HARI terakhir pelaksanaan Rapat Kerja Nasional
(Rakernas) Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Wisma Hijau Cimanggis Depok, Jawa
Barat, Sabtu 25 Februari 2012. Workshop hari itu menghadirkan Sukriansyah S
Latif, Pemred Harian Fajar Makassar. Dia bicara tentang idealisme dan bisnis
media. Rabu 21 Maret 2012, seorang akademisi sebuah perguruan tinggi negeri di
Manado menyampaikan pada saya lewat chating di facebook. Dia menceritakan bagaimana
dia ngamuk di kantor redaksi sebuah koran lokal yang memiliki jaringan
nasional. Besoknya sang dosen curhat karena berita yang seharusnya menjadi
bagian dari hak jawabnya diduga malah dipelintir koran tersebut.
Ini untuk kali kedua saya bertemu dengan Sukriansyah,
setelah sebelumnya melihat dia tampil sebagai moderator pada seminar dalam
rangkaian Kongres ke-VIII AJI di Makassar, Kamis 01 Desember 2011.
Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Item Maryadi tampil
sebagai moderator untuk memandu jalannya diskusi yang menghadirkan Sukriansyah.
Pagi itu forum Rakernas diselimuti suasana duka setelah menerima kabar
meninggalnya Bibin yang adalah pendiri AJI Malang. Setelah beberapa menit
menyampaikan materinya, Item selanjutnya mempersilahkan peserta workshop untuk
menanggapi. Saya mendapat kesempatan pertama untuk menanggapi sekaligus
bertanya. “Menarik sekali apa yang Bang Sukri sampaikan tentang idealisme dan
bisnis media. Saya punya pengalaman menarik di Manado ketika melihat ada
kebijakan dari beberapa redaksi dan perusahaan pers tentang pemberitaan. Di mana
berita-berita yang sumbernya dari kegiatan seminar, atau workshop bisa dimuat
di media cetak tersebut jika yang membuat kegiatan itu membeli beberapa ratus
ekslemplar koran. Jika tidak jangan berharap dimuat, meski kegiatan itu punya
nilai berita. Sebaliknya ada berita yang tak layak tampil di halaman satu
sebuah koran, itu bisa saja dimuat asalkan memenuhi syarat membeli ratusan
eksemplar koran,” ujar saya membuka sesi tanya jawab pertama. “Ada juga
mahasiswa dari Papua mengeluh pada saya, berita kegiatan mereka tidak terbit di
koran karena deal untuk membeli
beberapa ratus eksemplar koran tidak dipenuhi. Bahkan saat AJI Manado menggelar
aksi demo terkait kekerasan terhadap salah satu jurnalis, beritanya tidak
dimuat,” sambung saya.
Sukriansyah pun mulai memberikan jawabannya setelah
moderator menampung sejumlah pertanyaan dari peserta workshop yang lain. “Yang
pasti tidak benar kalau berita itu bisa dimuat setelah ada ketentuan membeli
beberapa ratus eksemplar koran. Saya rasa ini tidak boleh dilakukan,” ujar dia.
“Kalau terkait demo mahasiswa, saya rasa tidak semua demo itu bisa dimuat
beritanya. Kita harus melihat secara jeli apa
motivasi di balik demo itu. Karena banyak terjadi demo mahasiswa yang
bakar-bakaran ban, menjurus anarkis jika fotonya dimuat maka ada semacam
kebanggaan masuk koran. Jadi berikut dia demo lebih anarkis lagi. Tentu hal ini
tidak kita inginkan,” papar salah satu pendiri AJI Makassar ini.
Saya tertegun. Mencoba menyimak penjelasannya. Saya
merasa ada pertanyaan yang coba dipelintir untuk mendapatkan jawaban sekaligus
pembenaran terkait tidak dimuatnya sebuah berita, meski memiliki nilai berita
atau dalam kata lain menarik. Bukankah yang saya tanyakan tentang kegiatan
mahasiswa dan demo AJI, bukan demo mahasiswa? “Eh Yoseph, pertanyaanmu tadi itu
buat merah mukanya Sukriansyah,” ujar Midwan, Ketua AJI Kendari yang selama
Rakernas nginap sekamar dengan saya. “Ya..tapi saya tidak puas dengan
jawabannya,” balas saya.
Saya langsung teringat seorang rekan jurnalis di
Manado. Ibu muda dengan satu anak. Tiap hari sibuk dengan catatan kecil dan
kwitansi, menghitung berapa target setoran uang yang sudah dipenuhi sebagaimana
kebijakan redaksinya. Bahkan sering terlihat tidak konsentrasi untuk mengejar
berita yang aktual dan bernas, tapi sibuk dengan menawarkan “berita-berita
ringan” dengan syarat membeli beberapa ratus koran.
Pengalaman menarik di Rakernas ini sebenarnya sudah
ingin saya tuangkan dalam blog ini, namun karena kesibukan membuat hal itu terus
tertunda. Sampai pada kejadian dimana persoalan yang nyaris sama muncul lewat
keluhan seorang dosen.
Rabu 21 Maret 2012. Sore itu bersama sejumlah rekan jurnalis kami sedang
berbincang-bincang dengan beberapa dosen dari Politekhnik Negeri Manado di
sebuah kafe di kompleks Megamas Manado. Wifi gratis, tempatnya nyaman. Membuat
kafe ini jadi salah satu tempat favorit kami. Akun facebook saya tetap aktif
selama perbincangan dengan dosen Politekhnik itu berlangsung. Tiba-tiba ada pesan
masuk. “Tadi qt ada bembeng 10 orang tante, om n nona2 dari Kombos pigi ba
ribut di ... Tadi pas lei mati lampu kong nda ada tampa duduk pe kecil lei itu
ruangan di ... jadi torang pe aksi tadi lumayan beking sesak di ... hehehe. So
keterlaluan kwa itu .... dgn ... berita cuma karena doi....,” curhat sang
dosen.
Saya katakan kalau ada yang dinilai merugikan akibat pemberitaan, bisa
menggunakan hak jawab. “Tidak perlu hak jawab, malas qt mo kase statement di ...
So tidak ada hati jurnalis, so jao dari media yg punya hati nurani, cuma lebe
mementingkan keuntungan ekonomi.
bukan hak jawab yg qt perlu, tpi dorang musti profesional katanya koran nomor 1 disulut cuma koteen slogan jauh api dari panggangannya... cuma lamuuuuu,” tambah dosen tadi.
bukan hak jawab yg qt perlu, tpi dorang musti profesional katanya koran nomor 1 disulut cuma koteen slogan jauh api dari panggangannya... cuma lamuuuuu,” tambah dosen tadi.
Saya rasa mungkin yang bersangkutan masih terbawa emosi, jadi agak sulit
untuk memberi pertimbangan.
Keesokan harinya saya bersama rekan-rekan yang lain meliput sidang senat
tertutup dalam rangka penyaringan Direktur Politekhnik Negeri Manado. Sambil
menunggu hasilnya, beberapa kawan wartawan mengutak-atik BB mereka. Ternyata
ada berita di sebuah koran lokal yang kemarin didatangi dosen tersebut. berita
itu dikliping, difoto selanjutnya diupload di akun facebook. Siang hingga sore
harinya, berbagai komentar dari sejumlah pihak pun tersaji dibawah kliping
berita tersebut. “koran yang ini memang lebih berpihak pada pejabat!!! sedih..,”
komentar dosen tadi. Juga ada sejumlah komentar lainnya yang tidak hanya
mengkritisi koran tersebut, tapi juga mulai menyerang wartawan secara
keseluruhan. Lihat saja komentar-komentar berikut. “hahaha... wartawannya tidak
perlu diperhatikan karena udah gede2 udah pada pintar cari perhatian termasuk ngemis
cari duitttt...hihihi...” Ada lagi yang berkomentar “Biongo jd wartawan ! atau
lg mabo wkt ba tulis berita. Hiks !” tanggapan lainnya, “dulu memang shadap
ketika etika jurnalisnya masih kencang, sekarang so ayaaap.”
Atas semua komentar dan tanggapan atas kliping berita yang diupload itu,
saya juga memberikan komentar. “Sedih juga ketika profesi jurnalis, dan media
dikritik. Tapi saya pribadi menilai ini satu proses pembelajaran bagi para
insan jurnalis, bahkan pemilik media untuk bagaimana kita kembali berpegang
teguh pada kode etik, dan beberapa poin dalam elemen jurnalisme yakni
jurnalisme sebagai pemantau kekuasaan dan penyambung lidah rakyat, selalau
berpegang pada kebenaran, ketat dalam melakukan verifikasi sehingga mampu
menyaring antara data dan fakta, serta mana yang hanya gosip, desas-desus dan
selentingan, tidak memutarbalikkan fakta demi kepentingan oknum tertentu
apalagi penguasa. Jika ini tidak diperhatikan, perlahan namun pasti masyarakat
tidak akan percaya lagi pada media. Buat nci..., jika masih merasa keberatan, lebih
elok jika menyampaikan hal ini ke Dewan Pers untuk memediasi persoalan ini.
Trimakasih.” Setelah saya memberikan tanggapan itu, beberapa komentar juga
kemudian muncul. Salah satunya dari anggota AJI Manado. “Sep, yang pasti itu
wartawannya bukan anggota AJI toh. Kalo dia anggota AJI alangkah bijaknya jika
dipecat. heheheee...”
Selasa 27 Maret 2012. Malam hari ketika saya coba untuk menyelesaikan
tulisan ini, beberapa pertanyaan mengganjal dalam pikiran saya. “Apakah sudah
separah ini kondisi media sekarang yang mengabaikan etika jurnalistik demi
kepentingan bisnis dengan menjilat pada penguasa? Lantas bagaimana masa depan
dunia jurnalistik jika mengabaikan bahkan menjungkirbalikan fakta untuk
mendapat keuntungan besar dari penguasa atau pihak tertentu yang memesan
berita.”
Saya membongkar sebuah kardus lusuh yang berisi sejumlah buku di dalam
kamar kost. Sebuah buku merah dengan judul Agama Saya Adalah Jurnalisme,
karangan Andreas Harsono. Salah satu bagian buku itu menguraikan tentang
sembilan elemen jurnalime yang merupakan intisari dari buku karangan Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel berjudul, The
Element of Jurnalism: What Newspeople Shoud Know and the Publik Should Expect
Dalam buku tersebut, Kovach dan Rosenstiel merumuskan sembilan elemen
jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists
mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1200 wartawan dalam
periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya.
Secara ringkas, wartawan senior sekaligus deklarator AJI, Satrio
Arismunadar dalam http://satrioarismunadar6.blogspot.com
merangkum sembilan elemen jurnalisme tersebut sebagai berikut:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat
bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk
“kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun
merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Ini bukan kebenaran
mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out)
yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita
(newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama
jurnalisme—pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu
(disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk
komunikasi lain.
Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor
berdasarkan fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka
itu diadili. Sesudah proses pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah
atau tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang divonis itu mutlak bersalah atau
mutlak tidak-bersalah? Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak.
Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses
pengadilan –serta vonis bersalah atau tidak-bersalah-- tersebut, karena memang
hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti itu.
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan
konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk,
pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus
dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan
pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari
perjanjian dengan publik.
Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga
ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari
semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Jadi, jurnalis
yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang
harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial,
yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu
tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan
mereka.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment),
propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara
sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang paling bisa memancing
perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan
sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama
pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.
Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari
saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta
komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa
yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut
sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah
jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.
Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan
menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3)
Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih
mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah
hati, tidak menganggap diri paling tahu.
4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan
pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan
komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan
netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap
netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada
dedikasinya pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat
untuk memberi informasi.
Adalah penting untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat
melihat segala sesuatu dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang
ada kecenderungan media untuk menerapkan ketentuan “jarak” yang lebih ketat
pada jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh menjadi pengurus parpol atau
konsultan politik politisi tertentu.
Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman
atau latar belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi,
pendidikan, status sosial-ekonomi, dan gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh
menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus didahulukan.
5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan.
Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di
masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar
mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka
lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik.
Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara
sendiri.
Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis
sendiri, dengan mengartikannya sebagai “mengganggu pihak yang menikmati
kenyamanan.” Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik penerapan yang
berlebihan, atau “pengawasan” yang lebih bertujuan untuk memuaskan hasrat
audiens pada sensasi, ketimbang untuk benar-benar melayani kepentingan umum.
Namun, yang mungkin lebih berbahaya, adalah ancaman dari jenis baru
konglomerasi korporasi, yang secara efektif mungkin menghancurkan independensi,
yang mutlak dibutuhkan oleh pers untuk mewujudkan peran pemantauan mereka.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari
publik
Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan
forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting,
sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.
Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi
publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun
berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme,
yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tidak berlandaskan pada
fakta akan gagal memberi informasi pada publik.
Sebuah perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan
mengipas kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem
dari opini yang berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru
mengabaikan publik. Yang tak kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh
bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demografis
yang menarik sebagai sasaran iklan.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan
relevan
Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting
menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap
naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang serius
dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.
Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan
informasi yang dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna,
relevan, dan memikat. Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment
dan sensasionalisme.
8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi
bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus
menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif.
Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa
proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam
memahami lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.
9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa
etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi,
mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan
membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.
Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting
untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di
organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda
atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta otoritas
mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu.
Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang
sama. Organisasi pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang
terkonglomerasi dewasa ini, atau perusahaan induk mereka, perlu membangun
budaya yang memupuk tanggung jawab individual. Para manajer juga harus bersedia
mendengarkan, bukan cuma mengelola problem dan keprihatinan para jurnalisnya.
Dalam perkembangan berikutnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan
elemen ke-10. Yaitu:
10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait
dengan berita.
Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi,
khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi
mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog,
jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas
(community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan
pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong
perkembangan jurnalisme.
Pada bagian akhir tulisan ini, saya merasa sangat penting untuk kembali
mengutip dan memberi penekanan pada elemen kedua jurnalisme, yakni tentang
loyalitas.
Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada
pembacanya? Atau pada masyarakat?
Kovach dan Rosenstiel mengungkapkan, pertanyaan di atas penting karena
sejak tahun 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah
survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu
mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.
Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak
jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walaupun demikian,
dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari
keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan
masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan
bisnisnya sendiri.
Kedua jurnalis handal ini khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis
bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media
beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama
adalah pembaca, pemirsa atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang ikaln. Sisi ketiga
adalah warga (citizens).
Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar,
atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media termausk televisi,
radio, maupu dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk
menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio.
Bahkan dalam bisnis suratkabarpun, kebanyakan pembaca hanya membayar
sebagian kecil dari ongkos produksi.
Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan
media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang
pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tidak merusak hubungan yang unik antara
media dan pembaca, pemirsa atau pendengarnya.
Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengaitkan
besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang
diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika
menerapkan sebuah gaya manajemen yang disebut management by objections.
Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F Drucker. Idenya sederhana. Para
manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil
mencapainya.
Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan
tanggungjawab sosial para redaktur. Mengaitkan pendapatan seorang redaktur
dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin mengingkari prinsip
loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada
peningkatan keuntungan perusahaan, karena dari sana pula mereka mendapatkan
bonus.
Rabu 28 Maret 2012. Waktu menunjukan pukul 22.10, saat saya selesai
merevisi kembali tulisan ini setelah sebelumnya sempat diposting. Semoga
tulisan ini bisa bermanfaat.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar