LEWAT tengah malam, saya akhirnya
mendapatkan taxi terakhir menuju Manado. Sopir taxi sedikit terkejut saat
melihat enam orang menghampiri taxinya yang diparkir di Kompleks Triple M
Tomohon. Setelah saya jelaskan bahwa hanya satu orang akan ke Manado, sang
sopir dengan ramah membukakan pintunya. Dalam perjalanan sekitar 30 menit
lamanya, dia bercerita tentang seorang kawannya sesama sopir yang juga “wartawan”
KOMPAS.
Hari itu Jumat
07 Nopember 2014. Saya diminta kawan-kawan mahasiswa untuk membawakan materi
pada kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB) Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Tondano. Menyampaikan topic terkait Fighting
Spirit dan Sejarah Gerakan Mahasiswa menelan waktu sekitar 120 menit. Pukul 23.30
WITA, saya masih berdiskusi ringan dengan para pengurus terkait bagaimana
eksistensi PMKRI, sebuah organisasi di mana saya pernah dididik di sana.
Tak terasa
hari telah berganti. Pukul 00.30 WITA, saya diantar enam orang mahasiswa dengan
menggunakan motor dari lokasi kegiatan di Bukit Doa Kasuang menuju Tomohon. Lebih
kurang 15 menit kemudian, saya sudah berada di dalam taxi terakhir menuju
Manado.
Perbincangan
ringan dengan sang sopir berlangsung. Saya banyak bertanya tentang persaingan
di antara armada taxi, termasuk monopoli salah satu taxi di Bandara Sam
Ratulangi. Percakapan terus mengalir, selancar perjalanan malam itu yang memang
sepi dari kendaraan. “Kerja di mana pak,” tanya sang sopir. “Saya kerja di Harian
METRO,” jawab saya. “Oh, wartawan dang,” balas dia.
Beberapa saat
terdiam, laki-laki separuh baya ini kembali angkat bicara. “Kita juga ada teman
wartawan Kompas. Tapi dia juga sopir taxi noh,” ujar dia. “Oh ya,” balas saya.
Melihat saya
yang tertarik dan seolah-olah percaya dengan apa yang disampaikan, dia kemudian
melanjutkan ceritanya. “Kita pe teman itu jaga bawa laptop. Jaga kirim berita
noh ke Jakarta. Jadi saat waktu lowong, dia kirim brita. Wartawan Kompas dia. Ada
ID card juga,” ujar dia bersemangat. “Namanya siapa om,” Tanya saya yang mulai
agak kesal dengan bualannya.
Sang sopir
menyebutkan satu nama sekenanya. “Om, kalau Kompas di Sulawesi Utara itu Cuma ada
tiga orang. Rizal Layuck untuk Harian Kompas, Ishak Kusrant Kompas TV dan Ronny
Buol dari kompas.com. Jadi om pe teman itu yang mana,” balas saya.
Dia kembali
terdiam. Bahkan lebih lama dari sebelumnya. “Oh jadi mungkin kita pe teman itu
bukan wartawan yah,” ujarnya. “Nda sembarang om jadi wartawan. Ada sekolah. Ada
pelatihan. Sekarang ada sertifikasi, sama dengan guru ada uji kompetensi,” ujar
saya yang membuat sang sopir hanya bisa manggut-manggut.
Taxy yang saya tumpangi itu akhirnya perlahan
berhenti di kompleks Stadion Klabat Manado. Saya membayar ongkos sesuai argo. Tak
lupa meminta nomor HP sang sopir, mungkin saja di lain waktu saya membutuhkan
jasanya.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar