DARI sejumlah materi dan pemateri yang dijadwalkan hadir dalam Latihan Kepemimpinan Kader (LKK) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Tondano, ada satu materi yang menarik perhatian saya, yakni Teologi Pembebasan. Pematerinyapun tak kalah hebat, seorang doktor filsafat berusia 35 tahun lulusan Universitas  Katolik Leuven Belgia.


Hari kedua pelaksanaan LKK, Jumat 23 Maret 2012. Sambil mengutak-atik notebook, saya memperhatikan jadwal kegiatan kaderisasi tersebut. Mata saya tertuju pada materi dengan judul Teologi Pembebasan. Pematerinya tertulis DR Valentino Lumowa. Dijadwalkan pada pukul 16.00 -18.00 WITA. Artinya masih ada sekitar empat jam lagi saya harus menunggu untuk bisa mendengarkan materi tersebut. “Sori terlambat. Ada masalah sedikit dengan motor pas waktu dari Tomohon menuju Manado,” ujar seorang pria muda berambut gondrong yang tiba-tiba muncul di tengah hiruk-pikuk para peserta LKK menyerbu snack sore. “Oh..nda apa-apa Kak,”jawab salah seorang panitia.
Pria berambut gondrong dan stylist ini bernama lengkap Valentino Lumowa. Putra Tondano kelahiran Jakarta tahun 1976. Setelah menyelesaikan studinya di seminari Pineleng Tahun 2000 dengan fokus kajian Filsafat China, Valen sapaan akrabnya, selama tiga tahun selanjutnya menjadi staf pengajar di Unika De La Salle Manado. Setelah itu melanjutkan studi S2 dan S3 di Universitas Katolik Leuven Belgia, dengan kajian bidang filsafat. Tahun 2011 kembali ke Manado dan menjadi dosen di Unika De La Salle Manado.        
Membawakan materi Teologi Pembebasan, Valen tampil dengan gaya khas anak muda. Semangat, energik, berapi-api, namun padat berisi.  
Valen memulai materi dengan memaparkan kondisi masa kini dengan berbagai persoalan yang dialami oleh manusia, yang sebagiannya adalah juga warga gereja. “Ada banyak persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan, penindasan, dan lain sebagainya. Jika gereja bisa menjawab persoalan ini, bagaimana pendekatannya. Ada kondisi patologi di masyarakat, gereja ada di posisi mana?,” tandas Valen.
 Pengertian gereja, lanjut Valen, adalah persekutuan umat Allah. “Siapa gereja, apakah juga termasuk orang-orang tadi yang problematis? Artinya gereja juga problematis?,” tantang Valen dengan berbagai pertanyaan reflektif yang kritis.
Teologi pembebasan, menurut dia, mencoba untuk mengaktualisasikan Injil ke kondisi ril yang terjadi di masyarakat. “Teologi pembebasan menggerogoti pelan-pelan tatanan yang ada, melalui pemikiran yang kritis. Yang digerogoti oleh teologi pembebasan adalah institusi Gereja Katolik,” ujar Valen.  
Doktor muda ini lantas memaparkan tentang sejarah singkat lahirnya teologi pembebasan. Yang disebut sebagai pendiri teologi pembebasan adalah Gustavo Guiteres, Teolog dari Peru. Teori ini, lanjut Valen, dikembangkan di Eropa saat Gustavo kuliah di Universitas Leuven namun berkembang di Amerika Latin di mana terjadi banyak penindasan. Konsep teologi pembebasan sebenarnya ada dalam Ajaran Sosial Gereja atau ASG, namun tidak diimplementasikan. Dalam pemahaman Gustavo, lanjut Valen, penindasan yang terjadi harus dilawan. Gereja tidak bisa terus tinggal berkhotbah tentang ajaran-ajaran Injil tapi menutup mata dengan kondisi ril masyarakat di mana terjadi penindasan dan kemiskinan. “Kegiatan apa yang harus dilakukan untuk mengubah penindasan, dan mengembangkan ekonomi? Jawabannya adalah  berdayakan masyarakat. Bangkitkan secara ekonomi masyarakat yang tertindas,” papar Valen.
Metode teologi pembebasan inilah yang kemudian terkesan Marxisme karena mengajarkan perlawanan kaum buruh terjadap kalangan pemilik modal. “Metodenya adalah melakukan perlawanan oleh kaum tertindas terhadap pemerintah, buruh terhadap pemilik modal,” ujar Valen.
Karena terkesan Marxis, lanjut dia, teologi pembebasan mendapat penolakan dari berbagai pihak terutama institusi Gereja Katolik sendiri. “Tokoh-tokoh Teologi Pembebasan diekskomunikasi, dan dianggap bukan teolog,” ujarnya.
Meskipun Gustavo sendiri tidak dikenai sanksi, banyak teolog pembebasan lainnya mendapatkan sanksi kepausan. Karena hubungan antara para pengikut teologi pembebasan dan kelompok-kelompok komunis seperti Sandinista (umumnya karena orang-orang miskin dilihat sebagai calon potensial pemberontak komunis) banyak imam yang berpikiran pembebasan dibunuh di negara-negara Amerika Selatan pada tahun 1980-an, yang paling terkenal di antaranya adalah Uskup Agung Oscar Romero.
Selain berkembang di Amerika latin, Dia menambahkan, Teologi Pembebasan ini selain berkembang di Amerika Latin juga di negara-negara ketiga, termasuk Asia Selatan dan Indonesia. “Hanya perbedaannya adalah Teologi Pembebasan di Asia Selatan dan Indonesia memperhatikan aspek pluralisme dan kultural, sedangkan di Amerika Latin tidak memperhatikan hal ini,” paparnya.
Meski secara institusi Teologi Pembebasan ini tidak diakui Gereja Katolik, namun sejumlah rohaniwan Katolik termasuk di Indonesia menjadi pengkonsep bahkan penggiat teologi pembebasan. “Pengkonsep antara lain Romo JB Banawiratma, sedangkan penggiatnya adalah Romo YB Mangunwijaya yang terkenal membela kaum miskin tertindas di Kali Code Yogyakarta. Salah satu tokoh nasional yang juga penggiat teologi pembebasan adalah Gus Dur,” papar dia.  
Materi selama lebih kurang satu jam itu, selanjutnya diisi dengan berbagai pertanyaan oleh para peserta yang menggali lebih dalam tentang teologi pembebasan, dalam konteks kekinian Indonesia dan PMKRI Tondano dengan berbagai persoalan yang ada. Sejumlah persoalan yang disampaikan peserta, ditanggapi dan dijelaskan secara detail oleh pemateri.
Rasanya tak cukup hanya beberapa jam membahas soal teologi pembebasan. Terasa agak menggantung kesimpulan dari materi tersebut, tapi mungkin ini sebuah trik dari pemateri untuk menantang peserta terus menggali lebih jauh tentang teologi pembebasan.
Waktu untuk materi tersebut sudah habis. Namun sejumlah peserta masih mengelilingi “filsuf muda” ini. Mungkin di lain kesempatan bisa berdiskusi lebih mendalam lagi. “Saya minta ijin pamit lebih dulu. Soalnya naik motor mau pulang Tondano,” ujar Valen, yang beberapa bulan lalu dilantik sebagai Pembantu Rektor III Unika De La Salle Manado ini sambil bergegas meninggalkan tempat kegiatan.(***)   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar