Selasa, 27 Maret 2012

Idealisme, Loyalitas, dan Bisnis Media



HARI terakhir pelaksanaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Wisma Hijau Cimanggis Depok, Jawa Barat, Sabtu 25 Februari 2012. Workshop hari itu menghadirkan Sukriansyah S Latif, Pemred Harian Fajar Makassar. Dia bicara tentang idealisme dan bisnis media. Rabu 21 Maret 2012, seorang akademisi sebuah perguruan tinggi negeri di Manado menyampaikan  pada saya lewat chating di facebook. Dia menceritakan bagaimana dia ngamuk di kantor redaksi sebuah koran lokal yang memiliki jaringan nasional. Besoknya sang dosen curhat karena berita yang seharusnya menjadi bagian dari hak jawabnya diduga malah dipelintir koran tersebut.



Ini untuk kali kedua saya bertemu dengan Sukriansyah, setelah sebelumnya melihat dia tampil sebagai moderator pada seminar dalam rangkaian Kongres ke-VIII AJI di Makassar, Kamis 01 Desember 2011.
Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Item Maryadi tampil sebagai moderator untuk memandu jalannya diskusi yang menghadirkan Sukriansyah. Pagi itu forum Rakernas diselimuti suasana duka setelah menerima kabar meninggalnya Bibin yang adalah pendiri AJI Malang. Setelah beberapa menit menyampaikan materinya, Item selanjutnya mempersilahkan peserta workshop untuk menanggapi. Saya mendapat kesempatan pertama untuk menanggapi sekaligus bertanya. “Menarik sekali apa yang Bang Sukri sampaikan tentang idealisme dan bisnis media. Saya punya pengalaman menarik di Manado ketika melihat ada kebijakan dari beberapa redaksi dan perusahaan pers tentang pemberitaan. Di mana berita-berita yang sumbernya dari kegiatan seminar, atau workshop bisa dimuat di media cetak tersebut jika yang membuat kegiatan itu membeli beberapa ratus ekslemplar koran. Jika tidak jangan berharap dimuat, meski kegiatan itu punya nilai berita. Sebaliknya ada berita yang tak layak tampil di halaman satu sebuah koran, itu bisa saja dimuat asalkan memenuhi syarat membeli ratusan eksemplar koran,” ujar saya membuka sesi tanya jawab pertama. “Ada juga mahasiswa dari Papua mengeluh pada saya, berita kegiatan mereka tidak terbit di koran karena deal untuk membeli beberapa ratus eksemplar koran tidak dipenuhi. Bahkan saat AJI Manado menggelar aksi demo terkait kekerasan terhadap salah satu jurnalis, beritanya tidak dimuat,” sambung saya. 
Sukriansyah pun mulai memberikan jawabannya setelah moderator menampung sejumlah pertanyaan dari peserta workshop yang lain. “Yang pasti tidak benar kalau berita itu bisa dimuat setelah ada ketentuan membeli beberapa ratus eksemplar koran. Saya rasa ini tidak boleh dilakukan,” ujar dia. “Kalau terkait demo mahasiswa, saya rasa tidak semua demo itu bisa dimuat beritanya. Kita harus melihat secara jeli apa  motivasi di balik demo itu. Karena banyak terjadi demo mahasiswa yang bakar-bakaran ban, menjurus anarkis jika fotonya dimuat maka ada semacam kebanggaan masuk koran. Jadi berikut dia demo lebih anarkis lagi. Tentu hal ini tidak kita inginkan,” papar salah satu pendiri AJI Makassar ini.
Saya tertegun. Mencoba menyimak penjelasannya. Saya merasa ada pertanyaan yang coba dipelintir untuk mendapatkan jawaban sekaligus pembenaran terkait tidak dimuatnya sebuah berita, meski memiliki nilai berita atau dalam kata lain menarik. Bukankah yang saya tanyakan tentang kegiatan mahasiswa dan demo AJI, bukan demo mahasiswa? “Eh Yoseph, pertanyaanmu tadi itu buat merah mukanya Sukriansyah,” ujar Midwan, Ketua AJI Kendari yang selama Rakernas nginap sekamar dengan saya. “Ya..tapi saya tidak puas dengan jawabannya,” balas saya.
Saya langsung teringat seorang rekan jurnalis di Manado. Ibu muda dengan satu anak. Tiap hari sibuk dengan catatan kecil dan kwitansi, menghitung berapa target setoran uang yang sudah dipenuhi sebagaimana kebijakan redaksinya. Bahkan sering terlihat tidak konsentrasi untuk mengejar berita yang aktual dan bernas, tapi sibuk dengan menawarkan “berita-berita ringan” dengan syarat membeli beberapa ratus koran.
Pengalaman menarik di Rakernas ini sebenarnya sudah ingin saya tuangkan dalam blog ini, namun karena kesibukan membuat hal itu terus tertunda. Sampai pada kejadian dimana persoalan yang nyaris sama muncul lewat keluhan seorang dosen.
Rabu 21 Maret 2012. Sore itu bersama sejumlah rekan jurnalis kami sedang berbincang-bincang dengan beberapa dosen dari Politekhnik Negeri Manado di sebuah kafe di kompleks Megamas Manado. Wifi gratis, tempatnya nyaman. Membuat kafe ini jadi salah satu tempat favorit kami. Akun facebook saya tetap aktif selama perbincangan dengan dosen Politekhnik itu berlangsung. Tiba-tiba ada pesan masuk. “Tadi qt ada bembeng 10 orang tante, om n nona2 dari Kombos pigi ba ribut di ... Tadi pas lei mati lampu kong nda ada tampa duduk pe kecil lei itu ruangan di ... jadi torang pe aksi tadi lumayan beking sesak di ... hehehe. So keterlaluan kwa itu .... dgn ... berita cuma karena doi....,” curhat sang dosen.
Saya katakan kalau ada yang dinilai merugikan akibat pemberitaan, bisa menggunakan hak jawab. “Tidak perlu hak jawab, malas qt mo kase statement di ... So tidak ada hati jurnalis, so jao dari media yg punya hati nurani, cuma lebe mementingkan keuntungan ekonomi.
bukan hak jawab yg qt perlu, tpi dorang musti profesional katanya koran nomor 1 disulut cuma koteen slogan jauh api dari panggangannya... cuma lamuuuuu,” tambah dosen tadi.
Saya rasa mungkin yang bersangkutan masih terbawa emosi, jadi agak sulit untuk memberi pertimbangan.
Keesokan harinya saya bersama rekan-rekan yang lain meliput sidang senat tertutup dalam rangka penyaringan Direktur Politekhnik Negeri Manado. Sambil menunggu hasilnya, beberapa kawan wartawan mengutak-atik BB mereka. Ternyata ada berita di sebuah koran lokal yang kemarin didatangi dosen tersebut. berita itu dikliping, difoto selanjutnya diupload di akun facebook. Siang hingga sore harinya, berbagai komentar dari sejumlah pihak pun tersaji dibawah kliping berita tersebut. “koran yang ini memang lebih berpihak pada pejabat!!! sedih..,” komentar dosen tadi. Juga ada sejumlah komentar lainnya yang tidak hanya mengkritisi koran tersebut, tapi juga mulai menyerang wartawan secara keseluruhan. Lihat saja komentar-komentar berikut. “hahaha... wartawannya tidak perlu diperhatikan karena udah gede2 udah pada pintar cari perhatian termasuk ngemis cari duitttt...hihihi...” Ada lagi yang berkomentar “Biongo jd wartawan ! atau lg mabo wkt ba tulis berita. Hiks !” tanggapan lainnya, “dulu memang shadap ketika etika jurnalisnya masih kencang, sekarang so ayaaap.” 
Atas semua komentar dan tanggapan atas kliping berita yang diupload itu, saya juga memberikan komentar. “Sedih juga ketika profesi jurnalis, dan media dikritik. Tapi saya pribadi menilai ini satu proses pembelajaran bagi para insan jurnalis, bahkan pemilik media untuk bagaimana kita kembali berpegang teguh pada kode etik, dan beberapa poin dalam elemen jurnalisme yakni jurnalisme sebagai pemantau kekuasaan dan penyambung lidah rakyat, selalau berpegang pada kebenaran, ketat dalam melakukan verifikasi sehingga mampu menyaring antara data dan fakta, serta mana yang hanya gosip, desas-desus dan selentingan, tidak memutarbalikkan fakta demi kepentingan oknum tertentu apalagi penguasa. Jika ini tidak diperhatikan, perlahan namun pasti masyarakat tidak akan percaya lagi pada media. Buat nci..., jika masih merasa keberatan, lebih elok jika menyampaikan hal ini ke Dewan Pers untuk memediasi persoalan ini. Trimakasih.” Setelah saya memberikan tanggapan itu, beberapa komentar juga kemudian muncul. Salah satunya dari anggota AJI Manado. “Sep, yang pasti itu wartawannya bukan anggota AJI toh. Kalo dia anggota AJI alangkah bijaknya jika dipecat. heheheee...”
Selasa 27 Maret 2012. Malam hari ketika saya coba untuk menyelesaikan tulisan ini, beberapa pertanyaan mengganjal dalam pikiran saya. “Apakah sudah separah ini kondisi media sekarang yang mengabaikan etika jurnalistik demi kepentingan bisnis dengan menjilat pada penguasa? Lantas bagaimana masa depan dunia jurnalistik jika mengabaikan bahkan menjungkirbalikan fakta untuk mendapat keuntungan besar dari penguasa atau pihak tertentu yang memesan berita.”
Saya membongkar sebuah kardus lusuh yang berisi sejumlah buku di dalam kamar kost. Sebuah buku merah dengan judul Agama Saya Adalah Jurnalisme, karangan Andreas Harsono. Salah satu bagian buku itu menguraikan tentang sembilan elemen jurnalime yang merupakan intisari dari buku karangan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel berjudul, The Element of Jurnalism: What Newspeople Shoud Know and the Publik Should Expect
Dalam buku tersebut, Kovach dan Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya.
Secara ringkas, wartawan senior sekaligus deklarator AJI, Satrio Arismunadar dalam http://satrioarismunadar6.blogspot.com merangkum sembilan elemen jurnalisme tersebut sebagai berikut: 

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme—pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain.
Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang divonis itu mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah? Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses pengadilan –serta vonis bersalah atau tidak-bersalah-- tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti itu.

2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.
Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.

3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.
Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.
Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.
Adalah penting untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang ada kecenderungan media untuk menerapkan ketentuan “jarak” yang lebih ketat pada jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh menjadi pengurus parpol atau konsultan politik politisi tertentu.
Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan, status sosial-ekonomi, dan gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus didahulukan.

5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.
Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis sendiri, dengan mengartikannya sebagai “mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan.” Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan, atau “pengawasan” yang lebih bertujuan untuk memuaskan hasrat audiens pada sensasi, ketimbang untuk benar-benar melayani kepentingan umum.
Namun, yang mungkin lebih berbahaya, adalah ancaman dari jenis baru konglomerasi korporasi, yang secara efektif mungkin menghancurkan independensi, yang mutlak dibutuhkan oleh pers untuk mewujudkan peran pemantauan mereka.

6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.
Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada publik.
Sebuah perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan mengipas kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem dari opini yang berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru mengabaikan publik. Yang tak kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demografis yang menarik sebagai sasaran iklan.

7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.
Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat. Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan sensasionalisme.

8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif.
Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.

9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.
Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu.
Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Organisasi pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang terkonglomerasi dewasa ini, atau perusahaan induk mereka, perlu membangun budaya yang memupuk tanggung jawab individual. Para manajer juga harus bersedia mendengarkan, bukan cuma mengelola problem dan keprihatinan para jurnalisnya.
Dalam perkembangan berikutnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke-10. Yaitu:

10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.
Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme.


Pada bagian akhir tulisan ini, saya merasa sangat penting untuk kembali mengutip dan memberi penekanan pada elemen kedua jurnalisme, yakni tentang loyalitas.
Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?
Kovach dan Rosenstiel mengungkapkan, pertanyaan di atas penting karena sejak tahun 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.
Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walaupun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.
Kedua jurnalis handal ini khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang ikaln. Sisi ketiga adalah warga (citizens).
Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media termausk televisi, radio, maupu dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio.
Bahkan dalam bisnis suratkabarpun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi.
Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tidak merusak hubungan yang unik antara media dan pembaca, pemirsa atau pendengarnya.
Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang disebut management by objections.
Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F Drucker. Idenya sederhana. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.
Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan, karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.
Rabu 28 Maret 2012. Waktu menunjukan pukul 22.10, saat saya selesai merevisi kembali tulisan ini setelah sebelumnya sempat diposting. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat.(***)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar